Judul : Pemberdayaan Dai dalam Masyarakat Lokal
Penulis : Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S.
Penerbit : Gama Media, Yogyakarta, Cet. I, 2009
Tebal : 140 Hlm.
DALAM realitasnya, dai memiliki potensi cukup penting dalam pertumbuhan agama Islam, serta perkembangan dan kemajuan masyarakat di Indonesia. Berkat prestasinya sebagai penyebar ajaran ke-Illahi-an itulah, posisi seorang dai jadi memperoleh tempat yang prestisius di masyarakat. Dai bukan hanya dipahami sebatas guru atau juru dakwah belaka, melainkan kedudukannya disetarakan dengan kalangan elite (lokal jenius) serta dijadikan "panutan" lingkungan maupun komunitasnya.
Sebagai tokoh panutan, tidak mengherankan jika dai dapat berperan aktif sebagai motor penggerak perubahan sosial dari masa ke masa, sejak zaman penjajahan Belanda hingga era reformasi.
Dengan dimilikinya posisi kultural yang cukup tinggi, sudah sewajarnya para dai diikutsertakan secara aktif dalam seluruh gerak pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat. Karena langsung atau tidak langsung, dai dapat dijadikan penyelaras nilai yang dipakai pemerintah dengan nilai budaya yang hidup di masyarakat, khususnya di era otonomi daerah. Sebab, tidak jarang praktek pembangunan di berbagai daerah kadang tidak (belum) sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal, dan terlampau mementingkan politik pembangunan yang bersifat nasional dan global sehingga kepentingan-kepentingan di daerah sering terabaikan.
Pemberdayaan dai secara konseptual diartikan sebagai kumpulan tindakan yang dikembangkan oleh sekelompok dai agar warga sekitar dapat mengatasi masalah sosialnya dan semua bentuk intervensi sosial, yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan perorangan dan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai gerakan sosial keagamaan, pemberdayaan dai dapat diarahkan untuk peningkatan berbagai penyediaan sarana dan proses yang berlangsung berhubungan dengan pemecahan masalah dan berbagai pencegahan persoalan sosial keagamaan, pengembangan sumber daya manusia dan perbaikan mutu kehidupan, yang sasarannya mencakup perorangan, keluarga, kelompok sosial, dan usaha-usaha untuk memperkuat atau meningkatkan fungsi suatu lembaga sosial dan atau lembaga keagamaan. Kesemuanya itu, dalam kerangka memosisikan agama sebagai sumber etika, moral, dan spiritual di berbagai bidang pembangunan, khususnya di era otonomi daerah.
Namun permasalahannya, sebagaimana dinyatakan oleh penulis buku ini adalah (1) bagaimana meningkatkan kemampuan dan wawasan dai agar mampu melakukan tugas dengan baik dan dapat mengembangkan potensi masyarakat lokal. Terlebih lagi, apakah dai di desa tertinggal yang termasuk tipe desa nelayan maupun desa perkebunan telah mampu menerapkan strategi, pendekatan, dan metode yang dapat tepat dengan sasaran dakwah; (2) sejauh mana pelaksanaannya cocok dengan kebutuhan pengembangan masyarakat lokal, sejalan dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dalam masyarakat desa tertinggal; dan (3) bagaimana upaya pemberdayaan dai untuk pengembangan masyarakat lokal di masa depan.
Untuk menjawab beberapa persoalan di atas, penulis buku ini Dr. A Fauzie Nurdin, M.S. melakukan penelitian di dua desa tertinggal yang berbeda tipologinya, yaitu Desa Bogorejo di Kecamatan Gedongtataan sebagai desa perkebunan, dan Desa Gebang di Kecamatan Padang Cermin sebagai desa pantai.
Di Lampung terdapat lebih dari 756 desa tertinggal, dengan tipologi desa yang beragam (desa nelayan, perkebunan, persawahan, perladangan, peternakan, dan kerajinan). Namun sebagai studi kasus, pemilihan dua desa tersebut dilakukan secara sengaja dengan memperhatikan beberapa alasan, yakni dua lokasi penelitian itu memiliki karakteristik yang berbeda dalam kaitannya dengan tipologi dan kondisi sosial budayanya.
Dalam bidang agama, mayoritas penduduk menganut agama Islam, baik di Bogorejo (99,62 persen) maupun di Gebang (99,98 persen). Meski di Lampung dikenal dengan ragam suku dan agama yang dianut penduduk, di lokasi penelitian ini penganut Islam sangat dominan. Di lokasi penelitian ini, terdapat perbedaan peran pada setiap dai yang di antaranya juga dikenal sebagai tokoh agama dalam kelompok masyarakatnya. Terlebih lagi, dari aspek peran yang diharapkan warga masyarakat terhadap dai itu dalam pembinaan mental spiritual.
Ciri khas yang jelas terlihat dalam pembangunan masyarakat di antara mereka itu ada yang mampu berperan mengoordinasikan pelaksanaan program pembangunan yang bekerja sama dengan pamong desa dan warga desa, tampak mereka dapat melaksanakannya di lapangan secara efektif. Hal itu dapat dipahami, sebab di antaranya ada yang sangat berpengaruh karena bukan saja mampu mengajak dan mengimbau warga desa untuk bekerja, tetapi lebih dari itu. Mereka dapat memberikan keteladanan.
Dengan demikian, pemberdayaan dai memerlukan partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah. Mengingat peran dai sebagai penyuluh agama maupun pemimpin masyarakat dalam pembangunan cukup besar dan memberi kontribusi positif, terutama dalam bidang pembinaan mental spiritual. Namun, memperhatikan permasalahan yang dihadapi mereka dalam pemberdayaan masyarakat lokal di era otonomi daerah, maka diperlukan kebijakan pembangunan yang memosisikan dai sebagai subjek dan bagian integral dari pembangunan pusat dan daerah.
Perumusan kebijakan pemberdayaan dai memerlukan dukungan politis dari pihak legislatif dan eksekutif agar dapat mengalokasikan dana, penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas. Sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kebutuhan daerah.
Buku ini sangat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya masyarakat dan Pemerintah Provinsi Lampung dalam rangka memberdayakan dai dalam melaksanakan dan menyosialisasikan program-program pembangunan di desa-desa.
Imron Nasri, pecinta buku, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 September 2009
No comments:
Post a Comment