-- Bandung Mawardi*
TULISAN-TULISAN tentang sejarah sastra di Indonesia masih mengabaikan diskursus komersialisasi atau sosialisasi sastra dalam bentuk iklan. Strategi mengiklankan sastra melalui surat kabar tentu memberi kontribusi signifikan dalam pembentukan konstelasi sastra sejak akhir abad XIX.
Praktik mengiklankan sastra merepresentasikan situasi zaman dengan acuan gerak kapitalisme cetak dan kemunculan kalangan elite terpelajar. Kehadiran iklan sastra juga menjadi tanda dari proses pembentukan masyarakat literasi melalui simbiosis mutualisme institusi pers, pendidikan, perdagangan, politik, dan kultural.
Pembacaan dan penafsiran terhadap iklan-iklan sastra memungkinkan membuka tabir sejarah sastra. Dikursus iklan sastra memiliki makna penting ketika situasi sastra mutakhir memiliki intimitas atau hampir suatu ketergantungan dengan dunia surat kabar dan pemasaran dengan iklan. Intimitas melahirkan konstruksi ambiguitas dalam memilah kekuatan dan kekuasaan antara sastra, surat kabar, dan pasar. Publik pembaca disuguhi operasionalisasi ideologis melalui percampuran pamrih ekonomi, estetika, popularitas, atau komersialisasi.
Soebagijo I. N. dalam Sejarah Pers Indonesia (1977) menyebutkan, surat kabar di Hindia Belanda, akhir abad XIX dan awal abad XX, memiliki corak dominan sebagai media advertensi, informasi praktis dunia ekonomi perdagangan, dan pemerintahan. Corak itu menandakan ada kebutuhan dari pengelola surat kabar menjadi perantara kepentingan dunia usaha, konsumen, dan hasrat pengetahuan publik pembaca. Isi surat kabar tempo dulu juga memuat banyak cerita, dongeng, pantunan, dan syairan. Isi dalam genre fiksi atau cerita diangkat dari kisah nyata menjadi kegemaran pembaca. Surat kabar memiliki pemikat sastra untuk digandrungi pembaca dan sebagai sumber pengetahuan-hiburan.
Deskripsi historis itu menemukan penguatan dengan kemunculan iklan-iklan sastra di antara iklan mobil, pakaian, alat-alat rumah tangga, obat, sepeda, minyak wangi, atau jam. Kehadiran iklan sastra tidak mengesankan kerikuhan, tetapi justru eksplisitas pada taktik penawaran buku-buku sastra secara sugestif dan persuasif.
Surat kabar Pemberita Betawi (14 November 1885) memuat iklan buku-buku cerita dengan rincian pengarang, judul, pemakaian bahasa, dan harga. Ada buku-buku karangan Von de Wall: Hikajat Robinson Crusoe, Kesah Peladjaran Nachoda Bontekoe, Hikajat Djahidin, Kisah Peladjaran Saorang Prampoean (Poelau Pertja), Aladin, dan Hikajat Bachtiar. Semua buku itu mencantumkan harga f 1,50. Ada juga buku Gonggrijp dengan judul Kalilah dan Daminah dengan harga f 3,50.
Eksplisitas iklan sastra merupakan bukti tingkat kebutuhan pengarang, penerbit buku, pengelola surat kabar, dan pembaca. Daftar buku dalam iklan mengesankan bentuk saduran dari sastra Melayu, Arab, dan Eropa oleh pengarang-pengarang Belanda dan peranakan Tionghoa. Peran pengarang pribumi pada masa itu masih kecil dan terbatas. Saduran menjadi mode sastra dengan pelbagai versi bahasa Melayu, Sunda, dan Jawa.
Khazanah sastra tradisional pun masuk ke ranah komersialisasi. Pemberita Betawi (24 Desember 1889) memuat iklan buku cerita Tjindoer Mato karangan J.L. Van der Toorn disertai pujian diri: ”jang tersohor amat bagoes karangannja.”
Iklan sastra mulai memakai bahasa provokatif di Pemberita Betawi (10 Maret 1904). Iklan buku cerita Lo Fen Koei dikemas dengan tata bahasa komersial: ”Djangan lambat, lekas bli tjoema tinggal sedikit.” Ungkapan ini memiliki arti ganda: Lo Fen Koei memang laris atau sengaja ingin dilariskan melalui iklan. Iklan sastra ini menyertakan sinopsis untuk memikat pembaca. Toko-toko penjualan buku Lo Fen Koei dicantumkan terdapat di pelbagai kota: Batavia, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Indramayu, Cilacap, Semarang, Surakarta, Magelang, Yogyakarta, dan Surabaya. Toko-toko itu mayoritas milik pengusaha keturunan Tionghoa. Data kota ini menunjukkan bahwa gairah sastra sudah disemaikan di Hindia Belanda dengan masif. Sastra telah jadi menu penting untuk progresivitas semangat zaman pada awal abad XX.
Garapan iklan di surat kabar perlahan mengalami perubahan-perubahan format dan kelihaian dalam olah bahasa. Iklan sastra di Pemberita Betawi (18 November 1909) merupakan contoh dari model perkembangan dunia periklanan. Iklan ini menawarkan buku cerita Njai Dasima: Soewatoe Korban Daripada Pemboedjoek dengan kemasan memukau. Iklan ini mencantumkan ungkapan provokatif dan mengesankan aktualitas: ”Tjerita bagoes sekali jang belon berapa lama soeda djadi di Betawi.” Iklan ini memberi tawaran potongan harga bagi pembelian jumlah banyak.
Kehadiran iklan-iklan sastra pada masa kolonial itu memberi kontribusi penting dalam transformasi sosial dan kultural di Jawa (Bedjo Riyanto, 2000: 203-209). Sastra menempati posisi penting pada pemunculan kaum terpelajar dan kesadaran akan dunia penerbitan buku dan surat kabar. Iklan itu menjelaskan keterlibatan pengarang kebangsaan Belanda dan pengusaha keturunan Tionghoa dalam menggerakkan dunia sastra. Peran mereka dan iklan sastra mesti tercatat dalam sejarah besar sastra di Indonesia. Begitu.
* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo, Bale Sastra Kecapi; Redaktur Jurnal Kandang Esai
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 September 2009
No comments:
Post a Comment