-- A.S. Laksana
KALAU Anda tidak memiliki ilmu Nabi Khidir, yakni membaca apa yang akan terjadi besok atau bertahun-tahun kelak, maka salah satu yang bisa Anda lakukan pada saat ini adalah berlapang dada. Maksud saya, dada Anda harus sungguh-sungguh lapang untuk mendengar, melihat, atau menghadapi segala kemungkinan; lidah Anda harus dijaga; pikiran Anda harus dipelihara agar tetap bugar.
Selanjutnya, jika Anda memiliki anak yang masih bersekolah, jaga ia baik-baik dan doakan semoga gedung sekolah tidak roboh menimpanya. Doa Anda sangat diperlukan oleh anak Anda, sebab gedung sekolah mudah roboh. Jika ia sampai kerobohan gedung sekolah, masa depannya bisa betul-betul berantakan.
Saya sendiri tidak memiliki ilmu membaca apa yang akan terjadi kemudian. Kalau mengingat-ingat beberapa hal di masa lalu saya masih bisa. Misalnya, beberapa tahun lalu saya pernah membaca berita tentang sekelompok orang yang membantai seseorang yang dicurigai sebagai dukun santet dan kemudian menyate dagingnya malam-malam. Pada waktu itu siapa saja yang diisukan sebagai dukun santet pasti akan diuber dan dibantai jika tertangkap.
Pembantaian dukun santet mereda setelah beberapa waktu. Kualitas sasaran lantas diturunkan. Saya masih ingat, pernah ada masa ketika orang ramai menjadi suka membakar orang yang ketahuan atau dicurigai mencuri sepeda, pakaian, atau ayam. Tukang copet juga diperlakukan serupa. Berkali-kali, dan di berbagai tempat, peristiwa seperti itu terjadi. Seolah-olah ada kesepakatan kolektif untuk membakar para pencuri yang tertangkap.
Pada masa Presiden Habibie, aparat keamanan membentuk Pam Swakarsa, yang kemudian terlibat dalam peristiwa berdarah di Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR. Sesuatu yang getir terjadi di sana. Saya seperti menyaksikan pecahnya perang saudara, entah untuk memperebutkan apa.
Kemudian Gus Dur, seorang kiai yang suka menyerukan demokrasi dan menempuh langkah-langkah kontroversial, terpilih menjadi presiden. Pada saat itu, saya ingat, jargon-jargon keagamaan bertebaran di panggung politik. Dalam beberapa kesempatan kita menyaksikan ada kelompok-kelompok yang menyerukan jihad untuk membela apa saja. Pertanggungjawaban politik dijawab dengan seruan jihad. Proses peradilan diladeni dengan seruan jihad. Karena itu, sempat ada seruan jihad membela Gus Dur; pernah ada juga jihad membela Akbar Tandjung.
Sampai sekarang saya masih menyimpan keingintahuan: Apakah sekelompok orang yang siap bertempur untuk mempertahankan posisi politik seseorang bisa disebut berjihad? Apakah kemarahan yang muncul dari sekelompok orang karena seorang ketua partai politik diadili dengan dugaan korupsi termasuk dalam kategori jihad? Pertanyaan-pertanyaan ini melintas karena, terus terang, istilah jihad menjadi seperti lempung yang bisa diolah menjadi bentuk apa saja dan dimanfaatkan untuk kepentingan apa saja.
Pada masa Presiden Megawati, jargon-jargon keagamaan menyurut. Yang muncul selanjutnya adalah ''pasukan berani mati'' yang berhimpun dalam komando-komando membela Mega. Setelah itu Presiden SBY menyodorkan jargon baru: ''Kita bisa!'' Ini sebuah upaya untuk menjadi optimistik, namun bisa dengan mudah terperosok ke dalam sinisme yang berkepanjangan -bisa apa? Sebab pada kenyataannya kita tidak kunjung bisa menyelesaikan, misalnya, kasus lumpur Lapindo. Proyek mercusuar Blue Energy yang sempat disebut-sebut sebagai ''solusi dari Indonesia'', dan saudara kembarnya si Banyu Geni, dan juga Proyek Padi Supertoy HL 2, sungguh-sungguh nyaris merupakan skandal yang memalukan.
Optimisme ''kita bisa'' tampaknya pelan-pelan menjadi loyo ketika kita terus-menerus dipaksa menyaksikan kasus-kasus busung lapar dan berbagai tampilan kemiskinan lainnya. Kecelakaan di darat, laut, dan udara sama maraknya dengan radikalisasi sebagian kelompok massa, yang dibarengi dengan sikap abai massa yang lebih besar. Begitu pun bencana demi bencana yang terjadi susul-menyusul. Bisa apa?
Pada kampanye lalu Pak Presiden dan para pemujanya menyerukan isu kesantunan dan ia memenangi pemilu untuk kali kedua. Dan saya lega sekali pemilu sudah berakhir, sebab kita kembali punya perhatian pada hal-hal kecil seperti, misalnya, masalah sekolahan yang mengenaskan atau guru yang tidak punya imajinasi.
Itu bukan masalah kecil, kata Henry Fielding, novelis Inggris abad ke-18. ''Sekolah,'' katanya, ''adalah tempat penyemaian segala kebejatan dan imoralitas.''
Oh, tidak itu saja, kata George Bernard Shaw. ''Tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang begitu menakutkan bagi orang-orang lugu selain sekolahan,'' kata dramawan Irlandia itu. ''Dalam hal tertentu, ia lebih mengerikan ketimbang penjara. Di dalam penjara, misalnya, kita tidak dipaksa membaca buku-buku yang ditulis oleh para sipir dan kepala penjara.''
Apakah suara-suara sengit itu berlaku untuk sekolah-sekolah yang bangunannya mudah roboh dan melukai para murid? Atau untuk sekolah unggulan yang tidak punya mebel? Yang terakhir itu adalah kasus di Indramayu, hanya sepelemparan batu dari Jakarta, di mana murid-murid SD unggulan belajar dengan cara menggelosor di lantai ruang kelas. Sekolah unggulan itu dipugar beberapa waktu sebelumnya dan seusai pemugaran, anak-anak kelas tiga, empat, dan lima kehilangan kursi dan meja tempat mereka duduk belajar. Mereka tidak tahu sebabnya.
Mengenai tidak adanya imajinasi, saya ingin mengingatkan bahwa belum lama berselang ada seorang guru yang menyulut pipi murid-muridnya dengan korek api untuk memberikan ''pengalaman nyata'' kepada mereka tentang panasnya api neraka. Apakah guru semacam ini yang bisa menyemaikan kebejatan dan imoralitas?
Saya sendiri yakin bahwa suara-suara sengit tentang sekolah, yang terus muncul dari waktu ke waktu, niscaya tidak membicarakan kasus-kasus tunggal -ia bicara tentang sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan yang tidak memuaskan. Masalahnya, sekeras apa pun orang bicara tentang sekolah, kita toh tetap bisa melawan keumuman bahwa anak harus disekolahkan. Dan di situ kita mengalah. Tidak apalah sekiranya guru tidak punya imajinasi, tetapi setidaknya gedung sekolah itu memadai sebagai tempat belajar dan para guru tidak berbuat serampangan. (*)
* A.S. Laksana, cerpenis, tinggal di Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 6 September 2009
No comments:
Post a Comment