Sunday, September 27, 2009

Festival Kesenian Indonesia ke-6 IKJ

-- FX Widaryanto*

SUDAHKAH terlihat adanya kontribusi yang nyata dari eksistensi perguruan tinggi seni di Indonesia dewasa ini? Kalaupun ada, seberapa jauh kontribusi itu bermakna bagi anak-anak bangsa? Sebatas di kalangan ranah seni yang digelutinya, atau sudah melintas dan merambah sendi-sendi kehidupan yang lain? Banyak sekali pertanyaan retrospektif yang bisa dilontarkan oleh kalangan sivitas akademika perguruan tinggi seni yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI), yang akan mengadakan festival yang bertajuk ”Festival Kesenian Indonesia (FKI) 6 DI IKJ-TIM Jakarta” tanggal 5-24 Oktober 2009 yang akan datang.

Di masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat, bahkan juga masyarakat internasional. Lihat ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martapangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto, dan tentunya dengan nama-nama besar lainnya sehingga dipandang perlu untuk menoleh pada nilai-nilai keempuan yang ada pada tradisi kreatif mereka. Sebutan empu mungkin terkesan terlalu Jawa sentris dan tidak mengait pada aspek pendidikan sehingga empu yang terlibat dalam sharing metodologi karya kreatif dalam format pendidikan tinggi seni jenjang S-3 bisa dipikirkan sebutannya sebagai Mahaguru.

Festival dan refleksi diri

Karena itulah BKS-PTSI merasakan urgensi dibentuknya Forum Gurubesar dan Mahaguru yang akan menjadi think tank bagi perwujudan nilai-nilai keindonesiaan dan capacity building bagi proses dan produk dari tujuh perguruan tinggi seni yang pada tahun 1999 bergabung di dalamnya. Perguruan tinggi seni itu adalah ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, Institut Kesenian Jakarta, STSI Padang Panjang, STSI Bandung, dan STKW Surabaya. Format festival dipilih sebagai bagian dari pemberdayaan interaksi antar perguruan tinggi seni itu sendiri serta akuntabilitasnya kepada masyarakat luas. Khusus pada Festival Kesenian Indonesia ke-6 ini, Forum Guru Besar dan Mahaguru akan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Ada dua hal yang sudah menjadi catatan kunci serta diperkuat dengan instruksi Menteri Pendidikan Nasional pada Festival Kesenian Indonesia ke-5 2007 BKS-PTSI di Denpasar Bali, yaitu spirit Indonesia Incorporate dan Internasionalisasi event festival yang sudah melembaga ini. Indonesia Incorporate berkaitan dengan sinergi seluruh anggota BKS-PTSI untuk bekerja sama dalam mengampu Indonesian Study Through Culture and Arts yang akan terus dikembangkan dalam model kerja sama dengan kurikulum yang akan diolah dan digarap dalam Forum Guru Besar dan Mahaguru. Di sisi lain, upaya internasionalisasi festival yang sudah dilakukan di Bali disepakati untuk ditingkatkan lagi di Jakarta dengan penanganan materinya yang diatur dalam curatorship yang terpadu. Upaya internasionalisasi ini tentunya juga berkaitan dengan pendekatan kualitas yang mau tidak mau harus disinergikan dengan kekuatan BKS-PTSI yang secara masif harus bisa ditampilkan dalam festival kali ini. Internasionalisasi ini tidak harus mengurangi ekspose masing-masing institusi; karena Menteri Pendidikan Nasional di dalam pidato pembukaan festival yang lalu di Denpasar mengutarakan pentingnya menggariskan kebijakan penyelenggaraan festival internasional dan nasional secara selang-seling setiap tahun. Inilah salah satu tantangan yang harus ditindaklanjuti oleh BKS-PTSI.

Pada penyelenggaraan yang ke-6 atau tahun yang ke-10 ini, mau tidak mau banyak hal yang mesti dibenahi, terutama dalam fungsi mewujudkan citra keindonesiaan dalam berbagai karya seni di luar kekhasan perguruan tinggi seni masing-masing. Kedatangan beberapa presiden perguruan tinggi dari berbagai negara sahabat tentunya akan mengawali proses dialogi formal antarkomunitas intelektual dan kreatif secara global. Dengan demikian, kerja sama internasional yang akan dibangun segera dapat direalisasikan dalam paradigma baru, yaitu menuju pada perwujudan kurikulum bersama yang tak lain akan memberikan refleksi world class university yang sebenarnya.

Kolaborasi

Yang unik dari festival ini adalah ditampilkannya genre seni dalam rentangan spektrum yang cukup luas. Ini terlihat dari tampilan Konser Kolaborasi Gamelan ”langka” yang diwakili oleh produk lokal Gamelan Sekaten (ISI Surakarta), Gong Gede (ISI Denpasar), dan Gong Renteng (STSI Bandung), yang merajut rangkaian pembukaan festival dan tampilan Symphony yang bukan merupakan produk lokal. Gamelan yang hanya ditampilkan pada waktu-waktu tertentu dan sering hanya didengarkan sekilas, kali ini disajikan dalam aura pertunjukan yang berbeda, baik gaya sajiannya maupun gaya kepenontonannya.

ISI Yogyakarta tampil dengan sajian Orkes Symphony-nya, yang sekaligus juga menggarap kolaborasi tari dengan menghimpun kekuatan tari mahasiswa dari IKJ, STSI Padang Panjang, dan STSI Bandung yang dikoordinasikan oleh para koreografer terkemuka saat ini, yaitu Hartati (IKJ), Eko Supriyanto (ISI Surakarta), dan Miroto (ISI Yogyakarta). Kolaborasi ini tampil dalam kapasitas kekuatan sinergi BKS-PTSI. Para musisi dari California Institute of Arts juga tampil bersama dalam kolaborasi yang didahului oleh workshop sebelumnya.

Masing-masing perguruan tinggi seni juga akan tampil dalam kekuatannya tersendiri, di mana STSI Padang Panjang, ISI Yogya, ISI Denpasar, dan Aswara KL akan tampil dalam garapan tari. Sementara STSI Bandung akan menampilkan kekuatan teaternya. Demikian juga dengan kekuatan tosan aji yang dimiliki ISI Surakarta; demo pembuatan keris, dengan kobaran tungku dan denting tempaan bara besinya yang khas akan mewarnai proses unik yang jarang terjadi di Ibu Kota ini. Berbagai workshop dan kerja sama dengan berbagai pihak juga dijalin, salah satunya adalah dengan pihak penyelenggara Indonesian Dance Festival yang hasilnya juga akan dipentaskan dalam rangkaian pertunjukan pada festival ini. Workshop lainnya yang terbuka bagi para mahasiswa adalah workshop Animasi, Teater, Musik Kontemporer, Komik dan Kartun, serta Produksi Film. Dan untuk mengakomodasi talenta mahasiswa dalam seni lukis, mereka diberi kesempatan untuk membuat lukisan mural di berbagai tembok kampus IKJ.

Festival ini juga diperkaya dengan Festival Film Internasional yang mengikutsertakan berbagai film yang pernah mendapatkan penghargaan internasional. Mahasiswa juga mendapatkan porsi pengakuan atas karyanya dalam Festival Film Mahasiswa, dengan ekstensi waktu sampai dengan tanggal 11 Oktober 2009. Khusus untuk pameran seni rupa, kegiatannya dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan yang diberi tajuk Pameran Pendidikan Seni, dengan curatorship internal masing-masing perguruan tinggi seni, serta Pameran Tematik Seni Rupa yang dikuratori oleh sebuah tim yang memilih berbagai karya dosen, alumni pendidikan tinggi seni, bahkan mahasiswa yang dianggap memenuhi kriteria tertentu. Khusus untuk yang terakhir, pameran diselenggarakan tanggal 17-24 Oktober 2009. Hal ini dilakukan selain karena alasan ketersediaan venues, juga kebertumpukan event yang akan mengurangi fokus ekspose peristiwanya di berbagai media.

Untuk membuka peluang interaksi yang lain, festival ini dilengkapi dengan seminar yang mewacanakan seni dan identitas, seni dan pasar, serta permasalahan revitalisasi seni. Pembicara tamu dari Amerika, Singapura, dan Filipina akan mengupas Exploring Root of Identity dalam perspektif interkultural. Sementara, beberapa budayawan dan praktisi seni terkemuka Indonesia, di luar sumber daya BKS-PTSI, akan mengisi berbagai topik pewacanaan di atas.

Demikianlah festival ini diselenggarakan agar bisa menjawab berbagai pertanyaan retrospektif di atas yang terus akan berkembang dalam pertanyaan-pertanyaan yang baru. Dan untuk menjaga tradisi kreatif di masa mendatang, diharapkan kekuatan masif dari seluruh perguruan tinggi anggota BKS-PTSI ini bisa terus berproses menuju eksplorasi nilai-nilai keindonesiaan, yang tentunya akan terus berfungsi sebagai perekat dan pemicu munculnya nilai-nilai baru dalam merayakan perbedaan dan menggali akar dalam berbagai produk performatif dewasa ini.

* FX Widaryanto, Sekretaris BKS-PTSI

Sumber: Kompas, Minggu, 27 September 2009

No comments: