-- Jakob Sumardjo
ADA empat jenis manusia Indonesia. Orang bodoh yang menyadari kebodohannya, orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya, orang pintar yang menyadari kepintarannya, dan orang pintar yang tidak merasa dirinya pintar.
Empat jenis manusia itu ikut menentukan nasib Indonesia. Orang bodoh yang tidak menyadari bahwa dirinya bodoh dengan sendirinya mengakui dirinya pintar. Orang bodoh yang mengaku pintar ini sering kali keras kepala dengan kebodohannya. Bahkan orang-orang pintar dinilainya bodoh karena kebodohannya tidak mungkin memberi kepintaran orang lain.
Manusia jenis ini amat berbahaya kalau menjadi pemimpin. Sudah bodoh mengaku pintar sehingga kebodohan adalah kepintaran. Kombinasi kebodohan dan kekuasaan tentu saja fatal bagi sebuah bangsa. Produk-produk kebijaksanaannya yang bodoh tentu saja akan menuntun sebuah keluarga, sebuah lembaga, sebuah negara menuju kekacauan, suatu chaos. Kebodohan chaos itu sendiri.
Orang bodoh yang mengaku dirinya pintar ini, kalau terjadi pada orang biasa, efeknya cuma membikin jengkel. Sebagian orang malah bisa kasihan. Penulis novel bodoh mengaku novelnya paling pintar dan paling benar. Ketika dikritik oleh kritikus pintar pun, dia tetap menilai si kritikus yang bodoh. Orang semacam ini sama sekali tidak bisa diperbaiki. Biarkanlah dia hidup dengan kebodohannya. Hanya orang bodoh seperti dia, atau orang bodoh yang mengakui kebodohannya, yang dapat jadi korban kebodohan.
Jenis kedua adalah orang bodoh yang menyadari bahwa dirinya memang bodoh. Inilah korban-korban empuk penipuan yang dilakukan orang bodoh yang mengaku pintar dan orang pintar yang mengakui dirinya pintar. Mereka ini domba-domba pembantaian. Sebagian rakyat Indonesia, terutama di pedesaan, yang kurang pendidikan masuk jenis ini. Itulah sebabnya mereka menjadi korban agen-agen TKI dan TKW di luar negeri.
Orang semacam ini tidak mungkin menjadi pemimpin. Dan memang tak ada pemimpin bodoh yang menyadari dirinya bodoh. Karena jelas dirinya bodoh, diusulkan menjadi ketua RT pun tak mau. Bahkan, sebagai pemimpin keluarga, ayah bodoh semacam ini hanya mau bekerja keras menghidupi keluarga, sedangkan politik keluarga diserahkan kepada anak-anaknya yang lebih pintar. Kerbau menyusu pada anaknya. Mereka sama sekali tidak berbahaya. Lebih baik orang Indonesia begitu semua, tapi dipimpin oleh orang pintar yang tidak menyadari kepintarannya.
Jenis ketiga adalah orang pintar yang sangat sadar diri bahwa dirinya pintar. Biasanya mereka ini jatuh dalam dosa kesombongan sehingga pantas menjadi panglima laskar setan. Mereka sama keras kepalanya dengan orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya. Kegemaran utamanya menyalahkan atau membodohkan orang lain, baik yang benar-benar bodoh maupun yang benar-benar pintar.
Cenderung otoriter
Kalau menjadi pemimpin, orang jenis ini akan cenderung otoriter dan mengumpulkan orang-orang sejenisnya buat kelompoknya. Kalau jadi guru atau dosen, biasanya dikenal sebagai killer. Jelas jenis manusia ini berbahaya bagi kehidupan bersama. Tetapi, karena dia memang pintar, kepintarannya akan membuatnya tidak mudah digoyahkan.
Pemimpin apa pun di Indonesia dipenuhi orang-orang ini. Kombinasi kepintaran yang disadari dengan kekuasaan akan membuat negara dan bangsa Indonesia bisa bangkrut atau berhasil. Bisa bangkrut kalau dia cuma peduli pada jenis kepintarannya sendiri dan menilai kepintaran yang lain sebagai kebodohan. Orang-orang berkacamata kuda dengan kepintarannya ini akan keras kepala pada kritik yang tidak sejalan dengan sistem dia. Namun, bisa juga berhasil membawa bangsa menuju kesejahteraannya kalau sistem dan politiknya memang sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia sekarang ini.
Bagi orang-orang biasa yang sadar diri atas kepintarannya, sudah umum kalau membentuk grup-grup orang pintar. Grup-grup orang pintar seperti ini menjadi semacam benteng kepintaran yang senantiasa siap untuk menyerang grup serupa yang lain. Perang di antara orang-orang pintar Indonesia ini biasanya terjadi di acara televisi, seminar-seminar, dan ceramah-ceramah. Semakin banyak orang pintar yang ada di situ, semakin panaslah suasananya. Inilah forum di mana orang bisa menemukan musuh-musuh baru kepintarannya.
Yang terakhir adalah orang pintar yang tidak menyadari dirinya pintar atau malah menilai dirinya masih bodoh saja. Rupanya orang-orang ini jenis Socrates yang menyatakan bahwa yang ia tahu adalah tidak tahu apa-apa. Orang di puncak kearifan. Orang ini kadang menjengkelkan juga. Karena merasa dirinya tetap bodoh, dia selalu menolak untuk dijadikan pemimpin. Jabatan yang ditawarkan kepadanya kalau tidak diserobot orang bodoh yang mengaku pintar juga oleh orang-orang yang menyadari dirinya pintar.
Jenis orang pintar semacam ini selalu low profile, diakui kepintarannya diterima, tidak diakui juga diterima. Seperti orang bodoh yang menyadari kebodohannya, orang pintar yang tidak menyadari kepintarannya ini selalu menjadi korban kehidupan. Mereka ini mudah dibantai. Oleh orang pintar yang menyadari kepintarannya dan orang bodoh yang merasa pintar, jenis manusia ini mereka sebut sebagai ”orang bodoh”.
Kalau nasib bangsa ini baik, beruntunglah mendapat pemimpin orang seperti ini. Dia terbuka pada setiap jenis bodoh dan pintar di negeri ini. Dia mampu menempatkan di mana mereka masing-masing harus berada. Karena rendah hati, mental korupsi absen padanya, tapi sayang bangsa ini masih menganggap ”orang bodoh” ini sebagai bodoh sungguhan!
* Jakob Sumardjo, Budayawan
Sumber: Kompas, Kamis, 17 September 2009
No comments:
Post a Comment