Saturday, September 12, 2009

Aktivis dan LSM Menyatakan Sikap: Pembakaran Buku Melanggar Konstitusi

Jakarta - Aktivis LSM, tokoh pers, dan eksponen masyarakat lainnya menggelar per­nyataan sikap di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Jumat (11/9), memprotes aksi pembakaran buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono oleh Front Antikomunis di Surabaya, pekan lalu.

Aksi pembakaran itu merupakan reaksi atas kolom serial wartawan senior sekaligus CEO Jawa Pos Group, Dahlan Iskan, yang bertajuk ““Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya” di Jawa Pos yang dimuat berturut-turut sejak 9 hingga 11 Agustus 2009. Disebutkan, di artikel itu Soemarsono adalah tokoh utama pertempuran Surabaya melawan sekutu di tahun 1945, sekaligus menjadi tokoh utama pemberontakan komunis dalam Peristiwa Madiun di tahun 1948.

Tulisan Dahlan memancing reaksi Front Antikomunis menggelar demonstrasi dan mendatangi Kantor Redaksi Jawa Pos di Gedung Graha Pena di Jalan Ahmad Yani, Surabaya (2/9).
Sejarawan Bonnie Triyana, salah satu pendukung pernyataan sikap, mengatakan orang bisa saja tak setuju pada isi buku, namun tak lantas menanggapi dengan melakukan pembakaran. “Saya pun belum tentu setuju pada isi buku Soemarsono,” ujarnya kepada SH, Jumat (11/9) dalam jumpa pers di YLBHI. Pembakaran buku Soemarsono dinilai Bonnie mengulang kembali aksi fasisme Nazi yang melakukan pembakaran terhadap buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta cendekiawan lainnya.

Dalam pernyataan bersama disebutkan, atas dasar akal sehat dan kepercayaan pada demokrasi, pembakaran buku adalah tindakan fasistis yang bertentangan dengan kemanusiaan dan upaya pencerdasan masyakat. “Kami juga menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan apa pun. Bila terjadi perbedaan pandangan, yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru yang mencerminkan pandangan berbeda. Bukan dengan larangan,” papar Bonnie di Kantor YLBHI.

Menurut wartawan Andreas Harsono, pernyataan sikap menentang pembakaran buku datang dari berbagai kalangan, antara lain Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Hendri F Isnaeni dan Dosen Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya Mukhlisin Sa’ad. “Ada 300 orang ikut menandatangani pernyataan ini, yaitu aktivis dari berbagai lembaga, termasuk dari Papua hingga Aceh. Ini gejala yang baik, ada kehendak menegakkan kedaulatan sipil,” ujarnya.

Dahlan, menurut sejarawan Wilson, dikenal sebagai wartawan senior, yang juga salah seorang keluarga korban Peristiwa Madiun. “Di tulisannya, Dahlan dan Soemarsono menapaktilasi lokasi perjuangan di Kota Surabaya ketika mempertahankan kemerde­kaan (ketika melawan Sekutu pada 28 hingga 30 Oktober 1945), juga mengisahkan kejadian di seputar Pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Soemarsono adalah pelaku sekaligus saksi sejarah, sedangkan Dahlan adalah keluarga korban. Pertemuan ini menarik karena rekonsiliasi dimulai justru oleh keluarga korban,” papar Wilson.

Front Antikomunis mempertanyakan Dahlan tidak kritis terhadap Soemarsono yang dinilai melakukan kejahatan ketika menjabat Gubernur Militer PKI tahun 1948. “Pernyataan Sumarsono merupakan strategi eks PKI yang tetap dipertahankan sejak gagal melakukan kudeta. Pernyataan itu bertentangan dengan fakta sejarah di lapangan,” ujar salah satu juru bicara aksi, Harukat, di di halaman Gedung Graha Pena (surabaya.detik.com, 2 September 2009). Mereka mendesak pemilik Grup Jawa Pos itu meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia. Dalam demonstrasi itu kemudian terjadi pembakaran terhadap buku karya Soemarsono.

Peradaban

Ketua Badan Pengurus YLBHI, Patra M. Zen, mengaitkan pembakaran buku sebagai tindakan bertentangan dengan hukum konstitusi yang melindungi prinsip kebebasan, persamaan dan keadilan sosial. “Atas nama YLBHI, saya merekomendasikan tindakan ini merupakan ancaman konstitusional di Indonesia, sekaligus ancaman peradaban di negeri ini,” ujarnya.

Bagaimanapun, buku adalah parameter peradaban bangsa. Patra juga ikut menyayangkan pernyataan Guru Besar Ilmu Sejarah Prof Dr Aminuddin Kasdi yang mengatakan bahwa “sejarah milik pemenang, kalah kok minta sejarah” (kalah kok njaluk sejarah). Bagi Patra, pernyataan tersebut tak pantas dikatakan oleh seorang guru besar ilmu sejarah. Penulisan sejarah, semestinya, mengedepankan keberimbangan fakta dan keberagaman versi, bukan monopoli satu versi ala rezim Orde Baru.

(SH/sihar ramses simatupang)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 12 September 2009

No comments: