Saturday, September 12, 2009

Kehidupan: Pameran Pusaka Bersama

-- Bondan Winarno

TIBA-TIBA, secara kolektif kita merasa memiliki pusaka (heritage). Namun, mengapa kita ingat bahwa kita punya pusaka hanya ketika tetangga kita ”memamerkan” pusaka mereka yang mirip dengan punya kita? Mengapa bila tetangga kita diam-diam saja kita tidak pernah sadar bahwa sesungguhnyalah kita punya sangat banyak pusaka?

Barangkali, itulah justru masalah kita. Kita marah karena rendang daging dinyatakan sebagai masakan khas dari Pahang. Don’t play-play, rendang khas Minang adalah pusaka kuliner kita, lho!

Pernahkah Anda mencicipi rendang daging dari Pahang itu? Bagi saya, rendang daging dari Malaysia ini bila di Ranah Minang justru disebut kalio, yaitu rendang yang masih ”setengah matang”. Kalio cukup dimasak selama dua jam. Kalau diteruskan memasak dua jam lagi—sehingga kuah santan kentalnya ter-reduksi menjadi endapan lezat—kita akan mendapati rendang yang gurih dan sangat berbeda tekstur maupun cita rasanya dengan kalio.

Kalau kita kaji sejarahnya, sangat boleh jadi masyarakat Pahang yang gemar memasak rendang daging itu adalah keturunan para perantau dari Ranah Minang jua. Bukankah mayoritas penduduk Malaysia sekarang sebenarnya merupakan keturunan dari orang-orang Makassar, Bugis, Riau, dan Minang? Sebagai orang Timur, pantaslah bila mereka tetap menjunjung nilai-nilai budaya dan tradisi mereka.

Untunglah dodol dari Negeri Sembilan belum dinyatakan sebagai Warisan Nasional Malaysia. Akan tambah murka kita nanti! Padahal, penganan dari tepung ketan dan gula merah ini merupakan jajanan yang sangat umum ditemui di negara-negara Asia. Di Tiongkok ada dodol yang kita sebut kue keranjang. Di Thailand, Kamboja, dan Vietnam saya sering melihat jajanan seperti ini. Di Indonesia sendiri, hampir setiap kota memiliki dodol kebanggaan masing-masing. Jenang Kudus, dodol Garut, galamai Payakumbuh, lempok duren Palembang, dan banyak lagi. Di Airmadidi, Sulawesi Utara, ada dodol yang dimasak dengan lemak babi. Semuanya mak nyuss! Kenapa disoal lagi?

Kenapa kita sebagai warga rumpun dan puak yang sama tidak bersedia mengakui adanya pusaka bersama (shared heritage) atau kemiripan-kemiripan dari pusaka kita masing-masing? Pusaka bersama adalah sesuatu yang pantas kita rayakan—bukan tembok yang memisahkan dan memecahkan kita. Awug bukan cuma punya orang Jawa atau Sunda karena di Minahasa disebut koyabu dan di Siborong-borong disebut ombus-ombus. Alangkah indahnya kreativitas nenek moyang kita.

Tom yam dan asam pedas

Di dalam dunia kuliner, kesamaan bukanlah ihwal yang jarang terjadi. Jangankan antara negara yang bertetangga atau berdekatan. Antara Indonesia dan Belanda saja terdapat shared culinary heritage yang cukup signifikan. Rijsttafel, misalnya, adalah tradisi Belanda dalam menyajikan masakan khas Indonesia. Harus kita akui bahwa rijsttafel adalah cara Belanda untuk mengagungkan kuliner Nusantara. Buktinya, rijsttafel bukanlah terjemahan dari sebuah istilah Jawa karena di Jawa sendiri cara menyajikan seperti rijsttafel ini dulunya tidak ada. Rijsttafel adalah shared culinary heritage Indonesia-Belanda.

Pernah makan selat solo? Di atas piring ditata wortel dan buncis rebus, kentang goreng, irisan ketimun, irisan tebal daging has sapi yang direbus dalam kuah semur, diguyur kuah semur dan sedikit mustard sebagai kondimen. Pastilah ada pemengaruhan dari tradisi kuliner Belanda untuk sajian yang berpenampilan seperti itu.

Di Pura Mangkunegaran, Solo, ada sajian bernama sambel goreng srinthil dari bola-bola daging sapi cincang. Masakan Belanda vleesbal tentulah menjadi inspirasi bagi sajian khas ini. Masih banyak lagi sajian Solo yang menampilkan sisi pemengaruhan kental dari tradisi kuliner Belanda. Bukankah itu mengayakan warna-warni pelangi kuliner kita?

Sementara itu, di Negeri Belanda sendiri sangatlah populer nasi goreng yang tidak pernah disebut sebagai gebakken rijs dan bakmi goreng yang juga tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Anda pernah makan sop tom yam dari Thailand? Bukankah rasanya sangat mirip dengan masakan asam pedas kebanggaan Riau? Yang satu menampilkan rasa cabe rawit dan jeruk nipis yang lebih nendang. Sedangkan yang lain lebih terasa kelengkapan rempah dan bumbunya. Keduanya memiliki tone dan spektrum asam, manis, dan segar yang sama. Apakah Thailand meniru Riau? Tidak perlu diperdebatkan. Kita sama-sama orang Asia. Sangat wajar bila ada kesamaan dalam preferensi lidah terhadap cita rasa tertentu.

Ketika kita mulai peka terhadap produk-produk budaya kita, sebaiknya pulalah kita semakin intens belajar tentang kekayaan intelektual nenek moyang kita. Kita juga perlu sepenuhnya sadar terhadap kemungkinan adanya kesamaan tradisi dan budaya. Jangan sampai nanti kita berkonfrontasi pula dengan Spanyol karena tiba-tiba menyadari bahwa di sana ada nasi kuning populer yang disebut paella dan telah menjadi national dish negara itu.

Orang Italia tidak pernah berantem dengan orang Perancis soal cioppino, sop ikan yang sangat populer. Padahal, di Perancis ada hidangan yang juga populer dan sangat mirip—aroma, rasa, bahkan sejarahnya—dengan cioppino, tetapi bernama bouillabaise. Kedua makanan ini berangkat dari tradisi nelayan yang mencemplungkan segala macam ikan sisa tangkapan yang tidak terjual dengan segala macam sayur dan bumbu yang mereka temukan ke dalam sebuah belanga dan kemudian direbus dalam sebuah belanga komunal menjadi makanan berkuah yang lezat.

Orang Italia cuma tersinggung ketika mengetahui bahwa prosciutto (ham dari Parma) diiris dengan mesin di Harrod’s (toko mewah di London) dan dikemas dalam plastik hampa udara. Secara tradisi, prosciutto harus diiris dengan pisau menjadi irisan setipis kertas. Protes disampaikan dengan cara yang beradab. Mohon Harrod’s tidak memasarkan ham itu—sekalipun diimpor langsung dari Parma, Italia—sebagai prosciutto. Bila tetap mau memakai nama prosciutto, harus diiris secara manual dengan pisau. Cantik, bukan? Ini analog dengan orang Perancis yang tidak mengizinkan penggunaan nama Champagne untuk sparkling wine yang dibuat di luar terroir Champagne.

Simak kenyataan

Sebagai penutup, coba simak kenyataan ini. Pada 2005, Malaysia mencanangkan Undang-Undang tentang Warisan (Heritage Act). Ketika mereka memperingati ulang tahun ke-50 kemerdekaan pada 2007, mereka mencanangkan 50 Warisan Nasional Malaysia. Dalam senarai itu tercantum, antara lain: lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, naskah kemerdekaan, pakaian nasional, hikayat Hang Tuah, kitab undang-undang dan hukum pidana, bunga sepatu, beberapa gedung bersejarah, dan beberapa taman nasional.

Memang, harus diakui pula bahwa Malaysia agak abai dan kurang bijak dalam merunut asal-usul warisan atau pusaka yang di-klaim-nya. Seharusnya mereka sadar bahwa reog memang berasal dari Ponorogo kalaupun sudah dipraktikkan secara turun-temurun oleh perantau Jawa Timur di sana. Saat ini, 2009, senarai Warisan Nasional Malaysia itu sudah mencakup 172 items, antara lain: kuetiau goreng, barongsai tiang, dan berbagai tradisi budaya (cultural practices) yang lain.

Sudahkah kita merumuskan dan mendeklarasikan Pusaka Nasional Indonesia? Tidakkah kita malu ketika mengunjungi rumah-rumah panjang suku Dayak lengkap dengan tradisi budayanya dalam peragaan hidup yang cantik dan berkelas dunia di Sarawak Cultural Village di pinggiran Kuching?

I love Indonesia full!

* Bondan Winarno, Anggota Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 September 2009

No comments: