Saturday, September 12, 2009

[Sosok] Johannes Soerjoko dan 40 Tahun Aquarius

KOMPAS/BUDIARTO SHAMBAZY

KALAU mau betah ngobrol musik ”claro” (classic rock), Johannes Soerjoko orang yang tepat. Maklum, ia pemilik label dan penjual rekaman musik Aquarius. Perusahaan yang ia dirikan itu tahun ini genap berusia 40 tahun. Ia juga salah satu pelopor yang memperjuangkan pengesahan UU Hak Cipta untuk melindungi musik Barat dari pembajakan. Budiarto Shambazy

Aquarius didirikan pada 9 September 1969 saat Ook, panggilannya, baru menginjak usia 20 tahun. Bisnis Aquarius berkembang sehingga pada 1975 ia merambah pada rekaman, dan kini memiliki studio canggih dengan artis- artis Indonesia yang tergolong laku.

Toko penjualan produknya ada empat, dua di Jakarta, satu di Bandung, dan satu di Surabaya. Kenapa nama Aquarius? ”Selain bintang saya, Aquarius juga nama lagu favorit saya yang dinyanyikan band The 5th Dimension.”

Begitu ngobrol tentang ”claro”, ekspresi wajah Ook penuh semangat dan mulutnya terus berbicara tentang sejarah musik dari tahun 1969 sampai kini. Ia bisa mengutip sebuah buku mutakhir tentang teknik rekaman, lalu pindah ke topik tentang The Beatles yang me-remaster album-albumnya secara digital, sampai gosip terakhir mengenai Yes.

”Saya beruntung memulai pada 1969 karena itu tahun penting. Waktu itu David Bowie baru muncul dengan hit ”Space Oddity”, cikal bakal glam rock yang bertahan sampai akhir tahun 1970-an. Led Zeppelin pada tahun itu bikin dua album sekaligus. Simon and Garfunkel juga merilis ’Bridge Over Troubled Water’,” katanya.

Di Tanah Air, Ook juga salah satu tokoh sentral di dunia hiburan dan musik. Sebagai orang label, ia termasuk dalam generasi baru setelah nama-nama Eugene Timothy atau Mas Jos. Ia pernah merekam artis-artis legendaris masa lalu, seperti Koes Plus dan God Bless, sampai era saat ini, seperti Dewa.

Ook pula yang demi pertemanan mau ikut membantu rekaman yang dilakukan oleh Warung Kopi. Bersama Radio Prambors, Ook memulai usaha label baru bernama Pramaqua yang cukup tenar pada 1970-an.

Ook memulai bisnis musik karena panggilan hati. Anak Jakarta yang besar di kawasan Jalan Batu Tulis itu bergaul dengan kalangan keluarga ataupun teman yang terbiasa dengan ingar-bingar musik Barat dan Indonesia dalam dekade 1960.

”Pengaruh paling besar datang setelah Orde Baru berkuasa karena kami dapat mendengarkan langsung piringan hitam (PH) impor, bukan lagi hanya mendengar dari radio,” kata Ook yang sempat nge-band.

Pergantian rezim juga membuat bisnis musik lebih hidup karena banyak yang ingin mendengarkan The Beatles, Rolling Stones, Bee Gees, Led Zeppelin, atau Deep Purple. Band-band lokal, seperti Koes Plus atau The Rollies, juga mulai merekam PH. Ia terinspirasi mendirikan Aquarius setelah membantu seorang tetangganya membajak rekaman lagu dari PH ke kaset.

”Ketika mulai bisnis, semua saya lakukan sendiri. Saya pilih lagu, merekam, mencatat judul dengan mesin tik, sampai mengirim sendiri kaset ke toko-toko. Setelah Aquarius agak berkembang, saya tetap bekerja sendiri khusus membeli PH di mancanegara,” katanya.

Menurut dia, ada tiga fase yang dilalui Aquarius selama 40 tahun. Fase Pertama, merekam lagu Barat tanpa lisensi (1969-1988) alias membajak. Kedua, merekam lagu Barat dengan lisensi (1988-1997), dan ketiga, merekam lagu Indonesia.

Setelah Bob Geldof

Masa pembajakan berlangsung selama sekitar 20 tahun dan dilakukan semua label yang tergabung dalam Asosiasi Perekam Nasional Indonesia (APNI). Asosiasi ini didirikan pada 1975.

”Pada mulanya, kami enggak memikirkan tentang hak cipta karena merekam lagu dari PH untuk teman sendiri. Namun, ketika permintaan mulai besar dan saya mendirikan Aquarius, saya mulai mengerti apa yang kami lakukan sebenarnya melanggar hukum,” katanya.

Celakanya, tatkala APNI meminta kejelasan dari pemerintah, jawabannya, ”Membajak tak dilarang dan tak dianjurkan.”

Situasi berbalik setelah Bob Geldof, musisi yang menggalang upaya pemberantasan pembajakan global, memprotes pembajakan kaset-kaset dari Indonesia terhadap rekaman konser Live Aid yang dijual di Timur Tengah.

Sejak itulah Indonesia jadi sasaran tekanan Barat yang membuat pemerintahan Presiden Soeharto sejak tahun 1988 memberlakukan UU Antipembajakan. Namun, apa boleh buat, sampai kini giliran label- label yang jadi korban pembajakan. Pada era digitalisasi ini, bisnis penjualan CD ataupun kaset makin anjlok karena semuanya sudah tersedia di internet.

”Pada awal 1980-an penjualan kaset mencapai 80 juta keping per tahun. Namun, pada akhir 1990-an menurun separuhnya. Setelah itu sempat naik lagi sampai jumlah 80 jutaan, tetapi kita keburu dilanda krismon (krisis moneter),” kenang Ook.

Pada saat itulah ia sempat berencana mengembangkan bisnisnya dengan mendirikan megastore, impian yang tak terwujud karena krismon pula. Salah satu toko Aquarius di Pondok Indah, Jakarta Selatan, malah menjadi korban kerusuhan Mei 1998.

”Saya sedih, CD dan kaset jarahan itu kok malah dibuang ke kali, bukannya untuk didengarkan,” katanya.

Kini, Ook yang mempekerjakan ratusan karyawan Aquarius merasa masih ada kewajiban yang harus ia selesaikan: menulis memoar tentang sejarah industri musik negeri ini.

”Paling tidak saya ingin membeberkan proses kelahiran UU Hak Cipta kita yang harus dibanggakan. Saya yakin, kita sebagai bangsa yang besar, secara moral jangan pernah mau mendukung pembajakan, apa pun bentuknya,” kata Ook, yang sebagian besar waktunya dimanfaatkan untuk menulis lembar demi lembar halaman buku, yang menurut rencana akan diterbitkan pada akhir 2009 ini.

Ia dapat dikatakan sebagai orang pertama yang mau menulis memoar tentang bisnis musik, wilayah yang belum dijamah siapa pun.

”Saya ingin memoar ini menjadi bahan pembanding bagi generasi baru musik kita yang berkecimpung di industri musik. Betul, sekarang industri ini secara global dihadang berbagai tantangan. Lihat saja, banyak label yang bangkrut. Namun, musik bukan barang yang masa pakainya terbatas. Musik itu abadi dan akan tetap dinikmati siapa pun,” katanya.

Ook memberi contoh penjualan CD di tingkat global yang memang terus-menurun. ”Namun, saya yakin generasi anak dan cucu saya tidak akan puas hanya dengan menikmati musik yang tersaji secara digital. Mereka ingin memiliki juga artefak artis-artis kesayangan masing-masing, mungkin PH-nya atau CD-nya,” kata Ook.

Untuk itulah, meski mengakui Aquarius di Pondok Indah sudah bleeding, Ook tetap mempertahankan tokonya yang terbesar itu sembari berharap suatu hari akan menjadi megastore yang ramai.

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 September 2009 |

No comments: