-- Idi Subandy Ibrahim
• Judul: Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music
• Penulis: Andrew N Weintraub
• Penerbit: Oxford University Press
• Cetakan: I, 2010
• Tebal: ix + 258 halaman
• ISBN: 978-0-19-539567-9
Analisis tentang musik dangdut tak sesemarak kontroversi yang menyertai beberapa pertunjukannya. Hingga kini baru sedikit penerbitan yang menyoroti aspek-aspek musik yang disebut paling populer di Indonesia ini.
Di antara yang secuil itu adalah Dangdut Stories karya Andrew N Weintraub, profesor musik dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Seperti dikatakan Andrew, meski sudah populer, dangdut masih jarang meraih perhatian kritis (hal 13). Sejak pertama muncul dan dikenal lewat pemunculan Ellya Khadam, bintang pada era 60-an, dengan hitnya ”Boneka dari India”, baru ada beberapa kajian akademis tentang dangdut, di antaranya dari disiplin sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000; Browne 2000).
Berbeda dari semua kajian tersebut, Dangdut Stories merupakan kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik dangdut. Dengan memanfaatkan gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu, seperti diyakini penulisnya, dangdut bisa mengartikulasikan pergulatan simbolis atas makna dalam realitas kebudayaan Indonesia.
”Prisma” masyarakat
Dalam sebuah artikel, sejarawan William H Frederick (1982) menyatakan bahwa dangdut bisa merepresentasikan ”prisma yang peka dan bermanfaat untuk melihat masyarakat Indonesia”. Mantan Menteri Sekretaris Negara Mooerdiono pada pertengahan 1990-an menyatakan, ”Dangdut membuat kita lebih empati satu sama lain.” Sementara Emha Ainun Nadjib pada awal 2000-an menyatakan, ”Pantat Inul adalah wajah kita semua.” Moerdiono mewakili pandangan dari ”atas” (negara) yang mengidealkan peran dangdut dalam budaya nasional. Emha mewakili pandang dari ”bawah” (rakyat) mencermati realitas sosial yang tercermin lewat dangdut.
Namun, menurut Weintraub, dangdut tidak hanya refleksi yang hidup dari budaya dan politik Indonesia, tetapi juga sebagai praktik ekonomi, politik, dan ideologis yang membantu membentuk gagasan masyarakat mengenai kelas, jender, dan etnisitas dalam negara- bangsa Indonesia modern. Itulah sebabnya, Goenawan Mohamad memuji karya Weintraub karena kontribusinya dalam perdebatan tentang konstruksi identitas nasional lewat musik yang sungguh orisinal. Musik dangdut adalah bagian dari formasi diskursif tentang memiliki komunitas nasional. Dan, membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas.
Sebagai etnomusikolog, analisis Andrew bertumpu pada kecermatan pengamatan dan kekayaan data yang dihimpun dalam studi lapangannya di Indonesia antara tahun 2005 dan 2007. Dia mewawancarai musisi, komposer, pengaransemen, produser, dan penggemar musik dangdut; menganalisis media cetak populer; belajar dengan musisi; melakukan analisis musikologis; dan pengamatan terlibat. Menggunakan pendekatan antardisiplin yang memadukan analisis etnomusikologis, antropologi media, dan kajian budaya, pendiri grup ”Dangdut Cowboys” ini menghubungkan properti estetik dan penggunaan efek musik dangdut dengan kondisi sosial dan material Indonesia modern. Bagi Weintraub, lagu-lagu dangdut itu sendiri membentuk cerita-cerita (hal 16) tentang Indonesia. Cerita musik dangdut dibingkai dalam sembilan bab yang menggambarkan perkembangan dangdut dari tahun 1945 hingga kini.
Pada Bab 3, Weintraub mengisahkan generasi pertama bintang dangdut, seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A Rafik, untuk mengilustrasikan hubungan antara orkes Melayu dan dangdut selama 1950-an. Pada Bab 4, konstruksi makna ”rakyat” dalam dangdut menjadi sorotan. Artikulasi dangdut dan rakyat bekerja dalam tiga level: (1) dangdut adalah rakyat; (2) dangdut untuk rakyat; dan (3) dangdut sebagai rakyat. Figur ”raja dangdut” Rhoma Irama adalah representasi dari pandangan ”dangdut untuk rakyat”. Mulai dari gaya musik hingga penggemar Rhoma dikupas secara cermat. Bab 5, mengisahkan ekspansi dan perluasan pasar musik dangdut menjadi ’musik nasional’ yang memunculkan genre, seperti ”sweet dangdut”, ”pop dangdut”, ”rock dangdut”, dan ”Mandarin dangdut”, disertai grup dan penyanyi pendukungnya.
Selanjutnya, dikisahkan pula bahwa berkat televisi pada 1990-an, bangsa ini menjadi ”bangsa dangdut”. Televisi membawa dangdut ke ruang keluarga kelas menengah-atas sehingga mengangkat popularitas dangdut dan penyanyinya, dan bahkan mulai go international (bab 6). Tetapi, kemudian dangdut mulai terlibat dalam wacana moralitas dan bentuk Islam yang semakin terpolitisasi dalam kontroversi goyang ngebor yang melejitkan nama Inul Daratista (bab 7). Perkembangan lain yang menarik, munculnya goyang ”dangdut daerah” disorot dalam bab 8.
Sepanjang karyanya, Weintraub menafsirkan dangdut sebagai representasi dan formasi diskursif (Foucault 1972). Tetapi, cerita tentang dangdut yang ditampilkan Dangdut Stories sudah tentu dibatasi oleh pengalaman hidup penulisnya. Posisi subyek sebagai pria heteroseksual kulit putih, warga negara AS, staf universitas, musisi, dan penggemar musik tak lepas dari bias. Pembaca kritis bisa jadi memiliki perspektif berbeda yang dibentuk oleh posisi ideologis dan kepentingan personalnya sendiri. Sebagaimana diakui Weintraub, setiap orang memiliki cerita untuk dikisahkan meski mungkin tak seorang pun pernah mendengarnya. Cerita-cerita itulah yang dinarasikan dalam karyanya yang penting bagi pengkaji budaya dan musik ini.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Media dan Budaya Populer
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011
No comments:
Post a Comment