-- Rohyati Sofjan
MUNGKIN saya termasuk orang yang sangat terlambat mengetahui kabar buku baru apa saja yang terbit dan dianggap bermutu plus laris manis di pasaran. Keadaan membuat saya jarang bisa mengakrabi dunia perbukuan dan trennya. Tiada toko buku di kota kecil saya, hanya gerai Indomaret Limbangan yang setia menyajikan beberapa jenis bacaan yang masuk kategori pop. Itu pun sudah saya syukuri. Ongkos transportasi kian mahal sehingga mobilitas saya sebatas di kota kecil. Hanya bisa ngiler melihat iklan buku baru di internet. Tentu saya berharap buku yang dibeli di sana tak mengecewakan. Setidaknya sebanding dengan uang yang saya keluarkan.
Dan semua sebenarnya berpulang pada penulis dan penerbit. Bahwa selain isi yang layak dan menarik, juga sajian gramatika sampai pengetikannya cukup apik. Surat Kecil untuk Tuhan adalah buku yang sayangnya masuk kategori di atas, bagus namun isinya secara gramatika sangat menyedihkan. Buku yang terasa sempurna karya Agnes Davonar (www.agnesdavonar.net) itu mestinya harus disunting ulang secara kebahasaan. Apalagi jika telah mencapai cetakan ke-8.
Banyak sekali contoh kata dan kalimat yang tak efisien, panjang dan bertele-tele, juga membingungkan susunan kalimatnya ditambah bagi pembaca awam yang tak terbiasa dengan bahasa slank (baca: selingkung) khas anak muda masa kini (karena faktor pengetahuan, pergaulan, usia, sampai fisik), niscaya akan geregetan sebab tak bisa mengikuti atau sekadar menambah paham akan arti kosakata terkini.
Sepertinya Agnes dan Davonar (juga penerbit) harus bekerja keras untuk merevisi ulang secara lebih baik dan apik. Bukankah buku itu akan difilmkan ke layar lebar sekira 15 Januari 2011, pada hari kanker anak sedunia?
Alangkah menyedihkan jika informasi kebahasaannya malah menyebar ke mana-mana dan dianggap lumrah, padahal mereka telah meraih penghargaan sebagai penulis online terbaik se-Asia Pasifik. Alangkah membanggakan jika disunting lagi gramatikanya sehingga lebih apik dan tak melelahkan pembaca yang peduli pada kaidah berbahasa maupun awam yang tak tahu apa-apa.
Adalah Gita Sesa Wanda Cantika (Keke), gadis remaja ceria yang tabah dan tegar berjuang dalam hantaman badai tak terduga, badai itu kanker jaringan lunak yang kasusnya jarang ada.
Dan Keke harus menjadi yang pertama di Indonesia (dan harapannya, hanya ia saja, kalau bisa). Tim dokter angkat tangan menanganinya. Kanker ini tergolong ganas dan tidak memiliki tanda-tanda. Berkembang sangat cepat. Dalam waktu lima hari bisa dipastikan kanker itu mulai terlihat di bagian wajah Keke kalau segera tidak diantisipasi! (Halaman 41). Namun kekuatan cinta dari lingkungan keluarga dan kawan-kawannya membuat ia tetap tegar. Terutama dari ayahnya, Joddy Tri Aprianto. Figur yang sangat dekat dengannya.
Bagaimanapun, Keke, dalam usia belianya, 13 tahun, mampu bertahan melewati semua ujian-Nya, sekaligus menyelesaikan ujian sekolah pada usia 15 tahun. Dan kisah Keke, yang dirangkum Agnes Davonar dengan indah (meski tak mengenal Keke secara fisik), sebenarnya bisa sangat menginspirasi orang banyak agar tabah jika dihantam runtutan masalah.
Kita bisa berkaca pada pengalaman Keke dan apa yang dirasakannya. Hidup ini sebenarnya indah dan harus disyukuri, hidup yang singkat bagi Keke terasa begitu sangat berharga, ia mengajarkan banyak hal dalam deraan rasa sakitnya; mencoba kuat dan berdaya guna! Hingga ketika di penghabisan napasnya, pukul 11 malam, meninggalkan harum melati yang menguar, harum tak terlupakan bagi yang ia cintai dan mencintainya.
Jangan remehkan kekuatan bahasa! Ia bisa menjadi sesuatu yang jelas substansinya bagi penulis yang paham dan peduli, bisa juga malah mengaburkan makna menjadi sesuatu yang mubazir bagi penulis yang abai dan enggan belajar.
Paragraf kutipan dari halaman 41 sebenarnya terbalik, mestinya kalau tidak segera diantisipasi. Sebab segera tidak dan tidak segera tentu berbeda pemahamannya. Apakah Agnes Davonar sedang menulis dengan gaya penulisan asli berbahasa Inggris sehingga seolah tengah menerjemahkan kata per kata? Dan banyak sekali kata dan kalimat salah sampai mubazir yang bertebaran, bahasa Indonesianya terasa melelahkan.
Andai direvisi lagi barangkali bisa menciutkan jumlah halaman bukunya, namun itu tak masalah. Setidaknya tanda baca dan kaidah penulisan juga mendapat perhatian. Pun penggunaan bahasa selingkung yang lagi ngetren, bagi saya secara dan cara berbeda maknanya jika ditempelkan pada suatu kalimat.
Terlalu banyak orang menggunakan secara secara sewenang-wenang hingga menjadi sesuatu yang sebenarnya tak perlu. Apakah masyarakat sebenarnya tengah dibingungkan pengguna ragam bahasa demikian? Kalau begitu, bagaimana tanggung jawab penulis sampai penerbit untuk peduli dan meluruskan?
Tidak mengapa bahasa selingkung ada dalam tulisan, namun sebaiknya diberi catatan kaki, semacam penjelas agar awam bisa paham dan membedakan.
Pun penulisan kitab suci Al Quran sebaiknya konsisten dengan Al Quran saja (meski aslinya dari bahasa Arab, Al Quran), tidak mengapa jika Agnes Davonar tidak tahu hingga inkonsisten karena masalah perbedaan keyakinan, namun sebaiknya mendapat perhatian jika masih ingin belajar. Sebab, proses belajar (juga mengajar) itu sebenarnya indah dan bermanfaat. Kita bisa melihat hidup sebagai sesuatu yang kaya warna; mengisi dan diisi hingga berisi!
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Januari 2011
No comments:
Post a Comment