KENDURI perkawinan itu ada di suatu rumah, dua atau mungkin empat ratus meter dari mulut gang di kawasan Kiaracondong Bandung. Hajatan itu lumayan ramai. Para undangan datang dan pergi. Satu tenda menaungi suasana pesta di halaman rumah yang tak seberapa luasnya. Pesta kawinan itu tak hanya diramaikan undangan, tetapi terlebih penonton yang asyik menyaksikan seorang penyanyi organ tunggal sedang beraksi. Pakaiannya sensual juga goyang dan penampilannya, lagunya "Keong Racun". Satu keyboard (yang lantas dikenal dengan organ tunggal) mengiringinya, juga satu kendang dangdut.
GAYA dan penampilan seorang penyanyi dangdut dan seorang penjoget dalam pentas organ tunggal.* DOK. MEGALIA BIG BAND
Di sekelilingnya beberapa lelaki sedang berjoget dengan bermacam gaya. Terdengar sorak-sorai dan berbagai komentar. Terlebih ketika mereka mengacungkan uang sawer. Tak jelas lagi, siapa sebenarnya yang sedang ditonton, penyanyi yang bahenol itu atau para penjoget. Tak ada panggung. Pertunjukan itu berlangsung di sebuah sudut di teras rumah. Tampak sempit, tetapi tak menghalangi hasrat orang untuk berjoget. Sesekali penyanyi memanggil nama ibu dan bapak hajat, Pak RT, atau siapa pun yang dianggap penting untuk ikut joged dan nyawer.
Tontonan makin "panas" ketika Pak RT turun berjoget. Begitu pula manakala seorang undangan "menyumbangkan" sebuah lagu. Lagunya "Istri Saleha". Ia pun duet dengan penyanyi dangdut itu, sementara istrinya menyaksikan sambil mesem-mesem. Agak kurang pas, karena penyanyi dadakan itu suaranya fals. Akan tetapi tak apa, yang penting nyanyi, joget, dan nyawer.
Begitulah organ tunggal dan pesta kawinan. Keduanya seperti tak bisa lagi dipisahkan. Lebih dari sekadar hiburan dalam pesta kawinan, kehadiran organ tunggal tak ubahnya jadi kemestian. Meski organ tunggal tak hanya terbatas pada genre dangdut, tetapi begitulah umumnya di pesta perkawinan. Agaknya bisa dipahami, karena dangdut adalah musik yang baru bisa dinikmati jika orang berpartisipasi untuk meresponnya. Ia bukan hanya musik untuk didengar atau ditonton, tetapi yang lebih penting menikmatinya sekaligus mereponnya. Respons inilah yang menciptakan kebersamaan dan kegembiraan suatu pesta pernikahan. Psikologi pertunjukan yang berlainan dengan ketika orang menyaksikan pertunjukan degung, musik pop, jazz, atau blues.
Tak jelas kapan tepatnya tren organ tunggal ini muncul, seperti tak jelasnya mengapa ia dinamakan organ tunggal bukan "keyboard tunggal". Yang jelas, lepas dari ganjilnya peristilahan tersebut, selama dua dasa warsa jenis pertunjukan yang bermuasal dari perkembangan teknologi musik ini telah marak di berbagai pesta pernikahan. Dari mulai pernikahan di gedung, di kompleks perumahan, pinggir jalan, sampai jauh ke dalam gang.
Tak hanya itu, sejumlah papan nama penyedia jasa organ tunggal pun sesekali mudah ditemui di pinggir jalan, bersaing dengan jasa pertunjukan badut untuk acara ulang tahun anak-anak. Dengan mudah kita akan menemukan berbagai iklan jasa organ tunggal di dunia maya. Bahkan beberapa group organ tunggal telah memiliki situs web sendiri.
Dan para penyedia jasa pernikahan, yang kini lebih memainkan perannya sebagai wedding event organizer, pun kini tak hanya menyediakan penyewaan tenda, kursi, dekorasi pelaminan, dokumentasi, juga memasukkan organ tunggal dalam daftar atau paket yang bisa diorder.
Gejala ini menarik lebih dari sekadar hubungan antara perkembangan teknologi (musik) dan budaya massa. Melainkan juga bagaimana organ tunggal pelan-pelan telah mengubah proses pemaknaan terhadap berbagai hal di balik sebuah peristiwa pertunjukan. Tak hanya berubahnya makna jarak antara penonton dan penampil, tetapi juga perubahan yang berurusan dengan prestise yang diam-diam selalu dilekatkan pada setiap kenduri.
Kepraktisan dan
prestise
Memandang organ tunggal dalam berbagai pesta perkawinan, tampaknya modernitas memang tengah memenuhi janjinya, yakni, perkembangan teknologi yang membawa efisiensi dan efektivitas. Gampangnya saja, organ tunggal sebagai pertunjukan tak memerlukan panggung seperti halnya nanggap orkes dangdut yang biayanya mencapai puluhan juta. Dengan biaya dua juta rupiah dan teras rumah beberapa meter, pertunjukan dangdut bisa digelar, lengkap dengan penyanyi yang cantik.
Oleh karena itulah menurut Hawe Setiawan, menggejalanya pentas organ tunggal sejalan dengan menguatnya kecenderungan masyarakat dewasa ini untuk berpikir praktis, dalam arti merayakan peristiwa penting dalam kehidupan mereka dengan tidak mengeluarkan terlalu banyak biaya. Namun, hal ini mengakibatkan kian mengecilnya peluang bagi bentuk-bentuk pertunjukan seni tradisional seperti wayang, reog, kliningan, dan sejenisnya yang memang membutuhkan panggung besar, SDM banyak, dan biaya besar.
"Organ, sebagai instrumen musik listrik yang ajaib, dapat memenuhi kebutuhan kepraktisan itu. Bisa dipakai memainkan aneka jenis lagu, dari dangdut hingga jazz, dan bisa mengiringi segala jenis vokalis. Saya kira, organ tunggal juga berkaitan dengan ruang (space). Tatkala ruang publik kian menyempit, organ tunggal masih menyediakan kemungkinan untuk membuat keriaan dalam kehidupan orang banyak," ujar kolomnis yang pernah turun berjoget di pentas organ tunggal dalam suatu pesta pernikahan ini.
Jika tanggapan dalam kenduri pernikahan dihubungkan dengan prestise, kehadiran organ tunggal mau tak mau telah mengubah peta prestise tersebut. Jika sebelumnya pertunjukan dangdut dalam pesta pernikahan hanya bisa dilakukan orang-orang berduit, dengan organ tunggal siapa pun bisa menyajikan hiburan dangdut, betapa pun berbedanya kualitas prestise itu. Dalam pandangan seniman Indramayu Supali Kasim, kini semua orang kelas menengah ke bawah bisa mengorder organ tunggal. Prestise kemapanan itu runtuh. Meski sering kali timbul penurunan secara kualitas, terutama pada lagu-lagu yang menyebut genre tarling dangdut, tetapi itu tidak lagi menjadi penting.
"Secara kualitas memang terjadi penurunan. Saya melihat pertunjukan organ tunggal jadi tak ubahnya dengan diskotik, termasuk penyanyi yang memanggil-manggil dengan manja. Akan tetapi dalam peristiwa itu yang penting joget, kegembiraan bersama, dan sawer. Sawer pun sekarang jadi tidak lagi milik kaum elite. Siapa pun bisa nyawer, kalau perlu uang sepuluhribuan ditukar dengan ribuan, supaya kelihatan sering nyawer," kataanya, seraya menambahkan bagaimana prestise sebuah pesta pernikahan di Indramayu diukur dari ada tidaknya organ tunggal.
Namun, seperti disebut Hawe, organ tunggal tampaknya memang sedikit banyak telah membuat sempitnya peluang bagi seni-seni tradisi. Paling tidak, semakin jarang kita melihat ada pesta pernikahan yang dilengkapi dengan tanggapan degung seperti dulu.
Merayakan keberadaan subjek
Sebagai peristiwa pertunjukan, penampilan satu grup organ tunggal di pesta pernikahan sesungguhnya tengah mengurai batas dan jarak antara penampil dan penonton. Antara penyanyi dan yang menonton, atau mereka yang berjoget. Ruang yang tak begitu luas, malah mengurai jarak tubuh antara yang ditonton dan yang menonton. Kenyataan ini seolah meniadakan hierarki antara bintang (penampil) dan penonton, seperti lazimnya ditemukan dalam konser musik dengan panggung besar, di mana penampil adalah sang bintang dan penonton diposisikan semacam rakyat.
"Sementara pada organ tunggal, pertunjukan musik menjadi lebih personal. Penonton dan penampil menjadi sangat dekat. Mereka tidak dipisahkan oleh jarak yang tegas. Penonton dapat menjadi bagian dari pertunjukan yang jadi milik bersama. Di situ penonton menjadi subjek. Nah, pada saat tertentu orang-orang kecil, yang selama ini jadi objek terus-menerus, ingin mendapatkan diri mereka sebagai subjek. Maka, musik seperti organ tunggal menjadi cocok untuk merayakan keberadaan subjek itu," kata kritikus seni Adi Wicaksono.
Dalam pandangannya pula, pertunjukan musik organ tunggal tak sekadar murah dan praktis, tetapi juga telah menjadi teman yang membuat orang kecil menemukan dirinya sendiri. Diri yang personal, bukan sesuatu yang anonim seperti dalam konser musik panggung besar dan massal.
Lepas dari berbagai pandangan terhadapnya, mulai dari goyang para penyanyi yang dianggap kelewatan sampai tertutupnya peluang bagi seni-seni tradisi, organ tunggal adalah perkembangan dalam kenyataan yang ada hari ini di tengah masyarakat. Sebuah fenomena pasar pertunjukan yang tampak tak surut penawaran dan permintaannya. Entah benar atau tidak, atau mungkin hanya joke, ramainya pasar tanggapan organ tunggal ini bisa tersirat dari cerita yang kerap disampaikan oleh budayawan Cirebon Ahmad Syubbanuddin Alwy, tentang seorang anggota DPRD yang salah mengartikan maksud kata "tanggapan" seusai menghadiri suatu pertemuan.
"Bagaimana Bapak tanggapannya?" tanya wartawan. Dengan sigap sang wakil rakyat itu menjawab, "Tanggapan saya? Ya, kalau dulu wayang, sekarang organ tunggal! . (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Januari 2011
No comments:
Post a Comment