-- Beni Setia
LEGENDA Sangkuriang terkadang hanya dirujukkan pada fakta ruang (gunung) Tangkuban Parahu—selain Burangrang dan Patuha—, lantas (Sungai) Citarum, danau purba Bandung yang surut, dan Sanghyang Tikoro. Titik di Rajamandala, di mana air mengabrasi lapisan lahar dingin pembendung Citarum, dan jadi terowongan liar yang mengeringkan danau purba Bandung. Fakta sanksi etis dari pelampiasan seksualitas di luar ritual pernikahan diabaikan, dan karenanya banyak pihak melupakan inti ajaran konvensional untuk menahan diri liar melampiaskan obsesi seksual.
Prolog teks Sangkuriang terkadang dilupakan. Cerita tentang seorang penguasa (Sungging Perbangkara) yang senang berburu serta hedonis menghabiskan hari di pedalaman diabaikan. Terutama fakta kencing sembarangan, sehingga air kencingnya yang tertampung kelopak daun dijilati babi liar (Wayungyang), dan menyebabkannya hamil tak dibaca sebagai simbol sembarang wanita dari kelas bawah. Dayang Sumbi lahir, diasingkan di pedalaman sebagai wanita trah yang tidak punya hak buat ada di istana diabaikan. Fakta hidup mapan hanya hidup santai menenun—lalu alat tenunnya jatuh, diambilkan si Tumang dan bercinta dengan anjing, lambang pria pengawal.
Ada obsesi seksual yang timpang, majikan memanfaatkan bawahan dan si orang sembarang. Terjadi gradasi pengamalan etika dan peningkatan agresi (obsesif) seksual yang tidak dikekang kesewajaran moral. Dayang Sumbi itu degradasi etika Sungging Perbangkara, dan Sangkuriang itu tingkat terendah degradasi itu—membunuh si ayah, menggejar ibu sebagai objek pelampiasan (obsesi) seksual, persis yang diisyaratkan Freud. Tapi apa degradasi etika dan peningkatan agresi (obsesif) seksual itu tereduksi dengan Dayang Sumbi melakukan pertobatan dan menyepi di (gunung) Patuha? Apa obsesi seksual dan keinginan untuk melampiaskan insting syahwat itu mereda dengan ketiadaan mereka?
Soni Farid Maulana (SFM) menjawab: Tidak!
***
BUKU kumpulan cerpen SFM, Empat Dayang Sumbi (Komunitas SLS, 2011), terdiri dari dua bagian. Pertama, Empat Dayang Sumbi, yang terdiri dari dua cerpen ditulis 2002, yakni Kafe Cicak Terbang dan Aku, Tias, dan Secangkir Kopi, lantas cerpen Panggil Saya Aura (2003) serta Pisau Berkilat di Tangan Ning (2005). Semua cerpen itu diawali dengan kehadiran ajaib Dayang Sumbi di masa kini—dan ini yang akan jadi fokus dari telaah singkat ini. Lantas ada sepuluh cerpen-puisi mini yang diberi judul Merindu Wulan dalam Hujan, semacam anekdot yang puitis, beraspek sugesti seksual dan berkadar humor, yang ditafsirkan berdasar fokus telaah.
Cerpen pertama, Kafe Cicak Terbang, bercerita tentang pertemuan gaib antara seorang wartawan-budayawan dengan seorang perempuan misterius, yang mengaku bernama Tias dan tapi kemudian menyatakan diri sebagai Dayang Sumbi. Ada kencan singkat, ada dialog, dan sekaligus ada ketakutan si Dayang Sumbi kalau Sangkuriang masih memburunya dan akan terus memburunya—dengan membabi buta membunuh si tokoh cerita—, karenanya ia menghilang dengan ruap aroma bunga yang khas. Cerpen kedua, Aku, Tias, dan Secangkir Kopi, ditulis di tahun yang sama, bercerita tentang si tokoh pulang kehujanan, bergegas mandi, dan ketika ia bersarung handuk masuk ke kamar: ada Tias yang Dayang Sumbi. Ada dialog, ada kencan, dan ada janji si Dayang Sumbi akan datang sebagai Tias, dan mereka itu yang berjodoh di alam nyata.
Cerpen ketiga, Panggil Saya Aura, merealisasi janji Dayang Sumbi itu, lewat kehadiran Tias untuk si tokoh secara ajaib. Terjadi kencan yang dihiasi reruap aroma bunga yang khas, sebelum kemudian Tias—yang minta dipanggil: Aura—menghilang, karena diungsikan orang tuanya, yang tidak mau anaknya berkencan dengan lelaki tak jelas dan hamil dengan lelaki tak keruan. Cerpen keempat, Pisau Berkilat di Tangan Ning, bercerita tentang kehilangan si tokoh, kebertemanan dengan gadis Ning yang unggul berkesusastraan, dan kencan di kamar Ning. Di sana si tokoh mengakui bila ia yang bercinta dengan Aura—sehingga hamil dan mati saat melahirkan, lalu si anak itu juga mati, dan mereka dikuburkan di Cieunteung, Tasikmalaya. Si tokoh tercenung.
Di tengah ruap aroma bunga yang khas, Ning mengatakan akan mengantarkan si tokoh berziarah, dengan menghunus pisau yang akan mengupas mangga di celana si tokoh. Simbolisme puisi khas SFM, sekaligus itu kata penutup konvensional khas dari seorang SFM: obsesi seksual yang liar dan pelampiasan yang membabi buta hanyalah pantas diakhiri dengan pengebirian. Dan pembunuhan, barangkali, realisasi kehadiran Sangkuriang, yang cemburu karena si tokoh bercinta dengan penjelmaannya Dayang Sumbi. Apa pun, ambiguitas nilai antara konvensionalisme nilai kelurga dan cemburu obsesif seksual yang agresif dari Sangkuriang, menjadi masalah tak penting, karena yang digarisbawahi justru: obsesi seksual yang liar dan pelampiasan syahwat yang agresif itulah yang tidak disukai SFM.
***
KONTROL moral konvensional SFM atas obsesi seksual itu bisa dilihat juga di cerita-puisi mini yang ditulis 2011, dan kini relatif menjadi ekspresi terkini beberapa sastrawan Indonesia. Kita lihat reaksi marah atas perlakuan tak senonoh pada cerpen-puisi mini Belut, semacam agresivitas khas si Ning. Lantas intertekskan itu dengan cerita-puisi mini Lintah—seorang model lukisan menuntut bayaran yang lebih tinggi kepada si pelukis yang saat itu membayarnya murah dan ada memegang-megangnya, yang ada di alur Ning tapi dengan perhitungan dagang. Dan tendens ekonomi itu ada di Rumah Tangga Penyair, meskipun pendekatan yang obsesif seksual ada di Pukulan Telak dan Putri Sepatu Kaca, sedangkan motif campuran ekonomi dan seksual ada di Iklan dan Bajing.
Puncak obsesi seksual dengan target pernikahan sah—meskipun (mungkin) itu hanya penguasaan objek seksual secara posesif seorang Rahwana—di satu sisi, dengan hanya petualangan seksual untuk pelampiasan syahwat dari Sita yang merasa nyaman dalam rumah tangga dengan Rama, ada dalam cerita-puisi mini Sita. Di titik ini saya tidak tahu, apa SFM masih menginginkan realisasi moral konvensional pernikahan atau tak ingin jadi si objek pelampiasan syahwat liar yang merugi karena banyak memberikan hadiah barang. Tidak jelas—terlalu ringkas. Kita butuh cerpen lain—bahkan mungkin novel. Memang.
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012
No comments:
Post a Comment