-- Evi Melyati
COBA tanyakan kepada pelajar di NTT sekarang ini siapa itu Gerson Poyk. Boleh jadi mereka belum pernah mendengar namanya. Kalau pun sudah kenal nama ini mungkin hanya mendengarnya dari orang lain, atau guru di bangku sekolah. Dan bukan mengenalnya dari buah karya sastra gemilangnya. Padahal karya cerpen dan roman sastrawan kelahiran Rote 16 Juni 1931 ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Anehnya banyak yang belum mengenal nama ini.
Gerson Poyk tidak begitu peduli namanya belum dikenal masyarakat luas negeri ini.Tetapi sosok pemenang dua kali penghargaan Adinonegoro ini bangga buah penanya yang bernilai sastra terus diterbitkan sejumlah media cetak di Jakarta.
Semasa di bangku sekolah menengah atas, di lembah Hokeng yang sejuk, di San Dominggo, nama ini sudah melekat erat. Karya cerpennya Oleng Kemoleng memang terlalu menarik untuk tidak dibaca. Nama Gerson Poyk selanjutnya semakin intens melekat erat dalam sanubariku. Tetapi di awal tahun ini, nama ini membuat jiwa siapa saja yang peduli dengan nasib warga Flobamora jadi berontak. Seperti diberitakan Pos Kupang, baru-baru ini, Gerson melontarkan warning (peringatan) bahwa sudah banyak orang NTT tergusur dari budaya aslinya.
"Saya sangat kecewa dan prihatin terhadap apa yang saya lihat. Banyak orang hidup dalam kondisi teralienasi, tercabut dari akar budaya aslinya. Mereka menjadi asing di tengah-tengah denyut kehidupan sekitar," ujar Gerson seperti ditulis Tony Kleden di Pos Kupang.
Mungkin kurang representatif untuk tiba pada kesimpulan itu, tetapi Gerson tidak asal ngomong. Asal tahu saja, sejak kurang lebih dua bulan terakhir Gerson Poyk "mudik" dan mengadakan perjalanan nostalgia di beberapa tempat di NTT. Di Manggarai, misalnya, dia mengamati cara bertani lodok. Malah model ini, menurutnya, layak ditiru (Pos Kupang, 26/1). Di Kota karang Kupang, Gerson tiap hari menyusuri jalan dan lorong dengan sepeda tua, melihat dan merasakan denyut kehidupan warga kota Kupang. Gerson pun melihat banyak perubahan dan tercerabut dari akar budayanya. Meminjam judul cerpennya sendiri, apakah aku pun hanyut dalam ketidakpastian dan menjadi oleng kemoleng di tengah hempasan perubahan Kota Karang ini? Ketakutan akan kehilangan sense of direction ketika nilai dan norma moral begitu gampang direduksi, juga menjadi demikian menghantui nuraniku. Dalam keadaan seperti itu, akankah aku hanyut dalam proses mimesis tanpa sadar?
Peringatan yang dilontarkan Gerson Poyk mungkin terlalu dini. Alienasi dalam konteks kebudayaan, memang melewati suatu proses panjang. Bagaimana di Kupang? Dengan letaknya yang strategis di persimpangan utara dan selatan, barat dan timur, Kupang akan berkembang menjadi kawasan yang sangat prospektif di Asia Pacific. Dan karena itu Kupang menjadi fokus bidikan teropong para pialang uang. Sebagai kota yang tengah berdandan merias diri, Kupang tak dapat tidak dipengaruhi arus perubahan. Sekarang pun, kerap tampak temaram kota ini, dan itu terlihat dalam hampir semua bidang kehidupan manusia. Dari selera makan, mode pakaian, irama musik, potongan rambut, gaya rumah hingga goyang tarian.
Hasil, atau lebih tepat akibat, perubahan seperti ini tak dapat dielak. Pengaruh dari luar dengan sekian banyak implikasinya tak mungkin dibendung. Sebagai barometer propinsi 566 pulau, Kupang akan menentukan wajah Flobamora ini di era keterbukaan. Dalam konteks seperti ini, peringatan Gerson Poyk harus menjadi tanda zaman yang terlalu penting untuk diabaikan. Gerson tentu mengingatkan banyak hal terkait dengan penghayatan (dan juga apresiasi terhadap) kebudayaan sendiri.
Alienasi merupakan suatu fenomena kebudayaan yang sangat kentara terlihat di kota-kota. Di Kupang yang nampak kian urban, gejala ini sangat transparan dan dialami merata oleh hampir semua orang. Mahasiswa yang menuntut ilmu di bangku kuliah, pendatang dari kampung dan desa yang mencoba mengais rejeki, petualang yang hendak menambah pengalaman. Wisatawan asing yang harus transit, dan lain-lain. Dengan latar budaya masing-masing semua mereka ini membaur menjadi satu.
Dengan sedikit gambaran seperti ini, tak sukar membayangkan apa akibat yang bakal muncul. Dalam konteks penghayatan kebudayaan situasi seperti ini langsung mengakibatkan benturan budaya yang hebat. Dalam benturan ini sekurang-kurangnya ada empat kemungkinan yang bisa terjadi. (Lihat, Dr. Leo Kleden, dalam Majalah Vox, Seri 35/3-4 1990).
Pertama, orang bisa menutup diri dan hidup dalam ghetto kultural. Apa yang asing dianggap haram, sedangkan kebudayaan sendiri diagung-agungkan dalam romantisme naif. Kedua, orang bisa menyerap secara mentah-mentah kebudayaan asing sambil melupakan akar kebudayaan sendiri. Ketiga, bisa juga terjadi semacam schizophrenia sosial, yaitu keadaan kepribadian dan kejiwaan yang terpecah antara beberapa pilihan yang semuanya saling tumpang tindih.
Keempat, transformasi kebudayaan secara kreatif. Kemungkinan keempat ini adalah yang paling baik. Tetapi transformasi kebudayaan secara kreatif mensyaratkan banyak hal. Antara lain, orang harus mengenal akar kebudayaan sendiri dengan segala sisi positip dan negatipnya. Orang juga perlu mengenal dengan baik kebudayaan asing. Selain itu dibutuhkan keberanian dan daya cipta untuk memadukan nilai-nilai terbaik dalam diri sendiri dan dalam masyarakat di mana orang berada.
Pikiran-pikiran seperti inilah yang mungkin ditulis oleh Gerson Poyk dalam peringatannya. Masing-masing orang bisa membaca dengan kacamata berbeda. Yang jelas, tulis Tony Kleden di Pos Kupang, idiom yang dipakai Gerson Poyk dalam peringatannya cuma satu: alienasi dan transformasi.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 14 Januari 2012
1 comment:
Yah, seringkali dunia pendidikan kita belum benar-benar melihat "Pahlawan" Kesusastraan, hal ini yang membuat banyak para anak didik yang belum mengenal betul siapa-siapa para "pahlawan" kesusastraan, kecuali hanya sebatas mengenal pahlawan nasional. Ulasan diatas sangat menarik.
Salam,
olivia dewi
Post a Comment