Monday, February 28, 2011

Menyoal Boikot Media

-- Sabam Leo Batubara

DI Istana Bogor, Senin (21/2/2011), Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengemukakan pernyataan kontroversial.

Menyikapi beberapa media yang dinilai menjelek-jelekkan pemerintah, Dipo mengatakan akan memerintahkan seluruh staf khusus presiden untuk tidak meladeni wawancara televisi karena hanya membuat laris televisi tersebut. Juga akan memberi seluruh sekjen dan humas kementerian instruksi untuk memboikot iklan media nasional yang kritis terhadap pemerintah. Bagaimana seharusnya menyikapi media kritis? Dibredelkah, dikriminalkankah, atau diboikot?

Di era Orde Lama dan Orde Baru media yang kritis atau memberitakan kejelekan pemerintah terancam terkena sanksi berat. Ratusan penerbitan pers yang pemberitaannya berseberangan dengan kebijakan pemerintah tidak diboikot, tetapi dibredel, dan puluhan wartawannya dipidana penjara.

Ketika itu Gubernur DKI Jakarta 1965-1976 menempuh kebijakan lain. Dia justru memerlukan kritik pers, termasuk berita-berita negatif tentang penyelenggaraan pemerintahannya. Ali Sadikin menggunakan kritik dan berita negatif sebagai masukan untuk perbaikan dan penyesuaian langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Dia tercatat tak pernah mengancam memboikot media kritis.

Bolehkah media diboikot? Beberapa tahun lalu artis terkenal AS, Madonna, meluncurkan video klip lagu baru dan tampil berpakaian bikini. Di bagian belakang dan depan terpampang gambar salib. Umat Kristen dan Katolik menilai itu menghina agama mereka. Di AS menghina agama tak melanggar UU. Kemudian para pendeta dan pastor di mimbar-mimbar gereja mengajak umat memboikot tidak membeli produk artis tersebut.

Karena kampanye pemboikotan berdampak merugikan penjualan video klip, Madonna menghentikan ulahnya. Pemboikotan dianggap sebagai hak konstitusional penganut agama itu.

Lima tahun lalu edisi pertama Playboy Indonesia beredar. Menyikapi pengaduan publik Dewan Pers mengeluarkan pernyataan penilaian, media itu adalah produk pers dan berhak terbit berdasarkan UU No 40/1999 tentang pers. Memenuhi undangan Majelis Ulama Indonesia Alamudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers dan saya sebagai Wakil Ketua Dewan Pers waktu itu menjelaskan media ini berkategori media cetak khusus dewasa.

Bertentangan dengan UU

Saya juga menyatakan, kalangan yang menilai media itu sebagai tak layak dibaca berhak mengeluarkan seruan kepada anggotanya untuk memboikot media itu. Sementara membredel atau mengkriminalkan media bertentangan dengan konsep UU Pers, yang berparadigma demokrasi.

Pernyataan atau kebijakan pejabat pemerintah untuk memboikot media tertentu—sementara belum jelas apakah media itu melanggar UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran atau tidak— menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Pertama, pembuatan penilaian, keputusan, kesimpulan perlu ketersediaan fakta yang cukup dan benar serta penalaran yang benar. Pejabat yang tidak mengetahui kelemahan instansinya berpotensi keliru dalam merumuskan cara bertindak. Kedua, Alvin Toffler dalam The Third Wave menyatakan, saat ini era peradaban gelombang ketiga, atau era informasi. Berdasarkan pendapat itu berlaku dalil, ”Siapa memiliki informasi lengkap akan memenangkan pelaksanaan tugas pokoknya”. Media massa adalah pemasok informasi. Boikot media berdampak ketidaktahuan atas informasi tertentu.

Ketiga, berdasarkan Pasal 6 Huruf a UU Pers, pers nasional melaksanakan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Jika staf khusus presiden dilarang memasok informasi ke media tertentu, masyarakat khalayak pengguna media tersebut kehilangan haknya.

Keempat, tak lama setelah dilantik menjadi presiden RI, yakni pada 25 Januari 2005, SBY dalam pertemuannya dengan Dewan Pers menggariskan kebijakannya: ”Penyelesaian masalah berita pers ditempuh pertama, dengan hak jawab; kedua, bila masih dispute, diselesaikan ke Dewan Pers; ketiga, bila masih dispute, penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel”. Sebagai pembantu SBY, sepatutnya Dipo memberikan teladan kepada bangsa untuk mengadukan media bermasalah sesegera mungkin ke Dewan Pers dan KPI.

Sabam Leo Batubara
, Wakil Ketua Dewan Pers 2007-Februari 2010

Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011

Kelas dalam Diri Kita

-- Radhar Panca Dahana

KEMISKINAN adalah kewajiban kapitalisme. Dalam sistem ekonomi yang mengedepankan kapital sebagai daya gerak utama, di mana pasar bebas seolah kenyataan yang tak terhindarkan, kemiskinan pun jadi satu hal yang inheren di dalamnya.

Kenyataan teoritik dan praktik ini menjelaskan bagaimana bukan hanya petani gurem dan nelayan, melainkan juga penarik ojek, sopir angkot, pedagang kecil hingga kuli bangunan tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, haknya untuk hidup sebagai manusia.

Rakyat kecil, mereka yang berakar di padang rumput negeri kita, adalah bagian paling tragis dari drama modernisme ekonomi yang kini terjadi, sebagai buah perubahan dan ”peradaban” baru sejak lahirnya Orde Baru hingga Reformasi. Mereka tidak lain hanya batang besar yang segera mengering karena benalu-benalu gemuk yang mengisap dengan kuat menggunakan ilmu, teknologi, dan sistem yang memang berpihak padanya.

Realitas artifisial

Sebuah perhitungan baru memang secara imperatif harus dilakukan. Dengan sadar, dengan sabar, dan dengan kerendahan hati, kelapangan jiwa, serta kebersihan pikiran kita.

Perhitungan itu bisa dimulai dengan memeriksa premis atau logika dasar yang sederhana dari kapitalisme itu sendiri. Pertama, kapitalisme memiliki diktum yang diterima semua pihak bahwa ”semua manusia memiliki peluang atau kesempatan yang sama”. Untuk aktualisasi diri, berkembang, memiliki kuasa atau—tentu—menjadi kaya. Namun, kita mengerti benar, realitas sosial-politik-ekonomi-kultural kita—juga di mana saja—membantah dengan keras premis itu. Karena peluang atau kesempatan itu ternyata harus berhadapan dengan prasyarat keras berupa relasi, kecerdasan, jaringan, teknologi, pengaruh, dan tentu saja modal hingga regulasi yang berpihak.

Akses atau kepemilikan prasyarat di atas menentukan kuat- lemah atau besar-kecilnya peluang seseorang. Maka, tak terelakkan, seseorang harus menyadari dirinya ada pada tingkatan atau kelas tertentu. Kelas yang menyebabkan ia tak memiliki peluang atau kesempatan yang sama dengan penghuni kelas yang lain. Tentu saja, pengusaha kecil bermodal Rp 1 juta tidak mungkin berkompetisi atau memiliki peluang yang sama dengan pengusaha bermodal Rp 1 miliar, terlebih dengan Rp 1 triliun.

Kedua, sistem semacam ini juga dilandasi tujuan dasar untuk meraih profit, keuntungan yang imperatif juga harus tumbuh, berlipat ganda dalam satu satuan waktu tertentu. Keuntungan pengusaha ”1 T” tentu akan berlipat dari modal dasar pengusaha ”1 M”, begitu pun pengusaha ”1 M” akan berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari modal dasar pengusaha ”1 Jt”, dan seterusnya. Maka, dari struktur modal saja, peluang itu pun semakin memperlebar jurang perbedaannya, jarak antarkelasnya.

Tidak mengherankan bila kapitalisasi ekonomi sebuah negara pada akhirnya akan menumpuk pada pengusaha dengan modal- modal raksasa. Lebih menggiriskan ketika target pertumbuhan profit membuat raksasa modal itu harus melakukan invasi, mengisap potensi-potensi profit dari para pengusaha liliput.

Pemiskinan pun tidak terhindarkan, bahkan jadi konsekuensi logis dari sistem dan logika seperti ini. Kerakusan dan imperialisasi modal mendapatkan legitimasi, juga legislasi dalam regulasi di semua level. Rumput rakyat pun jadi bagian rumah bangsa yang seolah bernasib harus diinjak atau diratakan oleh buldoser modal, sebelum ia dapat tumbuh dengan baik.

Dengan mencermati dua saja dari logika dasar di atas—dari beberapa hal lain yang bisa disebutkan—kita sudah dapat memahami bagaimana ekonomi yang berkembang di negeri ini, dengan data-data statistik yang seksi, hanya menghadirkan realitas artifisial, jika bukan sebuah kebohongan intelektual atas kenyataan yang ada. Namun, kita bersama—termasuk mereka yang menciptakan dan memutuskan kebijakan—”telanjur” menempatkan semua sukses yang seksi itu sebagai ukuran utama, dasar pemahaman kita pada hidup, pada cara kita bereksistensi.

Sementara, sesungguhnya, dasar-dasar itu menyimpan paradoks, di mana realitas yang hidup ternyata bertentangan dengan premis-premis dasar sistem kapitalistis di atas. Bertentangan dengan perdebatan historisnya dengan Marxisme yang melihat masyarakat berada dalam kelas-kelas yang berada dalam konflik kepentingan (merebut akses atau kuasa pada berbagai sumber daya), tanpa jargon atau pengakuan secara teoritik kapitalisme pun sebenarnya mengakui bahkan menciptakan kelas-kelas itu secara sengaja.

Dengan menyatakan ”semua manusia berpeluang sama” untuk kaya dan berkuasa, sesungguhnya kapitalisme berada dalam utopia. Tentu saja kita paham, keduanya gagal total. Namun, satu hal yang dapat kita terima, sadar atau tidak sadar, keduanya—termasuk dalam turunannya: kapitalisme regulatif atau protektif, dan sosialisme—mengakui kenyataan manusia yang ada dalam kelasnya masing-masing.

Keadilan sosial

Hidup masa kini dan masa depan adalah hasil usaha dan pengabdian dari potensi terbaik kita sebagai manusia. Pertumbuhan dan perkembangan tentu terjadi tanpa harus dengan kerakusan akan dunia (harta). Karena usaha atau kerja bagi kita, masyarakat Nusantara, bukan sekadar cara memenuhi kebutuhan hidup, melainkan bagian dari ibadah kepada-Nya, Yang Mahakuasa, apa pun yang dipercaya oleh masing-masing kita.

Sebuah commune yang dibayangkan Marxisme atau ”peluang yang sama untuk berkuasa dan berharta” dalam kapitalisme sesungguhnya menjadi candu yang memabukkan kesadaran kita akan kenyataan. Tidak haram untuk berlebih harta atau kuasa, tetapi tidak berlebih pun, hidup dengan kepantasan dan kesederhanaan, tentu juga bukan sebuah dosa, bahkan mungkin mulia.

Maka, tidak perlu si pandir jadi pejabat, penipu jadi bangsawan, atau pencuri jadi hartawan; tak perlu Petruk menjadi raja, apalagi dengan cara-cara yang keji, yang mengkhianati kemanusiaannya sendiri. Setiap orang memiliki tugas hidupnya sendiri-sendiri, kewajiban historis, keilahian, dan tuntutan kulturalnya sendiri-sendiri.

Prestasi adalah hasil sebuah disiplin dan perjuangan. Mereka yang tidak cukup kuat berjuang dan disiplin tidak harus merebut prestasi orang lain, atau meraihnya dengan cara-cara yang tidak beradab.

Maka, bila yang berkuasa dan berharta pun menyadari ini, ia akan melihat imperasi kapitalisme, misalnya, yang meminta kita untuk terus meningkatkan laba dan penghasilan, sebagai sebuah imperialisme terhadap kedaulatan dirinya, kemanusiaannya. Bila para petinggi atau raksasa itu mau ”berhenti berprofit”, mencukupkan apa yang sudah dimilikinya, secara tidak langsung ia telah memberikan peluang profit itu kepada orang lain, kepada rakyat hingga di akar rumputnya.

Mungkin di sini keadilan sosial dapat tercipta, di mana kita yang mengupayakannya, pemerintah yang menjaganya.

Radhar Panca Dahana
, Budayawan

Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011

Kesenian Tradisional: Opera Batak Tampil Empat Bahasa

Medan, Kompas - Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) akan menampilkan opera Batak dalam empat bahasa pada satu panggung, yakni bahasa Karo, Simalungun, Toba, dan Indonesia. Biasanya opera Batak identik dengan bahasa Batak Toba.

Pergelaran akan berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, 11-12 Maret 2011, dengan naskah adaptasi cerita rakyat berjudul Si Jonaha (Si Jenaka).

Sutradara dan penulis naskah Si Jonaha, Thompson HS, pekan lalu, mengatakan, naskah disarikan dari cerita rakyat yang berkembang di tiga daerah, yaitu Tanah Karo, Simalungun, dan Batak Toba. ”Bahasa Indonesia digunakan untuk menjembatani penonton yang tidak bisa berbahasa daerah. Ungkapan bahasa Indonesia akan disampaikan pemain sedikit-sedikit dalam dialog,” kata dia.

Cerita rakyat Si Jonaha cukup unik. Tiga daerah punya cerita tentang Si Jonaha, tetapi dalam rentang usia berbeda. Di Karo, cerita tutur yang muncul adalah saat Jonaha kecil, di Simalungun saat Jonaha remaja, dan di Toba saat Jonaha dewasa.

Namun, sifat Jonaha sama. Ia lugu sekaligus pintar mengakali orang lain.

Bagi pelaku dan pencinta opera Batak, naskah Si Jonaha adalah sebuah pencapaian baru opera Batak. Sebelumnya, naskah-naskah opera Batak hanya disampaikan dalam bahasa Batak Toba.

Di Karo, kisah Si Jonaha adalah tentang anak kecil yatim piatu yang diasuh pamannya. Karena jengkel dengan keluguan dan kemampuan Jonaha mengakali orang, pamannya menjual Jonaha. Jonaha bisa mengelabui si pedagang dan merantau ke Simalungun.

Di Simalungun, kisah Jonaha memperdaya orang lain pun banyak terjadi, termasuk pada ibu angkatnya. Akhirnya, ia lari ke Toba.

Di Toba, ia menjadi penjudi yang suka memperdaya orang. Kisah konyolnya memperdaya orang akan menghiasi seluruh rangkaian cerita komedi itu. Pentas serupa pernah dilakukan di Pulau Batam, tahun lalu.

Pemimpin produksi Ojax Manalu mengatakan, meskipun opera Batak merupakan seni tradisi, tidak ada bantuan pemerintah dalam proses produksi. ”Semua kami upayakan sendiri dari sponsor dan penjualan tiket,” tutur Ojax.

Selain maestro opera Batak Alister Nainggolan dan Zulkaidah boru Harahap, para pemain opera adalah peserta program pelatihan revitalisasi opera Batak bantuan Pemerintah Provinsi Sumut tahun 2008.

Pergelaran ini menjadi ajang mengumpulkan koin untuk membangun kembali rumah adat Karo yang terus berkurang. (WSI)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011

Penerbitan "I La Galigo" Terkendala

MAKASSAR, KOMPAS - Penerbitan karya sastra I La Galigo yang merupakan epik masyarakat Sulawesi Selatan abad ke-13 hingga ke-15 terkendala. Padahal, karya sastra yang ditulis pada daun lontar ini menarik perhatian dunia karena isinya cukup beragam dan sangat panjang.

I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang naskah aslinya setebal 6.000 halaman kini berada di Leiden, Belanda. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan M Salim, dosen Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar.

Salim membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan, yakni sejak 1988 hingga 1993, untuk menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Penerbitan pertama 17 tahun lalu (1994). Penerbitan jilid kedua tahun 2003.

”Setelah itu, tidak ada lagi penerbitan naskah terjemahan karena tidak ada dana,” kata M Salim, akhir pekan lalu. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak mengucurkan dana untuk menerbitkan naskah yang bisa jadi lebih tua dari epik Mahabarata dari India tersebut.

Padahal, I La Galigo merupakan peninggalan tertulis yang sangat berharga karena mengungkap kekayaan budaya Sulawesi Selatan sebelum abad ke-14. Di sisi lain, kini sangat sedikit orang di Sulawesi Selatan yang bisa memahami I La Galigo.

Hikayat I La Galigo menjadi terkenal secara internasional setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater oleh sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson, tahun 2004. Menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan Jakarta pada 2005.

Pentas di Sulawesi Selatan

Setelah tampil di banyak negara, I La Galigo menurut rencana akan tampil di Makassar, 23-24 April 2011. Pementasan itu atas prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar, dan Change Performing Arts (Italia).

Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi 2-2,5 jam. Setidaknya 100 pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.

Penyelenggara saat ini masih menyurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Geladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.

Sempat timbul kekhawatiran I La Galigo akan kehilangan rohnya setelah penari Coppong Daeng Rannu meninggal tahun lalu. ”Kami juga masih mencari penari di Gowa, Bone, dan seluruh wilayah,” ujar Restu Kusumaningrum, produser I La Galigo. (SIN)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Februari 2011

Sunday, February 27, 2011

[Kehidupan] Budaya Pop: "Koruptor Minggir Saja...!"

-- Frans Sartono & Budi Suwarna

”ADA banyak cara untuk pamer kekuasaan Salah satunya usir KPK dari Senayan... Ada banyak cara untuk menjadi mafia Salah satunya memakai wig dan kacamata....”

Para siswa sekolah gratis dari Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) Ibu Pertiwi ikut berunjuk rasa dalam Deklarasi Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) di Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (22/2). APPI bertekad menjadi wadah yang menampung aspirasi para wali murid dalam mewujudkan pendidikan yang bebas dari korupsi, murah, dan berkualitas. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Itu penggalan lagu ”ABC” (Ada Banyak Cara ) dari Bimbo yang sejak dua pekan lalu

diputar di televisi. Lagu berlirik sinikal karikatural itu diangkat dari puisi karya Acep Zamzam Noor.

Lewat lagu, Bimbo merespons secara jenaka

situasi negerinya. Situasi yang oleh Acil ”Bimbo” digambarkan sebagai bertatanan

porak poranda, termasuk korupsi yang merajalela. Kelompok bersaudara

berawak Samsudin, Acil Darmawan, dan Jaka Purnama itu memberi semacam counter lewat medium budaya massa (pop culture) berupa lagu yang dengan mudah diakses publik secara luas.

”Di mana masyarakat gelisah, perlu ada yang memberi kesejukan. Bimbo main di situ. Kami mewakili kekesalan masyarakat lewat lagu,” kata Sam tentang latar belakang pemicu Bimbo menyanyikan lagu ”ABC”.

Penyair Acep Zamzam Noor menulis puisi bergaya jenaka itu

sebagai pelepasan rasa karena dengan bahasa keras sekalipun, si terkritik sudah sangat kebal. ”Kita bersama-sama tertawa, menertawakan diri sendiri, karena kita bagian dari persoalan,” kata Acep.

Bimbo berharap dalam keadaan pahit negeri ini orang masih bisa tersenyum atau tertawa lewat lagu. ”Tertawa dalam derita ha-ha-ha,” kata Sam.

Lagu ”ABC”, menurut Bimbo, mendapat respons dari berbagai kalangan, mulai ibu-ibu rumah tangga yang kewalahan menghadapi kenaikan harga sampai dosen yang 34 tahun mengabdi dengan gaji pas-pasan. ”Masyarakat resah dengan kondisi sekarang. Mental reform dan character building harus menjadi gerakan budaya yang sungguh-sungguh,” harap

Acil.

”Bobrokisasi Borokisme”

Budaya pop belakangan menjadi medium untuk mengungkapkan kekesalan pada kondisi sosial, politik, termasuk perilaku koruptif para ”putra bangsa”. Sebelum lagu ”ABC”, pada pertengahan Januari lalu muncul lagu ”Andai Aku Jadi Gayus” gubahan seseorang yang semula tidak dikenal dari Gorontalo, yaitu Bona Paputungan.

Lagu itu populer ketika kasus Gayus Tambunan sedang

hangat menjadi berita. Lagu yang diunggah di jejaring sosial media Youtube itu, sejauh ini telah dibuka sebanyak 440.207 kali oleh pengguna internet.

Seperti disebut dalam lirik, lagu itu bertutur tentang seseorang yang mengandaikan dirinya sebagai Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali dan semua keinginannya terpenuhi. Kita orang yang lemah, tak punya daya apa-apa/Tak bisa berbuat banyak seperti para koruptor....

Kemuakan pada perilaku koruptif

juga diungkapkan Slank lewat album Jurustandur, singkatan dari maju terus pantang mundur, yang dilepas bulan Agustus 2010. Album memuat sejumlah lagu berisi kritik sosial. Salah satunya adalah ”Bobrokisasi Borokisme”: Minta disuap, doyan disogok/Seneng disuapin sambil disogok-sogok/Cari yang basah, yang banyak air/Alirkan deras dari hulu sampai hilir....

Sejak album perdana tahun 1990, Slank memang sudah bicara soal korupsi, yaitu pada lagu ”Memang”: Memang... jaketku memang kotor/Jangan menghina/yang penting bukan koruptor.

Menurut Bimbim, pendiri dan pemain drum Slank, korupsi menjadi salah satu isu wajib yang diangkat Slank setiap kali membuat album. Pada setiap album, setidaknya ada satu lagu yang menggugat korupsi. Pada era Orde Baru, Slank bicara tentang kebobrokan dengan

lirik lebih samar-samar. Kini, Slank menggunakan bahasa yang lebih tegas. ”Disindir-sindir sudah tidak mempan. Jadi, harus pakai bahasa yang keras, bahasa yang digunakan di jalanan,” ujar Bimbim.

Bimbim merasa miris, kecewa, dan muak melihat perilaku koruptif di negerinya lalu ia tuangkan perasaan itu lewat lagu. Dia berharap, lagu-lagunya bisa menanamkan persepsi di kepala anak muda, khususnya komunitas Slanker, bahwa korupsi dan koruptor itu menjijikkan.

”Kami mendoktrin Slanker dengan kalimat, ’Koruptor minggir saja lo’.”

Lagu kritik sosial disuarakan seniman dari masa ke masa. Mogi Darusman pada tahun 1978 dengan gaya sarkastis menyanyikan lagu ”Rayap-Rayap”.

Simak refreinnya: Rayap-rayap yang ganas merayap/Berjas dasi dalam kantor/makan minum darah rakyat/....Babi-babi yang gemuk sekali/Dengan tenteram berkembang biak/Tak ada yang peduli....

Begitu juga Iwan Fals mengungkapkan rasa muak antara lain lewat lagu ”Bongkar”

pada awal 1990-an bersama kelompok Swami: Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan....

Saluran gagal

Perlawanan terhadap korupsi melalui budaya pop dalam pandangan sosiolog Heru Nugroho menunjukkan bahwa saluran formal untuk menyuarakan antikorupsi telah gagal.

”Negara gagal bersikap terhadap korupsi, DPR gagal menjalankan politik representasi dengan benar, lembaga hukum tidak memberi keadilan,” kata Heru, Ketua Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ketika saluran formal gagal, rakyat mencari ruang lain untuk menyuarakan aspirasi. Pada saat yang sama, muncul media baru yang memberi ruang luas. Orang bisa langsung mengakses dan berpartisipasi secara personal, bahkan juga menunjukkan sikap resistensi.

”Jadi, di zaman sekarang, tidak hanya Slank, Bimbo, atau Iwan Fals yang bisa menyuarakan ekspresinya lewat lagu. Siapa pun bisa dengan memanfaatkan media sosial,” kata Heru.

Secara perlahan, perlawanan melalui saluran nonformal, seperti lagu dan media baru, bisa membentuk kesadaran baru. Orang jadi menyadari bersama situasi yang sedang terjadi. Dan, suatu saat kesadaran itu bisa jadi sebuah gerakan bersama. Heru memberi contoh, kesadaran untuk memberontak rezim otoriter di Timur Tengah itu antara lain diperantarai media sosial.

Lagu-lagu Bimbo, Slank, dan Iwan Fals adalah nyanyian rakyat yang muak pada kebobrokan di sekitarnya.

Jangan sepelekan nyanyian rakyat yang punya batas kesabaran.

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Martabat Puisi dan Gairah Hidup

-- Bandung Mawardi

PENCETUS teori evolusi, Charles Darwin, pengarang On the Origin of Species, pernah memiliki masa intim dengan puisi. Pergaulan ini memberi tanda atas ajakan dalam gelimang makna kehidupan, kendati dunia modern disibukkan dengan pemujaan sains, pemujaan dengan konsekuensi menjauhkan manusia dari kehidupan. Darwin dalam otobiografi, suntingan Nora Barlow (1958), memberi kisah kecil intimitas diri dengan puisi: "Sampai umur tiga puluh tahun atau lebih, puisi dalam segala bentuk ... memberiku kenikmatan besar."

Puisi sebagai bab penting dalam hidup Darwin bermula sejak kecil, saat menempuh sekolah dengan menekuni puisi-puisi dan drama sejarah garapan Shakespeare. Kisah ini lekas hilang, Darwin pada usia menjelang tua justru menampik puisi. Masa lalu seolah berdiam dalam ingatan picisan. Darwin merasa bosan dengan puisi, lekas tergantikan dengan kenikmatan sains. Perubahan ini memikat dan mencemaskan.

Penjelasan Darwin: "Otakku seolah telah berubah menjadi semacam mesin untuk menggiling kumpulan fakta besar menjadi dalil-dalil. Mengapa hal ini mengakibatkan kemunduran bagian otak sebagai pusat citarasa tinggi? Aku tak mengerti. Kehilangan citarasa berarti kehilangan kebahagiaan. Barangkali malah bisa merusak kecerdasan dan moral. Hal ini melemahkan emosi manusia." Hidup tanpa puisi mirip dengan "cacat diri" manusia karena mengabsenkan puja atas citarasa estetika.

Hasrat

Pergumulan dengan puisi pun identik dalam diri Karl Marx, pemikir berjenggot, pengusung pemikiran-pemikiran radikal dalam deru modernitas dan kapitalisme di Barat. Marx menulis puisi untuk kekasih, Jenny von Westphalen, akhir 1836. Inilah petikan puisi romantis ala Karl Marx: Maafkan aku, memberanikan diri mengharap cercamu/ tetapi jiwa ini ingin sekali jujur mengaku,/ bibir sang pengidung rela terbakar lebam,/ demi menghembus bara kegelisahan agar padam./ Dapatkah aku melawan diri, berbalik arah,/ lalu kehilangan diriku sendiri, dungu dan resah,/ haruskah sang pengidung menipu,/ tak mencintaimu, setelah memandang wajahmu? Puisi ini mungkin memancing kecut atau pukau. Pembaca mungkin tak menduga, Marx dalam kisah cinta sanggup menulis puisi dalam anutan romantik. Kerja estetis dijalani untuk menjadi lelaki di hadapan si pujaan.

Puja atas puisi terasakan dalam surat sedih Marx (1837) pada sang ayah. Ada alinea memelas saat Marx merasa hidup sia-sia karena mendengar sang kekasih menderita sakit. Kesedihan hati membuat kerja intelektual berantakan. Marx merasa tak bisa melahirkan apa-apa. Kondisi frustrasi itu membuat Marx sakit. Di balik tragedi itu, Marx memberitakan pada ayah: "... saya membakar semua puisi ... dengan harapan saya akan bisa melepaskan kegemaran itu, tapi ternyata tak mudah melepaskan itu." Marx, pengarang Das Kapital, menganggap puisi sebagai sumber cinta dan benci. Puisi sanggup memberi arti hidup, sekaligus meruntuhkan.

Mikhail Liftschitz (2004) menilai relasi Marx dengan puisi adalah modal awal dalam karier keintelektualan. Marx, pemikir revolusioner, memang berhasil mengumumkan dua puisi dalam Athenaum, tapi momentum itu menjelma konflik, hasrat untuk menulis puisi dengan disiplin ketat atau menemukan jawaban di bidang ilmu pengetahuan tentang masalah-masalah kehidupan. Semua ini menjadi penanda krisis pertama dalam perkembangan intelektual Marx. Jadi, puisi pernah menjadi idaman dan kecaman dalam diri Marx.

Gairah

Kisah intim dengan puisi juga dialami oleh raja filsafat, Martin Heidegger, pengarang buku berat, Sein und Zeit. Filosof asal Jerman ini menjadi ikon dunia filsafat modern dan tokoh kontroversial. Heidegger termasuk pemuja puisi. Puisi disemaikan dalam biografi keintelektualan dan perselingkuhan, kisah menggairahkan antara Heidegger dengan Hannah Arendt, filosof perempuan kondang, penulis buku The Origin of Totalitarianism. Arendt bagi Heidegger adalah gairah hidup. Jadi, puisi dituliskan untuk persembahan pada gairah hidup, gairah memuja dan mencinta perempuan.

Heidegger rajin menulis dan mengirimkan puisi-puisi pada Arendt, saat terpisah jarak karena situasi politik pada 1930-an di Jerman. Puisi dalam perselingkuhan juga sejak mula hadir dalam kehidupan privasi, hidup dalam sepi dan terpencil bersama istri, di pedalaman Scharzwald. Filosof ampuh itu mengisi agenda keseharian, saat sore hari, dengan membaca puisi-puisi Friedrich Holderlin, penyair agung Jerman. Heidegger menemukan gairah hidup dalam puisi, menandai puisi sebagai ciri manusiawi untuk menggapai puncak-puncak pengalaman tanpa harus terjinakkan oleh arogansi rasionalitas.

Mengabaikan

Semua kisah pergumulan tokoh-tokoh dunia dengan puisi merupakan ciri dari pembentukan kiblat dan roh zaman modern pada abad XIX dan XX. Sains mungkin tampak melampaui puja atas puisi (sastra). Kondisi dikotomik ini mengonstruksi dan mendestruksi dunia. C.P. Snow pun tampil dengan risalah The Two Cultures untuk memerkarakan perbedaan derajat antara intelektual-ilmuwan dan penyair-sastrawan. Perbedaan ini menjadi dalil bagi C.P. Snow untuk menggegerkan jagat pemikiran dan estetika Barat. Dunia Barat, abad XX, terbelah pada dua kutub, cendekiawan-sastra dan ilmuwan. Dua kutub ini saling bermusuhan, membenci, susah untuk saling memahami, dan mendistorsi martabat lawan untuk arogan.

Beda derajat dan corak dalam membentuk kemodernan ini pun menghinggapi kalangan intelektual di negara-negara berkembang. Pemartabatan sastra pada masa awal abad XX di Indonesia seolah mengalami kebangkrutan pada akhir abad XX dan awal abad XXI. Dunia kentara terbentuk oleh sains, agenda mengubah dan menikmati dunia dengan puja rasionalitas. Sastra tersingkirkan, disangkakan sekadar sebagai hiburan atau penampik perubahan. Efek ironi ini masih terwariskan pada dunia keintelektualan hari ini, sastra hampir tak tampil karena rendah diri atau terkooptasi oleh hegemoni sains. Negara juga tampak memilih sains untuk memartabatkan diri di mata dunia ketimbang sastra. Pilihan ini mengandung ironi tapi tak disadari karena mengabaikan sastra sebagai sumber gairah hidup. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

Labirin Produktivitas

-- Beni Setia

Jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.

MEMAHAMI kasus Dadang Ari Murtono, cerpenis Jawa Timur, yang pada catur wulan akhir 2010 dan awal 2011 sangat produktif mempublikasikan karya di beberapa media massa cetak nasional dan lokal, bermakna belajar memahami "sihir psikologi" dari kepuasan melihat karya terpampang di halaman koran dan majalah. Sesuatu yang membuat seorang cerpenis kesohor pun terpukau dibandingkan dengan hanya melihat manuskrip tulis yang belum dipublikasikan, atau hanya terpampang di blog.

Jarak di antaranya itu yang disebut Budi Darma, di forum TSI 2010 di Tanjungpinang, sebagai laku kritik redaksional (redaktur) media massa yang tersembunyi tak pernah berterang mengumumkan kriterianya—generasi 1980, dengan mengutip Paulo Freire menyebutnya sebagai "kritik bisu", dan Saut Situmorang menyebutnya sebagai politik sastra. Ketika sebuah cerpen dari sekian cerpen yang ditulis dan ditawarkan ke media massa di-acc serta terpampang di halamannya, maka sihir kemenangan di satu sisi, dan sukses penaklukan kriteria redaksional membubung. Bahkan terkadang menjadi kebanggaan legitimatif karena dimuat di koran X atau majalah Z dan bukan yang lain.

Celakanya, kebanggaan itu terkadang ditempelak yang lain sebagai kebetulan—mengutip tetangga Jawa saya—salah mangsa, tak berkompetisi ketat karena pada saat bersamaan tidak ada naskah yang baik untuk pembanding komparatif. Sebab itu, satu pemuatan mendorong melakukan penulisan berikut, serta sekaligus syahwat pemuatan berikut, untuk membuktikan yang pertama bukan kebetulan dan yang berikutnya akan menunjukkan kekhasan si bersangkutan—

karena itu itu menjadi ikon khazanah sastra mutakhir. Itu yang barangkali mendorong Dadang Ari Murtono tak hanya kreatif dan produktif menulis, tetapi ingin lebih sering dan beruntun (karya) terpublikasikan.

Ilusi yang diikuti dengan membuta, terutama saat cerpen Lelaki Sepi Kompas, (14-10-2010) membuat beberapa kawan di Jawa Timur terperangah dan bangga punya cerpenis unggulan masa depan. Sementara cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang lebih dulu terbit di Lampung Post justru memberi indikasi lain: ada bagian yang mirip teks cerpen Akutagawa—yang berasal dari satu cerita lisan di Jepang, yang juga mengilhami film Kurusawa. Di titik ini kita dipaksa berhati-hati dengan menyebutkan: Dadang melakukan kutipan tapi lupa etika menuliskan "dari mana kutipan itu berasal" di catatan kaki. Selain: apa ada upaya sadar melakukan deformasi serta dekonstruksi (teks) yang menyebabkan bisa dianggap karya sendiri—seperti si pelukis menggambar (ulang) Monalisa atau kaleng Coca Cola dengan teknik penggambaran ulang berbeda.

Sayangnya "pembenaran" itu dimentahkan oleh fakta, cerpen itu dimuat (lagi) di Kompas, yang menimbulkan ledakan kemarahan akan ketidakdisiplinan menawarkan satu cerpen ke satu media massa. Meskipun mungkin cerpen itu tertahan lama, kemudian ditawarkan ke media massa lain—masalah teknis. Tapi yang menohok, menelanjangi pola kreasi Dadang di satu sisi dan syahwat karya dimuat di media berwibawa di sisi lain, justru kasus cerpen Para Penutur Akutagawa Horison, Januari 2011. Sebuah cerpen yang jelas merupakan pengetikan ulang dari bagian novelet Kappa, karena itu S. Joga mengatakan Dadang hanya tukang ketik, sambil menghadirkan cerpen Dadang dan penggalan novelet Kappa dalam blog-nya.

Fenomena yang menunjukkan kala produktivitas menulis (cerpen) itu tidak pernah berbanding lurus dengan kreativitas dan orsinilitas (karya) yang menghasilkan tulisan yang diakui bermutu media massa cetak—dipampangkan di halaman seni-budayanya. Kreativitas itu satu hal, kadang berada di luar produktivitas, sedang orisinilitas selalu sulit diperoleh meski tiap pengarang selalu berusaha untuk tidak menulis dengan tata kalimat dan gaya yang sama ketika menuliskan topik yang sama. Ketaksadaran akan kodrat alamiah itu menyebabkan pengarang terjebak syahwat dimuat dan ada mau lagi dimuat agar mendapatkan legitimasi yang kukuh. Padahal setiap ilham dan setiap ujud teks orsinil itu tidak melulu milik si pengarang tapi milik mutlak Allah swt., dan jadi sesuatu yang diwangsitkan sebagai berkah dan kemurahan.

Berdimensi rahasia ilahiah, karena itu banyak cerpenis yang berbakat tetapi cuma menghasilkan beberapa karya. Seperti cerpenis Jawa Timur yang lain, Sony Karsono, yang dua dekade sebelumnya menunjukkan teknik dan cara bercerita yang orsinil, tapi setelah beberapa cerpen tidak terlihat memaksakan diri untuk menulis cerpen lagi. Ia merasa gagal, tak punya bakat menulis cerpen lagi, meski ia secara intelektual sangat gemilang dengan meneruskan potensi akademiknya di bidang psikologi—ia mendapat beasiswa, kuliah di Amerika Serikat, dan menulis disertertasi tentang sikap batin wong Jawa. Itu jalan lurus dari kesadaran akan keterbatasan, sekaligus mengembangkan apa yang lebih nyata dari anugerahkan Allah swt.

Hal yang sebenarnya dengan sangat halus disampaikan R. Giryadi pada Dadang, agar tak tergoda ilusi over produktif—sekaligus terjebak syahwat selalu terpampang di lembaran media massa cetak. Bersabar meniti tahap demi tahap kematangan. Karena tudingan bahwa karya plagiat atau menelad karya lain bahkan bisa jadi cambuk untuk maju, dengan lebih kreatif dan orsinil menulis. Di 1954, cerpen Ajip Rosidi, Malam Jika Tiba dan Perjanjian dengan Maut dianggap meniru cerpen Stepen Vinet Benet, sedang Perhitungan dengan Diri Sendiri dituduh meniru cerpen Maxim Gorki. Ajip Rosidi bereaksi secara khas: ia tidak mempercayai lagi fantasi dan menulis cerpen dan novel berdasar pengalaman autobiografik yang unik serta personal—kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, misalnya.

Atau sastrawan Sunda Godi Suwarna, yang di dekade 1980 cerpen pertamanya tembus Kompas, dan lalu dianggap curian dari penggalan novel S. Sinansari Ecip, Kursi Pemilu, karena itu di-blacklist. Ia lari ke sastra Sunda, dan jadi si salah satu sastrawan kontemporer Sunda terkuat, yang puisi, cerpen, sereta novelnya diakui paten. Dengan kata lain, jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal. n

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

Drama Musikal: Yang Renyah Enak Dikunyah

-- Aryo Wisanggeni Gentong

Di panggung gelap gulita, satu-satunya cahaya adalah pendar light emitting diode kemerahan yang membalut tubuh lima penari yang meliuk mengikuti hentakan lagu Welcome to Our World. Sosok penarinya ditelan kegelapan panggung, membuat ”tali lampu” pembalut tubuh mereka seperti kunang-kunang berakrobat udara dan berganti-ganti warna.

Para penari EKI Dance Company mementaskan komedi musikal "Jakarta Love Riot" di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/2). Pertunjukan yang disutradarai Rusdy Rukmarata dan Nanang Hape tersebut bercerita tentang kisah cinta dari kelas sosial yang berbeda dengan balutan komedi. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Ketika dentuman musik berhenti, ”tali lampu” di tubuh kelima penari padam. Detik berikutnya, di setiap tubuh penari muncul nyala lampu yang membentuk satu huruf, berjajar dari kiri ke kanan: B, I, T, C, dan H. Penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/2) malam, heboh dan gaduh dalam tepuk tangan. Awal yang megah bagi pertunjukan komedi musikal ”Jakarta Love Riot”.

Awal megah itu menjadi pintu masuk nyaman Lolo (Ken Nala Amrytha) dan Josh (Arie Dagienkz) untuk memanggungkan sosialita borjuis Jakarta yang serba ”wah”, tapi tidak penting.

Mulai dari obrolan berkosakata gado-gado Inggris-Indonesia, sampai rencana Nala (Felicia Chitra) mengajak teman-temannya menunggangi jet pribadi untuk menonton konser jazz privat pesta ulang tahunnya di Bali. Juga soal teman-teman Nala yang memberi kado ulang tahun kacamata berharga jutaan dan toilet anjing yang dibeli dari Tokyo.

Penjual soto

Seperti versi Romeo-Juliet lainnya, alur cerita dibangun dari kemarahan Lolo dan teman-temannya karena Nala jatuh cinta kepada anak seorang penjual soto bernama Toto (Ari Prajanegara). Toto yang masuk ke rumah Nala dengan sapaan ”What’s up kabarnya?” seperti makhluk asing berkuman bagi orang di lingkaran kehidupan Nala.

Ketika kado puisi yang dibacakan Toto justru membuat Nala menangis bahagia, Lolo yakin kakaknya sudah gila. Nala tidak peduli, bahkan melawan permintaan ibunya, Hudy Hadiprana yang diperankan Sarah Sechan, untuk berhenti berpacaran dengan Toto.

Kartika (Ira Duaty), ibunda Toto, juga jengkel melihat anaknya lebih menyukai anak kuliahan yang kaya raya seperti Nala ketimbang Tatik (Takako Leen) yang pandai mengurus warung soto Ibu Kartika. Kartika mencoba menjadikan Tatik seorang perempuan idaman lelaki, tapi Tatik merasa lebih baik menjadi dirinya sendiri dan merelakan Toto mencintai Nala.

Ketika Toto dan Nala menghilang, Lolo dan teman-temannya mendatangi warung soto Ibu Kartika. Perdebatan dan saling tuding berlanjut rusuh, namun berakhir happy ending.

”Ini cerita anak muda zaman sekarang. Ini kisah soal perbedaan yang seharusnya dijembatani. Jangan kita berlagak modern, demokratis, tetapi di dalam rumah sendiri membuat perbedaan-perbedaan kelas. Ini karya yang sama dengan yang kami tampilkan pada 2010. Kami ingin memenuhi hasrat penonton yang dulu tidak sempat menonton,” kata Rusdy Rukmarata, sutradara dan koreografer ”Jakarta Love Riot”.

Sebagai komedi musikal, drama ini tentu menghibur. Sarah Sechan yang memerankan Hudy Hadiprana, ibunda Nala dan Lolo, tampil memikat dengan improvisasi yang segar di sana-sini. Logat Tionghoa-Melayunya juga kejenakaannya menampilkan kemunafikan seorang jet-set yang berlagak merakyat demi citra, terus mengundang tawa.

Begitu juga celetukan logat Betawi Joni Goban yang diperankan Bayu Octara, menyegarkan alur cerita yang kadang berlama-lama dan mudah diterka. Interupsinya kerap menampilkan sinisme kaum bawah terhadap hiperrealitas kaum sosialita yang ”wah”, namun tidak menjawab persoalan orang seperti Joni Goban, kaum borjuis yang kerap memandang rendah.

Musik garapan Oni Krisnerwinto tampil apik mengiringi para penari Eksotika Karmawibhangga Indonesia Dance Company yang juga ciamik. Pementasan ulang komedi musikal yang melibatkan 286 pekerja seni itu juga memperbarui sejumlah alur cerita, termasuk pengamen yang menyanyikan lagu Andai Aku Jadi Gayus, dan adegan gawat darurat serta tarian tap dance.

Kendati sukses menghibur penonton, Rusdy Rukmarata tidak menampik bahwa musik, lagu, tari, dan akting di panggung ”Jakarta Love Riot” masih tampil ”silih-berganti”. Ia menuturkan sulitnya mencari sosok aktor yang mampu berakting, menari, sekaligus menyanyi. ”Dari 50 pemain, tidak lebih dari lima pemain yang bisa utuh menari, menyanyi, sekaligus berakting,” kata Rusdy.

Kebanyakan adegan menari memang dimainkan para penari, seperti juga adegan menyanyi yang dimainkan para penyanyi, dan yang berakting pun para pelakon. Penari, seperti Felicia Chitra dan Ari Prajanegara, harus bekerja sangat keras untuk menari sekaligus berakting dan menyanyi.

Namun, Sarah Sechan memilih mengaku tidak berbakat menyanyi. ”Soal nyanyi, yang mengajari saya menyanyi juga sudah menyerah. Saya memang tidak tahu cara menyanyi,” kata Sarah tertawa.

”Jakarta Love Riot” bisa disepadankan dengan novel-novel chick lit karya para remaja perempuan muda dan untuk kalangan mereka juga. Rasanya renyah, mudah dikunyah, enak di lidah, seperti kerupuk, sayangnya kurang bergizi. Oleh sebab itu dengan sangat mudah segera dilupakan.

Namun di sisi lain, pentas ini kembali membuktikan drama atau komedi musikal sangat diminati. Itu membuat Rusdy berani bermimpi suatu ketika nanti komedi musikalnya akan seserius ”Cats The Musical” di Broadway. Akankah mimpi itu tercapai? Tidak mudah membuat pertunjukan yang renyah sekaligus bergizi. Pantas kita tunggu....


Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Lain Ladang Lain Belalang

-- Remy Sylado*

NUR, ada dua prosa bagus pada pekan-pekan terakhir ini terpajang di toko buku yang patut kau jadikan koleksi di dalam perpustakaanmu.

Pertama, Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, agaknya nama asli. Kedua, Blues Merbabu karya Gitanyali, agaknya nama sasaran.

Kebetulan kedua pengarang ini sama-sama berasal dari lingkung kerja kewartawanan. Jadi rasanya kau tidak perlu ragu, Nur, bahwa mereka sudah terlatih menulis dengan pandai. Sebab, kalau kau pernah melongok cara kerja kewartawanan, tentu kau tahu bagaimana mereka dilatih untuk bukan hanya sekadar pandai saja tetapi juga cendekia. Istilah sinis Belanda di Indonesia zaman lampau menyangkut kecendekiaan wartawan adalah meester op alle wapens, cempiang atas segala senjata.

Begitulah, Nur, saya sedang membeka kau, bahwa kedua buku ini bagus, sebab penulis-penulisnya—yang notabene berangkat dari latar belakang keyakinan berbeda, dan sekaligus itu mengingatkan kita akan adanya kalimat sakti ”bhinneka tunggal ika”–bercerita di bawah leluri yang tak sama atas jiwa ”cempiang segala senjata” tersebut, disertai ungkapan-ungkapan plastis yang karuan memberimu pengetahuan mendasar peri kehidupan insani yang beragam dari pengalaman-pengalaman pribadi mereka.

Ketika saya mengatakan padamu perkara pengalaman pribadi, dengannya saya bermaksud menyampaikan kesimpulan, bahwa membaca prosa di atas sama seperti menyimak dengan interesan model bacaan catatan harian. Sebuah catatan harian biasanya memikat sebab di situ pelaku utama yang membangun cerita adalah sang Aku yang menguasai betul jalannya citarasa, intuisi, emosi, pathos, pendeknya asosiasi gagasan-gagasan secara utuh. Selain itu, dengan menempatkan sang Aku sebagai subyek bersama-sama dengan sosok-sosok pendukung antara peranan Dia-Mereka-Kamu-Kalian, maka di situ penulisnya bisa menyusun daya ingat kreatifnya dengan leluasa atas kejadian-kejadian masa lampau untuk menjadi aktual pada masa kini.

Catatan harian

Seingat saya, bentuk catatan harian paling masyhur sebagai prosa adalah cerita tentang anak Yahudi yang bersembunyi di atas loteng sebuah rumah tingkat di Amsterdam pada masa Perang Dunia II. Tentu saja saya tidak mengatakan padamu bahwa kedua prosa di atas, khususnya karya Gitanyali yang begitu telanjang, adalah sebuah catatan harian. Catatan harian mengacu pada fakta. Sedang kedua prosa di atas adalah fiksi. Toh kedua-duanya membutuhkan imajinasi. Sebab imajinasi adalah motor bagi semua karya kreatif.

Memang, saya melihat Blues Merbabu dan Ranah 3 Warna seperti dua buah catatan harian imajinatif. Cara penulisannya pun amat mengandalkan imajinasi pada ingatan-ingatan kreatif atas situasi dramatis, romantis, namun realistis, dari masa yang sudah berlalu, menjadi aktual dan menawan pada masa sekarang dan kelak. Untuk hal tertentu menyangkut lancarnya mengacu peristiwa-peristiwa manusiawi dan plastisitas penulisan kejadian-kejadian ragawi, akhirnya saya ingin bilang ini sejenis catatan harian dalam fiksi yang muazam.

Lumrahnya catatan harian ditulis mengikuti langkah-langkah retrospektra, sementara kedua prosa di atas cenderung dibilang meyakinkan sebagai fiksi yang ditulis dengan dua langkah, yaitu introspektra: pengamatan penghayatan atas diri sendiri, dan ekstrospektra: pengamatan penghayatan atas diri orang lain. Biasanya para aktor teater, dalam metode realisme dalam atau inner-realism yang belajar dengan tertib perkara retrospektra: mengamati penghayatan dengan melihat cermin di saat kejadiannya tengah berlangsung.

O, ya, Nur, dalam pada itu, perlu kau ketahui, Ahmad Fuadi adalah orang Minang yang tidak tertarik berdagang, alumnus Pondok Modern Gontor, beristri satu, dan selama tinggal di rumah kos pada masa kuliahnya selalu ditaburi doa-doa pengharapan oleh ibu dan ayahnya.

Kemudian, Gitanyali, orang Jawa berambut kribo macam Ahmad Albar yang fotonya pun ditaruh di cover buku, tak menyebut secara persis pawiyatannya, tapi terbuka dan lugu menyatakan di masa kanak dirinya sudah berhubungan seks dengan banyak wanita kelas tante-tante berumur 30 tahun, dan menanggung masalah karena cap PKI.

Nah, begitu, Nur, yang bisa kau baca dari kedua prosa tersebut.

Supaya kau bisa pula membayangkan sekilas tentang hal-hal yang menarik dan katakanlah itu merupakan sisi-sisi timbangan bobotnya, baik saya ambil kutipan yang menunjukkan harkat penulisnya.

Dari Ranah 3 Warna, saya kutipkan buatmu pernyataan Fuadi di halaman 331, yaitu dialog antara sang Aku dan Rusdi: ”Rus, kiaiku dulu mengajariku untuk man shabara zhafira. Artinya, siapa yang sabar akan beruntung. Jadi selama kamu sabar, hanya soal waktu, keberuntungan ini akan hadir cepat atau lambat.” Pernyataan ini masih diulanginya lagi di halaman 334, ”Man jadda wajada dan man shabara zhafira, itu tekadku.”

Prosa Fuadi ini seperti mengajak kau belajar pelbagai pengetahuan sambil berwisata di banyak tempat. Penggambarannya terhadap berbagai negeri dengan ciri-ciri lokasinya lumayan detail. Dia memang pernah tinggal di Kanada, Amerika Serikat, Singapura, London, Aman, dan lain-lain. Kalau kau punya bukunya, kau bisa lihat di sampulnya ada gambar peta Saint Raymond di Kanada, Amman di Jordania, dan Bandung di Jawa Barat.

Lelucon, kalau boleh dibilang begitu, yang sudah terlalu klise, adalah cerita soal nama Bali dan Indonesia di luar negeri sana. Ini muncul di halaman 345. Ceritanya begini:

”Dari mana Anda berasal, my friend?” tanya Lance padaku tiba-tiba, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.

”Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?”

”O, saya pernah melihat sebuah pulau indah tropis bernama Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan pantai. Apakah Indonesia dekat dengan Bali?”

”Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia,” aku mencoba menjawab dengan sabar.

Tetapi, dari Blues Merbabu kau dapatkan kata-kata mutiara, dan hal itu pasti bisa membuatmu terinspirasi untuk hidup semadyanya. Di halaman 167 Gitanyali memberi kawruh buatmu. Katanya, ”Tidak benar orang berhenti hidup dalam mimpi ketika usia bertambah dan menjadi tua. Orang menjadi tua karena berhenti bermimpi. Aku tidak pernah menjadi tua.”



Setelah itu, ada adegan karikatural tersua di halaman 172. Ini soal yang tertutup untuk dibicarakan pada zaman penjajahan Orde Baru: rezim militeristis yang sangat ketat memberlakukan apa yang disebut-sebut sebagai bersih lingkungan dalam pers terhadap keluarga PKI. Di situ ada percakapan antara sang Aku dan Nita tentang perasaan menjadi anak PKI.

”Aku tidak pernah membaca doktrin Marx atau Lenin. Semasa kecil aku membaca Winnetou, komik-komik roman, bacaan porno berbentuk stensilan, menyukai Window of the World, Reader’s Digest, tak bisa melupakan Butch Cassidy and the Sundance Kid, The Graduate…”

”Jadi apa itu komunisme?”

”Kamu seharusnya dulu tanya Soeharto, Sudomo, atau siapa saja yang antikomunis. Yang komunis membaca Marx dan Lenin. Yang antikomunis memahami Marx dan Lenin. Aku bukan dua-duanya. Kalau kamu bertanya kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya mungkin aku bisa menjawab…”

Gitanyali memang menunjukkan sosok sang Aku akrab dengan budaya pop. Dia bicara soal Grand Funk Railroad (hal 185), Woodstock (hal 64), memuja Katharine Ross (hal 161), menguping Shocking Blue (hal 117), suka Tommy James & The Shondells (hal 63), berfoto di poster Bob Dylan (hal 131), tapi membilang Che Guevara heroik (hal 160).

Dan, yang menonjol di sini adalah lelaki—dalam sosok sang Aku—merupakan teladan jago cinta yang memperoleh kepintarannya itu dari pengalamannya dengan banyak wanita sejak masih berbau kencur. Maka, jika berpihak pada pikiran kakek-kakek jadul: Belajarlah bikin dosa dengan alasan cinta pada sosok sang Aku dari Blues Merbabu ini.

Nah, Nur, itu sekelumit simpai dari dua prosa di atas yang barangkali menarik juga buatmu. Selebihnya baca saja sendiri. Mungkin kau punya pendapat yang berbeda dengan saya. Maksud saya, kita harus belajar kembali bersikap semadyanya terhadap semua hal: kebudayaan, kemasyarakatan, politik. Jika saya bilang kedua prosa di atas bagus, saya tidak boleh memaksamu untuk menjadi sama seperti saya. Soalnya ini perkara kesenian, galib terjadi ketaksamaan selera. Bukankah kita pun punya hafal-hafalan ”bhinneka tunggal ika” yang kini sedang diuji kembali kesaktiannya, dan konon di setiap ladang selalu ada belalang yang berbeda, Nur?

*) Penulis terpilih oleh Komunitas Nobel Indonesia sebagai pemenang bidang kesusastraan 2011

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Tari: Dari Mitos ke Kehidupan Urban

-- Putu Fajar Arcana

PERJALANAN dari mitos Sawerigading yang ada dalam teks ”I La Galigo” sampai kebudayaan urban perlu berabad-abad. Transformasi dari memori tubuh ”primitif” suku Papua sampai pada bentuk tari kontemporer juga bisa sangat panjang. Tetapi, semuanya bisa bertemu dalam panggung IDE (Indonesia Dance Expression), Selasa (22/2) di GoetheHaus Jakarta.

Yola Yulfianti dan sesama seniman IKJ (Institut Kesenian Jakarta), yang menggagas IDE untuk mewadahi gelegak kreativitas koreografer muda, bisa jadi tanpa sadar telah memasuki satu gugusan wilayah yang maha-luas. Ajang ini menampilkan empat karya koreografer muda berjudul Jejak Sawerigading (Sabilul Razak), Koteka (Boogie Papeda), Almost Can’t Breath (Yola Yulfianti), dan Me, Myself, and I (Rizki Suharlin Putri).

Pemilihan materi ini saja sudah mengandung beberapa aspek yang mencengangkan. Orang- orang muda seperti Sabilul dan Boogie, meskipun belajar di Jakarta, tetap saja membawa serta memori tentang hamparan kultural yang membentang dalam peta kesehariannya. Teks kuno seperti I La Galigo, yang disebut-sebut sebagai narasi sastra terpanjang di dunia, tetap menjadi sumber kreativitas yang menyediakan celah-celah interpretasi. Sabilul memilih episode ketika tokoh Sawerigading mengembara ke China untuk mencari We Cudai, gadis cantik yang mirip adik kandungnya, We Tenri Abeng. Pemilihan episode itu membuat Sabilul leluasa memasukkan artefak kebudayaan China seperti Liong-liong dan lampion.

Sayangnya, artefak kultural ini dalam kehidupan kontemporer telah dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan profan seperti dagang. Oleh sebab itu, Sabilul harus bekerja keras membersihkan atribut dagang, jika ingin artefak itu menyatu ke dalam tubuh Sawerigading yang hidup dalam ranah mitologis. Apa yang dilakukan Boogie sebenarnya tak jauh-jauh dari kesan serupa. Anak Papua ini sedikit frustrasi untuk memberikan ”penjelasan” bahwa koteka itu tidak primitif dan jorok. Itulah sebabnya, ia menggeletakkan koteka besar sebagai setting panggungnya.

Koteka bukan bahan tertawaan apalagi lelucon, melainkan ini adalah identitas suku Papua, begitu tulis Boogie dalam leaflet sederhana pengantar pentas ini. Betapa pun itu lantang diucapkan, anak muda ini tampak kehilangan kepercayaan diri ketika memasukkan unsur-unsur tari Jawa dalam karyanya. Dengan mengangkat gerak ritmis tari Jawa sebagai simbol modernitas, ia justru makin memerosokkan dirinya dalam pengakuan bahwa Papua itu berada di kutub lainnya.

Kedua anak muda ini memang harus terus diberi panggung untuk melakukan pelatihan olah gagasan dan mengatakannya secara benar di atas sendi-sendi gerak tubuh.

Masalah kota

Yola dan Rizki seolah ingin menarik garis batas yang tegas dengan Sabilul dan Boogie. Keduanya menghadirkan karya yang boleh jadi merupakan risiko hidup di kota besar seperti Jakarta. Yola mencoba membagi pengalaman kesehariannya yang harus menerobos pekatnya asap knalpot di jalan-jalan kota ketika ia mengendarai sepeda motor. Risiko terbesar baginya, bukan saja kecelakaan, tetapi racun gas karbon dioksida. Maka, dalam Almost Can’t Breath, tidak cukup mulut yang ditutup masker, tetapi seluruh tubuh kita. Bila perlu kepala, lutut, pundak, dan kaki penuh dengan masker. Paranoid? Itu memang karakter paling kentara dari masyarakat kota.

Nomor ini hadir menjadi ironi hidup di kota besar, jika dikaitkan dengan apa yang digelar Rizki dalam Me, Myself, and I. Kesumpekan hidup itu digambarkan dengan kepadatan ruang, orang-orang harus berebut, saling sikut, saling salip, saling jotos pun tak bisa dihindari. Kenyataan hidup yang pahit itu juga terjadi di jalan raya. Dan kita semua setiap hari seperti dikejar oleh risiko.

Panggung GoetheHaus Jakarta malam itu seperti riuh rendah diisi oleh sekelompok anak muda yang mencoba mempersempit jarak antara bentangan mitos, yang barangkali hanya hidup dalam memori purba mereka, menuju kehidupan urban yang warna-warni tetapi berisiko. Apa pilihan kita? Hidup di masa lalu dengan mitos yang susah payah juga kita bangkitkan dari kubur atau menerima kenyataan hidup di kota dengan segala risikonya?

Inilah realitas hidup yang sesungguhnya di negeri ini. Memori selalu memberi peluang untuk dihidupkan, sementara kenyataan dengan lapang dada bisa dikritik. Dan semuanya memberi ruang yang begitu kaya bagi kreativitas kesenian. Begitu bukan? Empat anak muda ini sudah memulainya secara baik. Jangan patahkan mereka!

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Film Nasional: Berdaulat di Negeri Sendiri

-- St Sularto

JUDUL di atas memang pengandaian plus harapan, bukan pernyataan tapi pertanyaan. Realisasi dan jawabannya butuh sejumlah syarat. Tetapi, setidaknya membuka pintu masuk dan menabuh genderang. Pemerintah sedang membahas kebijakan pengurangan besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produksi film nasional yang sekarang 10 persen menjadi satu atau dua persen, bahkan kalau bisa nol persen seperti harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Keinginan itu sebaiknya ditangkap sebagai good will pemerintah. Keluhan bahwa salah satu kendala sedikitnya produksi film nasional menyangkut banyaknya jenis dan besaran pajak akan teratasi. Arah yang diharapkan kemudian, jumlah produksi film nasional meningkat pesat. Keinginan pemerintah mengatur kembali mekanisme pemutaran film impor lewat perpajakan taruhlah sebagai bukti good will pemerintah menjadikan film nasional berdaulat di negeri sendiri.

Ancaman asosiasi produsen film Hollywood, Motion Picture Association (MPA), menghentikan distribusi film AS ke Indonesia pun anggap saja gertak sambal. Keberatan mereka terhadap tambahan pajak bea masuk atas hak distribusi yang berlaku sejak Januari 2011, besarnya 5-15 persen yang tarifnya didasarkan ukuran, jenis, dan bahan film impor, dibalikkan jadi bumerang. Harapan dan genderang rasa nasionalisme pun disiapkan, kalau-kalau Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia, perwakilan produser film Mandarin dan India, ikut mengancam menghentikan peredaran film mereka di Indonesia.

Menurut data Lembaga Sensor Film, selama tahun 2010 jumlah film yang beredar di Indonesia mencapai 250 judul, 167 di antaranya film impor, sisanya 83 judul film nasional. Dari 167 judul itu, lebih dari 60 persennya film Hollywood. Kalau pengenaan pajak hak distribusi dilanjutkan, apalagi kemudian pemerintah mengenolkan pajak produksi film nasional—lagi-lagi harapan, pengandaian dan pertanyaan—jumlah produksi film nasional meningkat. Alih-alih tidak sampai mengganti 167 judul film nasional yang ditinggalkan film impor, terbuka lebar kesempatan film nasional ditayangkan di 157 gedung bioskop di Indonesia yang tersebar di 47 kota, sebagian besar di Jakarta.

Produk budaya

Produk film adalah produk budaya, yang tidak sekadar masalah ekonomi tetapi juga persoalan-persoalan lain, tidak saja soal peringanan bahkan penghapusan segala pajak tetapi juga soal kreativitas para sineas dan kesempatan luas bagi suasana lapang berkreasi, bahkan maraknya pembajakan hak cipta yang tidak kalah berperan mempersempit ruang gerak berkreasi. Artinya good will menyangkut pajak perlu diikuti dengan persyaratan-persyaratan lain, pekerjaan rumah get things done, yang terus terang saja dalam kondisi saat ini serba reformatoris-amburadul-serba akan, merupakan persoalan rumit tersendiri.

Harapan pemerintah, industri film nasional yang di tahun 2010 mencapai 77 judul akan melejit jadi 100 judul, menuntut syarat di antaranya kebijakan dan tindakan pemerintah menempatkan produk film sebagai produk budaya. Kalau kebiasaan pemerintahan serba janji dan instruksi dan bukan aksi pun dipraktikkan dalam masalah perfilman, bumerang akan menerjang. Film nasional tidak berdaulat di negeri sendiri, tetapi dicekokkan pada penikmat film sebagai tontonan yang kehadirannya dipaksakan.

Kebijakan mengevaluasi perpajakan film impor pun—kenyataannya saat ini memang murah meriah dibandingkan dengan di negara-negara lain—justru menunjukkan kenaifan dan hidup di bawah tempurung nasionalisme dengan akibat ketertinggalan bangsa ini dari hiruk-pikuknya perkembangan pesat dunia yang mengglobal. Nasib buruk tidak akan mengimbas kelompok menengah ke atas yang dengan mudah menemukan celah jalan keluar. Sebaliknya, menengah ke bawah akan mencarinya lewat film-film bajakan atau terpaksa menelan sinetron-sinetron murahan yang ditayangkan semua stasiun televisi nasional.

Kebijakan masalah film impor perlu diputuskan secara cerdas, mencerap berbagai kepentingan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan dan jauh dari sekadar janji, instruksi minus aksi, atau bungkus fanatisme sempit. Tidak semua film impor pantas jadi rujukan. Banyak film nasional karya sutradara dan sineas Indonesia pantas dipuji, termasuk dengan latar belakang mencantelkan budaya samurai dan asketisme para bapak bangsa dan karakter budaya Indonesia, karya culture art anak bangsa yang pantas diapresiasi.

Dengan kebijakan cerdas, dengan paradigma film sebagai produk budaya dan sarana pendidikan, good will pemerintah tidak sekadar menyang- kut pemajakan, tetapi juga ruang gerak dan suasana longgar untuk berkreasi. Film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri tidak perlu dipaksakan melainkan berjalan secara alamiah.

Harapan masyarakat perfilman dan masyarakat Indonesia jangan dipatahkan dengan janji, harapan, dan kebijakan nina bobo—praksis pemerintahan yang terlihat di hampir semua persoalan di dalam negeri ini. Masyarakat emoh janji-janji, termasuk soal perfilman nasional. Bila tidak, ya... o tempora o mores, film nasional berdaulat di negeri sendiri hanya pepesan kosong!

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Agenda: Lomba Cipta Puisi Bentara

BENTARA Budaya Bali (BBB) bersama Udayana Scientific Club Universitas Udayana mengadakan Lomba Cipta Puisi Bentara terbuka untuk umum tanpa batasan usia, dengan tema ”Mitologi dalam Refleksi Kekinian”. Lomba bersifat perseorangan, puisi bukan saduran atau terjemahan, apalagi jiplakan, belum pernah dimuat media cetak dan online, serta tidak sedang diikutkan dalam lomba serupa, yang dibuktikan dengan surat pernyataan.

Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya dengan melampirkan fotokopi atau pindai identitas diri yang masih berlaku. Karya dikirim kepada Panitia Lomba Cipta Puisi Bentara, BBB, Jalan Bypass Prof IB Mantra 88A, Ketewel, Gianyar, Bali. Bisa juga melalui surat elektronik: ciptapuisibentarabali@yahoo.com. Naskah yang dikirim via pos harap menyertakan salinan sebanyak empat rangkap. Seluruh karya diketik dalam format Times New Roman, 12pt, spasi 1,5.

Panitia menunggu naskah peserta sampai 20 Mei 2011 cap pos. Dewan juri akan memilih tiga pemenang utama dan 25 puisi nominasi. Panitia akan membukukan puisi-puisi pemenang dan nominasi yang kemudian dibacakan dalam Lomba Baca dan Dramatisasi Puisi se-Bali bulan Juli 2011 nanti. Para pemenang akan diundang ke Bali dan memperoleh hadiah total senilai Rp 10 juta, trofi, serta hadiah menarik lainnya. Informasi dapat diperoleh di www.bentarabudayabali.wordpress.com. (*/CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Agenda: ”Sie Jin Kwie”dari Koma

TEATER Koma seperti tak pernah berhenti. Pada produksi ke-122, kelompok teater pimpinan N Riantiarno ini akan mementaskan bagian kedua dari trilogi Sie Jin Kwie dengan judul ”Sie Jin Kwie Kena Fitnah”, 4-26 Maret 2011 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Lakon ini meneruskan kisah pahlawan muda China pada abad ke-7 bernama Sie Jin Kwie. Kali ini ia dihantam fitnah memerkosa dan membunuh sepupu Kaisar Li Si Bin. Sie Jin Kwie ditangkap dan divonis hukuman mati. Sebagaimana pentas-pentas Koma selama ini, pentas ini dilengkapi dengan kostum, tarian, dan nyanyian yang menghibur. Pertunjukan setiap hari akan dimulai pukul 19.30. (CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

[Nama & Peristiwa] Lola Amaria: Bedah Novel

LOLA Amaria (34) tampak sibuk akhir pekan ini. Sabtu (26/2) sore, ia memberi testimoni dalam seminar tentang teknologi lasik di sebuah klinik pengobatan mata di Jakarta. Minggu siang ini, ia harus menjadi pembedah novel baru berjudul Blues Merbabu karya Gitanyali di Book Fair, Senayan, Jakarta.

Lola Amaria (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

”Mataku dari minus, silinder, dan abrasi. Nah, abrasi itu yang enggak bisa lihat cahaya. Kadar normalnya 12, tetapi mataku 56, makanya suka gelap...” tutur perempuan kelahiran 30 Juli 1977 ini.

Lantaran itulah, tambah Lola, ia memutuskan menggunakan teknologi laser yang disebut lasik untuk menyembuhkan matanya. ”Sekarang sudah enggak perlu kacamata, suka bikin repot kan,” katanya.

Soal bedah novel itu? ”Oh aku tersanjung. Penulisnya juga bukan penulis sembarangan. Selain itu, novel ini juga bisa bersaing di market sekarang lho,” tutur sutradara film Minggu Pagi di Victoria Park ini. Lola merasa Blues Merbabu bisa menjadi tulisan penting untuk menandai masa-masa tahun tujuh puluhan. Itu bisa dilihat dari lagu, musik, daerah seperti Sanur, serta definisi tentang kecantikan. Selain itu, yang terpenting, si tokoh novel yang anak seorang PKI, ”Fun-fun aja, so what kalau gue anak PKI. Kira-kira gitu tuh tokohnya,” kata Lola tentang novel itu.

(CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

[Kehidupan] Korupsi: Benih Itu Tumbuh dalam Keluarga

-- Myrna Ratna dan Nur Hidayati

SERING tidak disadari, benih-benih yang mengarah pada perilaku koruptif justru ditebar dari dalam keluarga. Hal-hal yang dianggap sepele, ketika dilanggar dan dibiarkan, akhirnya menjadi kebiasaan yang bebas dari rasa salah.

Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya melalui aspek hukum saja, tetapi juga melalui pembentukan moral sejak dini. Salah satunya lewat kantin kejujuran, seperti yang ditemui di SMP Negeri 75 Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (24/2). (FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Ketika anak sulungnya tidak lulus tes masuk untuk sekolah menengah atas favorit di kawasan Kebayoran, Jakarta, Andra (50)—bukan nama sebenarnya—sangat kecewa. Tanpa banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk mencari peluang melalui ”jalan belakang”.

Ia langsung menghubungi beberapa kenalannya yang kebetulan menjadi dewan pengurus di sekolah itu dan minta tolong agar anaknya bisa memperoleh ”bangku cadangan”. Singkat kata, sang anak bisa diterima di sekolah itu, namun dengan imbalan jumlah ”sumbangan gedung” yang lebih tinggi dibandingkan orangtua lainnya yang diterima lewat jalur normal.

Namun, Andra tidak merasa apa yang dilakukannya itu keliru. ”Loh, saya kan melakukan itu karena saya sayang sama anak. Saya ingin dia belajar di sekolah terbaik. Kalau sekolahnya tidak jelas reputasinya, mau jadi apa anak saya nanti?” kata Andra dengan nada tinggi.

Kadang, atas nama ”cinta pada anak”, orangtua rela menabrak rambu-rambu yang kebetulan di negeri ini dimungkinkan untuk dibengkokkan. Mereka sering lupa bahwa perilaku itu akan diinternalisasi oleh anak-anaknya.

Ari (20)—bukan nama sebenarnya—kecewa ketika orangtuanya tidak memberinya izin untuk mengikuti tes masuk di sebuah perusahaan swasta. Rupanya orangtua Ari lebih menginginkan putranya menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Untuk memuluskan keinginannya itu, ayah Ari yang pensiunan PNS sudah ”menitipkan” anaknya buat bekerja di tempat ia bekerja dulu. Lewat bantuan para kenalan ayahnya, Ari memperoleh pekerjaan sebagai tenaga magang. ”Sebenarnya saya ingin mencoba merasakan ikut tes kerja dan mencoba mandiri. Tetapi, saya juga tidak berani melawan orangtua,” kata Ari pasrah.

Menumbuhkan kepercayaan

Psikolog Theresia Sapto (49) menyadari bahwa keluarga menjadi benteng pertama untuk menanamkan nilai antikorupsi dan orangtua menjadi sosok paling penting untuk mentransfer nilai-nilai itu.

”Ketika anak saya sekarang sudah cukup dewasa, masalah itu bisa kita diskusikan dengan terbuka. Jadi, kita sering bareng-bareng membahas kasus-kasus korupsi yang ada di televisi atau koran,” katanya.

Namun, nilai-nilai itu secara kontinu telah ditanamkannya sejak anak-anaknya masih kecil. ”Intinya saya selalu mengatakan kepada mereka untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kalau diberi uang untuk bayar uang sekolah, ya untuk uang sekolah, tidak boleh 'dipinjam' untuk jajan dulu. Juga dalam mengatur waktu, kalau pas jam untuk belajar ya untuk belajar, bukan untuk main,” tambahnya.

Ketika memasuki masa sekolah, anak-anak sebetulnya telah dihadapkan pada tantangan yang paralel dengan dunia orang dewasa. Misalnya saja, mereka harus menghadapi godaan menyontek, menjiplak, perlakuan diskriminatif, bahkan ancaman bully.

”Intinya, itu adalah perilaku yang curang karena ada pihak yang dirugikan. Cara saya mengatakan kepada anak-anak bukanlah ”jangan menyontek”, tapi saya katakan bahwa ketika kamu bisa melakukan sesuatu karena upaya sendiri, itu akan membuat kita percaya diri,” kata Theresia.

Demikian juga dengan berbohong. ”Anak-anak sudah mengerti bahwa ketika mereka berbohong maka yang tidak bisa mereka bohongi adalah diri mereka sendiri,” tuturnya.

Serius

Ketika dewasa, dorongan menyontek itu tidak mustahil berkembang menjadi plagiarisme, bahkan yang lebih luas lagi pembajakan. Sikap ”titip-menitip” itu bisa mengarah pada perilaku nepotisme dan kolusi dan semua itu akhirnya menggenapkan perilaku koruptif.

Lily (36)—bukan nama sebenarnya— manajer divisi sebuah perusahaan di Jakarta, menggambarkan mengapa tas bajakan dari merek-merek terkenal yang ia perjualbelikan selalu laku keras. ”Masalahnya, selera itu enggak equal dengan uang. Jadi, yang 'kawe-kawe' (istilah untuk produk bajakan yang berkualitas) itulah yang terbeli, itu pun pakai kredit,” kata Lily.

Ia tahu persis bahwa menjual atau membeli produk bajakan itu menyalahi aturan. ”Akan tetapi, apa boleh buat... kantong yang bicara,” kata Lily, yang memperoleh pasokan dari penyuplai yang berada di Batam. Produk tas dan dompet itu kebanyakan buatan China, Hongkong, dan Korea.

Menurut Lily, tas-tas bermerek itu dibajak dalam beberapa tingkat kualitas. Dari pengalamannya, ia bisa membedakan tas bajakan dengan kualitas KW II sampai kualitas ”premium”. KW II biasanya dijual dengan kisaran harga Rp 300.000-Rp 400.000 per buah. KW I dijual mulai harga Rp 500.000- Rp 1 juta. Sedangkan kualitas premium sebuah tas bisa dijual dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta; bandingkan dengan tas bermerek asli yang harganya Rp 20 juta-Rp 30 juta.

Di Jakarta, tas-tas bajakan seperti itu dapat dibeli bebas di sejumlah mal. Budi (43) yang siang itu membeli dompet di sebuah gerai di kawasan Sudirman mengatakan, ia tahu barang yang dijual di situ bajakan, namun ia tak peduli. ”Saya beli karena dompet ini murah, model dan bahannya juga lumayan,” katanya.

Sementara Dhea (34) yang rajin mengoleksi DVD film impor bajakan sejak lima tahun terakhir menilai, tindakannya itu bukan hal keliru sepanjang ia tidak membeli bajakan film ataupun musik produksi negeri sendiri.

”Aku enggak pernah nyontek, enggak pernah nyogok termasuk kalau bikin KTP atau apa pun. Aku cuma beli DVD bajakan karena rasanya enggak salah-salah amat. Soalnya negara-negara Barat, termasuk produsen Hollywood, itu sudah banyak banget ambil untung dari pasar negeri ini,” ujar karyawati swasta ini.

Namun, Karlina Supelli, pengajar di Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, dalam diskusi ”Korupsi yang Memiskinkan”, Selasa (22/2) lalu di Hotel Santika Jakarta, mengingatkan bahwa perilaku menyontek, menjiplak, ataupun sesamanya merupakan korupsi. Kelihatannya seperti ”bukan korupsi” karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. ”Saya mohon, jangan beri toleransi untuk kecurangan,” katanya. (YULIA SAPTHIANI)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

[Kehidupan] Antikorupsi: "Ayo Jujur Setiap Hari"

-- Nur Hidayati dan Yulia Sapthiani

DI tengah perilaku koruptif yang mengepung kita, masih ada orang-orang yang memilih bersikap antikorupsi. Dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan diri sendiri, prinsip antikorupsi lalu disebar ke lingkungan sekitar.

Warga melintas di depan mural tentang lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap para pekerja publik di Jalan Sultan Agung, Jakarta Pusat, Kamis (24/2). (FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Ketika menemukan uang tak bertuan di lingkungan sekolah, Corrie Susanto (14) segera memungut dan memasukkannya ke kotak temuan yang diletakkan di kantin kejujuran. Siswa kelas IX SMP Negeri 75 Kebon Jeruk, Jakarta, itu mengaku telah terbiasa jujur, bahkan ketika peluang untuk tidak jujur itu terbuka lebar.

Sebagai wujud perlawanan terhadap korupsi, sekolah menanamkan kejujuran pada siswa, antara lain dengan membuka kantin kejujuran. ”Rasanya enggak enak banget kalau sampai berbuat tidak jujur,” ujar Corrie.

Kantin kejujuran di SMP Negeri 75 hanya berupa bangku sepanjang sekitar 5 meter. Tiap pagi, aneka makanan seperti lontong sayur, risol, hingga alat tulis dijajar di bangku, tanpa penjaga. Siswa bebas mencomot makanan dan membayar dengan meletakkan uang di kotak kasir. Di sisi lain dari bangku itu juga diletakkan kotak temuan. Menurut Kepala SMP Negeri 75 Akhmad Sumardi, sejak hadir tahun 2006, kantin kejujuran tak pernah bangkrut.

Satu kali sepekan, setiap Rabu pagi, siswa juga dibekali dengan pendidikan motivasi. Kejujuran, lanjut staf humas SMP Negeri 75, Sagino, menjadi salah satu topik yang terus-menerus ditanamkan kepada siswa.

Kantin kejujuran juga ada di SMA Negeri 78 Kemanggisan. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Komunikasi dan Kerja Sama Nursyamsudin, kantin ini efektif mengubah perilaku siswa. ”Kejujuran sempat terdegradasi, tapi kini mulai pulih,” katanya.

Perlawanan terhadap korupsi juga dilakukan orangtua siswa dari lima sekolah di Jakarta, yang Selasa (22/2) lalu mendeklarasikan Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) di Gedung Perintis Kemerdekaan. Mereka bertekad mewujudkan pendidikan zero korupsi, zero diskriminasi, dan zero intimidasi.

Di tingkat perguruan tinggi, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada pernah membuat program kuliah kerja nyata (KKN) antikorupsi bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa bertugas mengawasi pengadilan yang berada di 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Hasilnya, seperti dikatakan Direktur Pukat Zainal Arifin Mochtar, ditemukan banyak pelanggaran, seperti sidang yang dilaksanakan di ruang hakim. Menurut Zainal, program tersebut mendekatkan mahasiswa dengan realitas sesungguhnya, dengan dunia yang akan mereka geluti usai kuliah. Sayang, karena keterbatasan dana, KKN antikorupsi hanya berlangsung di satu angkatan. ”Sebenarnya Komisi Yudisial mau mengambil program ini, tetapi belum dilaksanakan,” kata Zainal.

Antikorupsi PNS

Gerakan antikorupsi juga dilakukan sekelompok pegawai negeri sipil (PNS) melalui Aliansi PNS Antikorupsi di Facebook. Adalah M Ali (38), seorang PNS, yang menjadi penggagas gerakan di dunia maya tersebut.

Gundah dengan perilaku koruptif yang lekat dengan PNS, Ali mengajak rekan seprofesi untuk hidup bersih. Hampir setiap hari di dinding Facebook terdapat ajakan untuk menjauhi korupsi. Jumat (25/2), misalnya, tertulis ”Ayo jujur setiap hari”.

Awalnya, Ali hanya mengundang sesama PNS untuk bergabung. Namun, di antara lebih dari 1.500 anggota yang sudah bergabung, ada juga yang tidak berprofesi sebagai PNS.

”Saya tidak menutup mata kalau korupsi memang terjadi di lingkungan PNS. Perlawanan terhadap korupsi saya mulai dari diri sendiri, staf saya, lalu ke bagian lain,” kata Ali.

Korupsi di lingkungan kerjanya, yang memberi pelayanan kepada masyarakat, menurut Ali, terjadi karena kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat. ”Misalnya, banyak masyarakat tidak tahu tahapan membuat KTP atau surat lain karena memang tidak disosialisasikan. Hal inilah yang membuka peluang terjadinya negosiasi,” tutur Ali.

Untuk menutup pintu negosiasi ini, sistem pun dibenahi. Semua informasi disosialisasikan kepada publik, di antaranya dengan membagikan brosur, termasuk pada stafnya.

Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang menerapkan sistem berbasis internet juga bisa menjadi contoh sikap antikorupsi di tingkat pemerintah. Salah satunya adalah electronic procurement service (E-Proc) yang bertujuan mempermudah sekaligus menjamin transparansi lelang tender pengadaan barang dan jasa.

Sebelum E-Proc juga ada E-Bud- geting untuk membantu dinas dan tim anggaran dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis kinerja. Ada pula E-Controlling, sistem aplikasi lanjutan E-Budgeting.

Pengajar di Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta, Darmono Bajuri, berpendapat, korupsi yang melekat pada PNS bisa hilang jika mereka memulai dengan hal sederhana. ”Jelaskanlah kepada orang rumah penghasilan setiap bulan bersumber dari mana. Begitu pula saat kita membawa sesuatu ke rumah,” kata Darmono, yang mengajar etika organisasi pemerintah, etika moral, dan kepemimpinan aparatur.

Tanggung jawab moral

Tanggung jawab moral, seperti dicontohkan Darmono, memang menjadi salah satu faktor seseorang memilih bersikap antikorupsi.

Miranti (34), bukan nama sebenarnya, mengubah apa yang dilakukan orangtuanya selama puluhan tahun dalam mengelola grosir buku pelajaran di sebuah kota di Jawa Tengah.

Sebelum dikelola Miranti, grosir tersebut tak hanya menjual buku legal, tetapi juga bajakan. Namun, sejak empat tahun lalu, Miranti memutuskan menghentikan penjualan buku bajakan.

Meski ditentang karyawan dan keluarga, Miranti teguh dengan prinsipnya. Dia pun mengurai cerita.

Beberapa tahun sebelum mengambil alih toko, Miranti mengikuti orangtuanya mengunjungi penerbit yang memproduksi versi asli dari buku bajakan.

”Dari situ, aku tahu kalau sebagian penghasilan penerbit disisihkan buat kegiatan sosial seperti anak yatim piatu. Nah, kalau aku jual bajakan, aku mencuri apa yang jadi hak orang lain, bahkan bisa juga hak anak-anak yatim,” ujar Miranti.

Meski sempat dianggap bos ”gila”, kini Miranti justru berhasil mengembangkan tokonya dengan omzet mencapai miliaran rupiah per tahun. Dengan modal kejujuran, tanpa penjualan barang bajakan. Maka, ”Ayo jujur setiap hari...!” (ETA/WKM)

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

Saturday, February 26, 2011

[Teroka] Bila Pasien Salah Alamat

-- Handrawan Nadesul

PASIEN kita kebanyakan telanjur miskin secara struktural. Sistem kesehatan kita yang harus bayar dulu baru bisa berobat menambah buruk nasib kesehatan mereka, karena belum semua dipayungi asuransi. Kondisi lemahnya wawasan medis masyarakat, terpeliharanya pola pikir mistis, takhayul, dan mitos menjadi pemiskin baru pasien.

Di luar haknya mencari laba, rumah sakit (RS) juga mengemban tanggung jawab sosial tertentu. Tetap sudi menyisihkan 25 persen tempat tidur buat pasien tak mampu, misalnya. Namun wajar pula kalau RS perlu berhitung demi tak merugi. Itu alasan yang selalu digunakan RS yang sering memiliki masalah dengan pasien.

Pasien secara mudah terbagi dalam dua golongan. Pasien ”jalur lambat” yang tak selalu bisa berobat setiap kali sakit dan pasien ”jalur cepat” yang memiliki kemerdekaan untuk memilih ke RS mana ia hendak berobat. Lebih dari 80 persen masyarakat kita berada di layanan ”jalur lambat”. Mereka yang acap tersesat berobat sehingga patut dibela.

Di layanan ”jalur lambat” rakyat banyak berpikir, sudah menjadi haknya untuk dilayani setiap kali mereka menderita sakit. Namun karena lebih banyak pasien yang tak selalu mampu berobat, persoalan pun kerap timbul, khususnya dalam hubungan yang sering tidak harmonis antara pasien dan RS.

RS pasar malam

Dalam situasi itu, kerap kita keliru mengambil posisi, misalnya dengan begitu saja mendukung posisi pasien atau sebaliknya. Sementara bila dicermati, ternyata sebagian karena pasien salah alamat berobat. RS berubah jadi pasar malam karena pasien yang sebetulnya bisa diobati di tingkat puskesmas, semua mencari rumah sakit.

Layanan medis kita menganut sistem rujukan (referral system). Namun tak cukup banyak dimanfaatkan pasien ”jalur cepat” karena belum semua memakluminya. Rakyat tidak tahu kalau ada regulasi puskesmas merupakan pintu alamat berobat untuk apa pun penyakit pasien. Puskesmas merujuk ke RS tingkat kecamatan bila ia tidak mampu menangani. RS kecamatan merujuk ke RS kabupaten, dan selanjutnya dirujuk lagi jika memerlukan fasilitas RS provinsi.

Begitu selanjutnya, pasien baru dirujuk ke RS top referral, yakni RSCM Jakarta, bila di RS tingkat puncak kasusnya tak bisa ditangani. Artinya, untuk sampai RSCM proses seleksi semestinya sudah berlangsung cukup ketat. Namun, nyatanya RSCM saat ini masih seperti pasar malam. Akibatnya, ketepatan dan efisiensi berobat tak optimal. Pasien apa pun berbondong-bondong ke RS sehingga RS kelebihan beban kerja. Itulah salah satu sebab kenapa layanan RS di bawah kualitas sering dikeluhkan pasien.

RSCM dijejali kasus sederhana yang sebetulnya bisa ditangani puskesmas atau RS di tingkat lebih bawah. Dampak buruknya, dokter dan tenaga medis kelebihan bobot kerja.

Sekadar merasa sembuh

Tidak semua pasien kita berobat ke dokter. Suburnya praktik pengobatan alternatif di negeri ini bukan semuanya harus diharamkan. Namun, masyarakat perlu diberi tahu, tidak semua terapi atau kesembuhan (healing) nonmedis, apakah cara tradisional, paranormal, orang pintar, betul terbilang ilmiah. Pasien perlu menginsafi gara-gara tak tepat berobat, mereka berisiko merugi untuk dua hal. Tak sembuh atau kehilangan peluang sembuh, tentu saja di samping kerugian ekonomis.

Handrawan Nadesul
, Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan dan Penulis Buku

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

Pendidikan Guru Belum Jelas

Jakarta, Kompas - Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab soal pendanaan penyelenggaraan pendidikan profesi guru. Hal ini mengakibatkan kuota 13.000 guru untuk dididik sampai Juli 2011 bisa tak tercapai.

Pemerintah pusat hanya memberikan bantuan persiapan pendidikan profesi guru (PPG) kepada lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk. Sementara guru yang gajinya masih minim umumnya tidak berminat meraih gelar guru profesional lewat PPG yang biayanya bisa di atas Rp 10 juta untuk satu tahun.

Supriadi Rustad, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta, Jumat (25/2), mengatakan, PPG bagi guru dalam jabatan ini kuotanya untuk 13.000 guru. Jatah ini di luar kuota sertifikasi dari pemerintah pusat tahun ini yang dialokasikan 300.000 guru.

Jalur ini dibuka untuk memberi kesempatan kepada daerah yang ingin mendapatkan kualitas guru profesional. Setelah guru lulus PPG, mereka dapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

”Jika pemerintah daerah peduli dengan guru di daerahnya, seharusnya PPG guru didukung. Mereka bisa memilih guru yang memenuhi syarat untuk dibiayai. Ini semua tergantung dari daerah,” kata Supriadi.

Edy Heri, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, mengatakan, pihaknya kesulitan menyediakan anggaran untuk PPG guru dalam jabatan untuk tahun ini. Anggaran daerah difokuskan untuk memberi beasiswa pendidikan S-1 bagi guru.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, pihaknya akan melihat anggaran dulu apakah memungkinkan atau tidak untuk membiayai PPG bagi guru di Kota Bandung.

”Kami lihat dulu kuotanya untuk Kota Bandung. Sampai saat ini belum ada pemberitahuan resmi soal PPG. Namun rasanya tidak bisa menanggung seluruh kuota guru,” kata Oji. (ELN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

[Tanah Air] Menunggu Kiprah "Pattingalloang" Muda...

-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara

ENAM mahasiswa teknik mesin Universitas Hasanuddin bergulat dalam pembuatan robot. Pencapaian mereka sesungguhnya bisa jadi sudah terpikirkan Karaeng Pattingalloang, cendekiawan sekaligus Mangkubumi kerajaan kembar Gowa-Tallo yang menyusuri bumi dengan otaknya, empat abad silam.

Sisa bangunan Benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu peninggalan monumental Kerajaan Gowa, Senin (14/2). (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Syamsuar, Ridwan, Ricky, Muhammad Rahman, Zulkifli, dan Zulfatri telah menghasilkan sejumlah robot, seperti pemadam kebakaran, pengecat, robot berjalan, pengangkut sampah, dan kursi roda otomatis. Seperti Karaeng Pattingalloang yang tak pernah berhenti menyusuri tiap labirin pengetahuan, enam mahasiswa ini memacu diri untuk berkreasi dengan ide-ide baru.

Apa yang dilakukan anak-anak muda ini setidaknya mengajak kita untuk melupakan sejenak aksi demo mahasiswa di Makassar yang belakangan ini mengantar kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu dikenal sebagai kota rusuh. Pada abad ke-18 Belanda memang pernah melabeli Sulawesi—termasuk Makassar (kala itu merupakan wilayah bandar niaga Kerajaan Gowa)— sebagai Pulau Keonaran atau (onrust eiland). Namun, berkat kecemerlangan otak Perdana Menteri Kesultanan Gowa I Mangngadacinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, label itu terhapuskan.

Pattingalloang yang kemudian bermenantukan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa ke-16) sudah berpikir global, dengan bermitra bersama saudagar dari Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, China, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Inggris.

Nirwan Arsuka dalam artikelnya di Kompas (1/1/2000) menggambarkan, abad ke-17 Makassar adalah bandar paling ramai dan kosmopolit di belahan Timur Nusantara. Sejarawan Suryadi Mappangara menimpalinya dengan menyebut Pattingalloang sebagai astronom yang menguasai lima bahasa, yakni Belanda, Portugis, Inggris, dan Spanyol.

Upaya untuk membalik ”stigma” menjadi ”citra” kini marak dilakukan anak-anak Makassar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kehadiran koran digital beralamat www.panyingkul.com, lima tahun silam, menjadi wadah para warga untuk menyajikan dan mengkritisi transformasi budaya Makassar dan daerah sekitarnya, sekaligus menggali nilai kearifan lokal.

Ruang itu direspons baik oleh para penulis lepas yang dengan setia mengirimkan tulisan tentang berbagai situs dan persoalan di Sulawesi Selatan, dari Lapangan Karebosi, sedimentasi di Sungai Jeneberang, minimnya kunjungan di Museum Kota Makassar, hingga aktivitas penenun sutra di Sengkang, Wajo.

Apa yang dilakukaan generasi sekarang seolah menjawab getirnya pemandangan di situs-situs peninggalan Kerajaan Gowa, termasuk di area Benteng Somba Opu yang belakangan menuai kontroversi menyusul pembangunan wahana rekreasi.

Situs peninggalan

Jejak kejayaan Kerajaan Gowa dan bersama 14 benteng lainnya dulu dibangun untuk membentengi kekuatan maritim Kerajaan Gowa. Kini secara fisik hanya Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang masih tersisa. Sisanya, dilibas oleh permukiman penduduk, pabrik, dan pertokoan.

Mereka yang berusaha mengais-ngais masa lalu bisa mengunjungi tempat peristirahatan terakhir para raja di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kecamatan Tallo, Kota Makassar.

Petilasan ini tentu tidak lagi mampu menceritakan keberanian para raja mengusir penjajah. Yang ada hanya para penjaga dan pemandu yang berharap bisa memperoleh uang tip dari pengunjung.

Bangunan fisik peradaban memang selalu terancam kehancuran. Karena itu, warisan yang seharusnya dijaga bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga spirit dan nilai-nilai. Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Kerajaan Tallo dalam semua pergulatannya adalah cikal bakal generasi yang kini berdiam di sepanjang jazirah selatan Sulawesi.

Tak terurus

Kawasan rumah adat ini berada dalam wilayah Benteng Somba Opu seluas 150 hektar, saat itu selain tidak terurus, juga menuai kontroversi seiring rencana pembangunan wahana rekreasi di sebelah timurnya.

Ide pengembangan kawasan benteng ini sebetulnya sudah muncul sejak era Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin Pabittei pada tahun 1995. Gubernur yang mantan Rektor Universitas Hasanuddin itu prihatin melihat reruntuhan benteng pertahanan Gowa tersebut tidak lagi ramai dikunjungi.

Kala itu, pembangunan rumah adat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah, diharapkan mampu menarik minat wisatawan menuju Benteng Somba Opu. Namun, seiring berjalannya waktu, perawatan rumah diabaikan. Ketika rumah adat melenceng dari fungsi awalnya, benteng pun tak terurus.

Yang kini bisa ”dijual” dari Somba Opu memang hanyalah batu-batu padas yang koyak. Kokohnya dinding di empat penjuru dan menara (bastion) pengintai dihancurkan setelah Kompeni Belanda menancapkan kekuasaannya atas Gowa lewat Perjanjian Bungaya tahun 1667. Gowa telah membuktikan ungkapan ”Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Berjaya)!

Setelah kejayaan Kerajaan Gowa tersapu waktu, mestinya memang tibalah saatnya anak-anak muda Gowa-Makassar menorehkan sejarah mereka sendiri. Tentunya dalam konteks yang beradab dan bermartabat. Bukan dengan aksi demo menjurus anarkistis yang menodai nama besar cendekiawan Gowa, Karaeng Pattingalloang.

Dalam konteks kebijakan transportasi laut, peran Gowa empat abad silam sebetulnya layak menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat. Dulu, tanpa peran negara, Pelabuhan Makassar menyaingi pamor Pelabuhan Singapura. Kini, di tangan negara, pamor itu malah meredup.

Padahal, potensi untuk menyaingi Singapura amat terbuka mengingat lokasi Makassar sangat strategis: berada di poros Asia-Pasifik dan jalur utama pelayaran Nusantara.

Inspirasi dari Gowa mestinya menyadarkan pemerintah mengoptimalkan transportasi laut di negara yang memiliki 17.000 pulau ini.

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

[Tanah Air] Gowa Sudah Lebih Dulu Mendunia

-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara

AWAL Februari lalu, eksportir kakao, Dakhri Sanusi (45), masygul melihat pemuatan 1.000 ton kakao siap ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui Terminal Peti Kemas Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan. Empat abad silam, bandar niaga Kerajaan Gowa itu ramai disandari pinisi dan kapal Eropa.

Sebanyak 110 kapal lepa-lepa berderet di tepi Pantai Losari, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. Jika dulu Kerajaan Gowa memanfaatkan transportasi laut untuk perdagangan, kini Pemerintah Kota Makassar mengembangkannya untuk kawasan wisata. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)

Geliat Pelabuhan Makassar saat ini boleh jadi gambaran kejayaan Kerajaan Gowa empat abad lampau. Pada pertengahan abad ke-17, Makassar adalah bandar niaga paling ramai di Nusantara. Untuk transaksi rempah-rempah, pelabuhan ini bahkan menjadi kiblat pedagang dari Asia dan Eropa.

Pengiriman kakao dari Pelabuhan Makassar kembali meningkat menyusul memanasnya politik di Pantai Gading, negara produsen kakao terbesar di dunia. Harga kakao di tingkat petani naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 27.000 per kilogram (kg).

Sebagai eksportir, Dakhri harus menjual kakao seharga Rp 31.000 per kg, mengacu harga di bursa efek New York.

Sayangnya, geliat itu tak berbanding lurus dengan pendapatan Dakhri sebagai eksportir hasil bumi. Penyebabnya, ongkos kirim kakao membengkak karena ekspor harus lewat Surabaya.

Dengan keuntungan Rp 4.000 per kg, ia memang meraup laba hingga Rp 10 juta per 2.500 ton kakao. Namun, keuntungannya susut hingga 40 persen karena biaya pengapalan. Pengangkutan kakao dari Makassar ke Surabaya makan ongkos Rp 1,4 juta per kontainer, belum termasuk biaya bongkar muat Rp 600.000 per kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak. Praktis, Dakhri hanya meraih laba bersih Rp 6 juta untuk 2.500 ton kakao. Biaya tambahan hingga Rp 2 juta itu juga berlaku untuk ekspor komoditas lain, seperti jagung, kelapa, ikan laut, kepiting, dan udang—produk utama di kawasan timur Indonesia (KTI).

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, berkisah, mekanisme perkulakan yang dicetuskan Perdana Menteri Kesultanan Gowa Karaeng Pattingalloang terus mendongkrak pamor Makassar. Gowa mengumpulkan rempah-rempah dalam jumlah besar dan menjualnya dengan harga murah. Itulah strategi yang ditempuh demi menarik minat pedagang berdatangan.

Kala itu, penjualan rempah-rempah dilakukan dengan sistem subsidi silang agar tetap mendapat laba. Saat rempah-rempah dijual murah, harga komoditas lain sedikit dinaikkan.

Berkat trik dagang tersebut, pamor Makassar di kawasan Asia Tenggara kala itu terus diperhitungkan. Volume perdagangan Makassar (46 juta gulden) melampaui Singapura yang 16 juta gulden (Makassar Abad IX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 2002).

Kebijakan pemerintah

Gowa dan Kerajaan Gowa seolah memberikan pemahaman baru. Abad ke-17 ternyata lebih global karena transaksi dan hubungan dagang langsung dari dan ke jantung Makassar.

Memang, sejak dilengkapi dengan terminal peti kemas pada 2007, pemerintah menetapkan Pelabuhan Makassar juga menjadi pelabuhan ekspor-impor, seperti Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya). Proses bongkar-muat barang yang didukung peralatan memadai beroperasi 24 jam.

Namun, hal itu tak kunjung menarik minat perusahaan pelayaran. Empat tahun terakhir, jumlah kontainer yang diekspor dari Pelabuhan Makassar hanya sekitar 2.000 unit atau 2-3 kapal sebulan. Adapun kontainer yang diimpor hanya 400 unit atau setengah dari total kapasitas kapal pengangkut barang.

Menurut General Manager Terminal Peti Kemas Pelabuhan Makassar Anharuddin Siregar, pemerintah provinsi di KTI perlu mendesak pemerintah pusat untuk mewajibkan ekspor komoditas dilakukan di daerah asal.

Dari segi geografis, ia menilai, Pelabuhan Makassar dan Bitung, Sulawesi Utara, layak menjadi hub, tempat pengumpulan komoditas dari sejumlah daerah di KTI. ”Jika regulasi itu ditetapkan, perusahaan pelayaran mau tidak mau mengubah jadwal pelayaran hingga ada (kapal) yang singgah di Makassar,” ujarnya.

Konsorsium dan swasta

Andai kebijakan itu belum juga mampu menghidupkan Pelabuhan Makassar, ia mengusulkan agar kepala daerah di KTI bergabung membentuk konsorsium perkapalan. Kepemilikan bersama kapal yang beroperasi di KTI akan membuka keran ekspor-impor, sekaligus memperbaiki sistem transportasi laut.

Konsorsium perkapalan diharapkan membuka jalur-jalur pelayaran di KTI yang selama ini belum terlayani, seperti Makassar-Kendari, Makassar-Ternate, Makassar-Bitung, dan Makassar-Jayapura. Perbaikan interkoneksi kepelabuhanan akan mengurangi kesenjangan harga barang di KTI dengan kawasan barat Indonesia.

Dari kacamata Ketua Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Manado-Bitung Noldy Tuerah, perbaikan mekanisme ekspor-impor di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila pengelolaan pelabuhan diberikan kepada swasta. Hal seperti ini sudah diterapkan di Pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas, Malaysia.

”Biarkan perusahaan pelayaran yang mengatur rute kapal. Mereka pasti akan memilih berlayar ke pelabuhan yang paling efisien sehingga ekspor-impor nantinya tidak terpusat di Jakarta dan Surabaya,” kata Noldy.

Para pelaku usaha berharap, Dewan Pengelola Pelabuhan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dapat segera terbentuk. Lembaga itulah yang kelak berwenang menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada swasta. Kerajaan Gowa sudah melakukan hal itu.

Semestinya pemerintah pusat berkaca pada jejak kejayaan maritim itu....

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011