-- Rizka Ramadhani
AKHIR-AKHIR ni kita dibuat sibuk sebuah kata yang begitu purba tetapi seolah baru: ”bohong”. Kata yang kini bagai peluru yang dibombardir kepada penguasa. Sementara, seluruh elemen kehidupan bangsa ini, tidak hanya pejabat, tetapi juga artis, pengusaha, dan tokoh masyarakat, sesungguhnya pernah berbohong.
Walaupun berbohong bersifat antagonis, yang tercela dan coba dihindarkan, kenyataan umum melihat hal itu biasa. Lumrah, bahkan manusiawi. Itu sebabnya tak ada manusia yang tak berdosa. Bahkan sebagian dari kita mungkin beranggapan bohong itu sebenarnya bagian dari tradisi atau mungkin bagian dari gaya hidup masa kini.
Di dalam sastra, setidaknya anggapan semacam itu jelas terbaca pada berbagai tulisan. Seperti buku kumpulan cerpen Para Pembohong terbitan tahun 1996, yang di dalamnya memuat cerpen beberapa cerpenis, seperti Ahmad Nurullah, Arie MP Tamba, dan Sitok Srengenge.
Di sana berkisah siapa pembohong, perbuatan berbohong, dan dampak kebohongan. Bukan tentang kisah kebohongan manusia, melainkan risalah-risalah yang mengingatkan pembaca tentang hubungan fiksi dan bohong.
Banyak orang mengatakan, karya sastra adalah karya rekaan. Di dalamnya ada unsur ”kebohongan” cerita, yang sering dinamai dampak imajinasi. Artinya, cerita dalam karya sastra bisa dianggap tidak benar- benar terjadi, tetapi hanya imajinasi pengarang. Oleh karena itu, pembaca karya sastra adalah mereka yang mau dibohongi.
Meskipun demikian, kita tidak akan cepat menilai bahwa ”kebohongan” dalam karya sastra adalah dosa. Sebab, kebohongan kadang diperlukan untuk menghibur, belajar, dan merenungi kenyataan hidup yang sebenarnya justru banyak mengandung kebohongan. Namun, direkayasa seolah-olah bukan kebohongan. Barangkali di sinilah kita menempatkan karya sastra sebagai medium mencapai katarsis.
Yang menarik dari karakter atau dimensi intrinsik sastra ini, justru ada beberapa karya atau pengarang yang memanfaatkannya untuk menyampaikan kisah tentang kejujuran atau kenaifan dan keluguan. Seperti dilakukan pengarang terkenal Perancis, Voltaire (abad ke-18), lewat salah satu romannya, Si Lugu (L’Ingenu). Karya itu menceritakan kehidupan tokoh Si Lugu yang amat sederhana, polos, suka berterus terang, tetapi memiliki kritik-kritik yang tajam (Ida Sundari Husen, 1987).
Dalam dongeng itu, kita mendapat pemahaman lain tentang sikap jujur dan kepolosan, yang ternyata justru dapat menelanjangi kebohongan, kemunafikan, keserakahan, fanatisme yang menghinggapi banyak orang, baik dalam politik, agama, percintaan, maupun kehidupan bermasyarakat. Keluguan, sifat inilah yang hilang dalam diri kita, sehingga kita sering berbohong demi jabatan, uang, reputasi lembaga, popularitas, cinta, prestise, dan lain-lain.
Anehnya lagi, kebohongan kini banyak digunakan untuk menampilkan pencitraan yang arogan, yang merendahkan orang lain, yang destruktif.
Karya sastra, semacam buku L’Ingenu di atas, memastikan kepada kita betapa kebohongan bukan hanya milik satu komunitas atau satu kelas masyarakat tertentu saja. Ia ada di mana- mana: ada pada kita, tak peduli ruang dan waktunya. Inilah, barangkali, ironi yang terbaca dan terasa dalam kampanye (anti) kebohongan yang selama ini dilansir beberapa kalangan. Betapa miris jika sebuah tuduhan kita tudingkan pada satu golongan, sementara empat jari lainnya menunjuk kita sendiri.
Sebuah cerpen 13 Kopi Kecil dan Asap Rokok karya Misbach Yusa Biran mungkin bisa menggambarkan contoh lain dari situasi itu. Cerpen ini mengisahkan seseorang yang mengaku seniman drama, namanya QRS Tanjung. Ia berlagak seperti seniman besar, senang mengomel tentang masyarakat yang buta seni, sekaligus mengkritik siapa saja dengan alasan-alasan sekenanya.
Lagak sebagai seniman itu hanya untuk menutupi diri yang sebenarnya tidak pernah menulis satu naskah sandiwara pun. Namun, ia ingin tampil agar diakui sebagai seniman drama sehingga dihormati, dimintai komentar, ditraktir minum kopi dan merokok. Ia juga sok mengerti banyak hal.
Seniman yang mestinya menjadi pihak yang memiliki tugas historis dan kultural mengingatkan masyarakat tentang kebobrokan sifat manusia ternyata juga berlumpur kebohongan. Misbach Yusa Biran menulis cerita itu tidak sekadar hiburan, tetapi juga sindiran pedas bagi kehidupan kesenian dan kebudayaan kita yang banyak dihuni seniman palsu, seniman gadungan.
Jati diri kebohongan
Apresiasi sastra tentang kebohongan itu dapat kita hubungkan dengan ulasan menarik tentang kebohongan tulisan JA Barnes, A Pack of Lies. Buku yang mengulas seluk-beluk kebohongan manusia ini ternyata penuh masalah-masalah rumit, mulai dari definisi hingga efek.
Intinya, kebohongan itu ada dalam zaman apa pun, tetapi sering berbeda ekspresi dan penafsiran. Barnes mengutip pendapat jurnalis Amerika, Bradlle, 1999, yang mengatakan, ”Bohong sekarang ini sudah mencapai tingkat endemik, dan kita hari ini benar-benar telah kebal terhadapnya.” Barangkali, pernyataan ini dapat kita buktikan di Indonesia, di mana sebagian besar kebal pada kebohongan.
Bohong telah menjadi satu penyakit endemik. Jadi ancaman besar bagi kehidupan. Pada situasi semacam itu, masih pantaskah kita hidup dalam keinginan merengkuh kebenaran, keadilan, kemakmuran, dan perdamaian?
David Malouf, penulis novel Johnno, 1976, mengingatkan, ”Mungkin, akhirnya kebohongan yang kita ucapkan akan mendefinisikan kita. Dan kebohongan akan jauh lebih baik membentuk diri kita dibanding upaya gigih kita mencapai kebenaran.”
Apakah kemudian karenanya kita akan membentuk diri, juga karakter bangsa ini, dari serentetan kebohongan atau ketidakjujuran yang ditradisikan? Jawabannya akan terlihat pada dampaknya. Bukannya kita sibuk mengurus dan membangun negeri ini, tetapi justru sibuk dengan pencitraan yang merupakan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan terdahulu kita. Begitukah juga sastra kita belakangan ini?
Rizka Ramadhani, Bergiat di Forum Nalar Kita; Menetap di Jakarta Selatan
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Februari 2011
No comments:
Post a Comment