PELUH mengucur deras dari dahi Katon Bagaskara sang vokalis. Berbutir-butir keringat jatuh, menetes, meresap hingga ke kemeja ketat warna merah metalik. Malam itu kostumnya kasual, kemeja dipadu rompi warna hitam. Bersama dua rekannya Adi Adrian (keyboard) dan Lilo Romulo (gitar) ia berhasil merenggut kembali hati penggemar yang pernah mereka tinggalkan dalam satu dekade terakhir. "Lagi..lagi..lagi..lagi" pinta para penonton di penghujung konser.
Usia tiga personel KLa Project tak lagi tergolong muda, hampir mencapai separuh baya. Namun, Jumat malam pekan lalu (11-02), sekitar 700 penonton di Center Stage Hotel Novotel Bandar Lampung menjadi saksi bagaimana salah satu grup musik legendaris di belantika musik Indonesia ini mampu membius mereka yang hadir. Entakan vokal Katon, lengking gitar melodis Lilo, dan lentik jemari Adi pada tuts-tuts keyboard membuat aksi panggung mereka terasa begitu cepat berlalu.
Tanpa musisi pembuka, konser bertajuk An excliusive experience with KLa Project Exelentia ini sempat molor setengah jam dari jadwal yang seharusnya mulai pukul 22:30. "Stage dibuka sekitar pukul 21:00 dan konser akan dimulai sekitar pikul 22:30," ujar Hedy Yunus, selaku promotor konser satu hari menjelang konser. Namun itu tak membuat para KLanese, sebutan penggemar KLa Project, surut. Mereka terus berdatangan, dan uniknya didominasi mereka yang tak lagi muda.
KLa Project menjadi kejutan bagi dunia musik di Indonesia lewat single Tentang Kita yang termuat dalam album kompilasi 10 Bintang Nusantara (1988). Setahun kemudian, mereka merilis album perdana berjudul sama dengan namanya. Dari album ini antara lain Rentang Asmara, Anak Dara, serta sebuah balada indah berjudul Waktu Tersisa.
Mereka hadir melawan tren pasar yang masih didominasi musik pop cengeng zamannya Deddy Dorres akhir 80-an. Sementara musik KLa kala itu sangat kental dengan unsur new wave 80-an ala Duran-Duran. Namun KLa sigap beradaptasi lalu melemparkannya ke pasar dan disambut hangat pecinta musik Tanah Air. Pengamat musik acap menjuluki aliran KLa Project sebagai techno pop, atau kontemporer. Seperti mendengarkan perpaduan antara Genessis dengan musik Sting. "Merekalah pemegang tongkat estafet pop 80 ke 90," ujar musisi senior Fariz R.M. di Metro TV pada akhir tahun 2008 dalam sebuah wawancara.
"Apa kabar kalian semua, sudah makan belum? Pindang di sini sungguh nikmat," sapa Katon pada segenap yang hadir. Malam itu KLa mengawali pertunjukan dengan Revolusi Disco, tembang pertama dari albun teranyar mereka Exelentia. Revolusi Disco menganmbil ambience lantai dansa. Tanpa harus bergenit penuh gincu lagu ini terasa kontekstual dengan jati diri musik KLa Project. Bunyi-bunyian yang bernuansa elektronik toh tidak mengganggu deretan lirik yang ditulis Katon Bagaskara.
Adi Adrian adalah arsitek musik KLa yang banyak menyeruakkan detil bunyi dalam pola aransemen yang dimainkan. Adi Adrian juga merupakan pilar utama karakteristik musik KLa Project yang tetap hirau pada benang merah musik KLa Ptoject, meski mencoba untuk meraup pernak pernik bunyi yang imajinatif bagi tendensi lagu-lagu KLa Project. Usai lagu pertama, dengan sedikit jeda, konser dilanjutkan dengan tembang Hilang Separuh Arti, kekuatan syair puitis yang menjadi identitas KLa kembali hadir seperti dalam petikan syair berikut.
"Rumput hatiku yang mengering
Tak tersiram hujan namun coba bertahan
Di situ pernah kau terbaring
Tumbuhkan bunga sejenak lalu tinggalkan"
Majalah Tempo, dalam ulasan musiknya pado medio tahun 2000 menasbihkan mereka sebagai satu di antara segelintir musisi Indonesia yang sangat memperhatikan syair dan penggunaan bahasa. "Pilihan kata KLa Project sangat memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia bagi pendengar musik mereka" kata Tempo. Tengoklah penggunaan kata semburat, nelangsa, saujana, meranggas, kusulut, merajut, bersenda, lelikuan, bijana, ngelangut, terhampar dalam syair syair mereka. Kekuatan lainnya, jika aransemen musik bagi grup lain hanya pengiring lagu, hal itu tidak berlaku bagi KLa Project. Maka lahirlah karya karya ever greend sepanjang karier mereka.
Kembali ke arena konser, panggung dengan tata cahaya yang gemerlap, dan back-ground berupa layar multimedia raksasa adalah eksperimen lain dari konser KLa malam itu. Kesan mewah dan futuristik sangat terasa, tapi tidak lantas membuat pergelaran itu menjadi formal dan kaku. Sebaliknya, Katon tak henti-henti bergoyang, dan diimbangi oleh Lilo yang tak kalah meliuk-liuk bersama gitarnya. Mereka begitu santai, sedangkan Adi tetap anteng di balik pianonya.
Usai Revolusi Disco dan Hilang Separuh Arti berlalu, tibalah tembang hit KLa di tahun 2000 Menjemput Impian. Intro piano panjang sangat dikenal telinga penonton. Mereka pun bertepuk tangan dan sebagian mulai ikut bernyanyi. Itu baru permulaan, suasana belum panas. KLa mulai menghentak dengan tembang Pasir Putih ini bukan tembang cinta. Ini tembang tentang peduli terhadap alam raya yang harus diwariskan hingga anak cucu kita. Entakan drum Hary Goro dan permainan saksofon Arie Kurniawan mengajak penonton menari.
Usai bergulir tujuh lagu. Dalam simfoni Semoga, KLa mulai merengkuh hati seluruh pengunjung. Mereka turut mengiringi suara berat Katon. Suara Katon masih bening dan prima seperti dulu kala, begitu pun dengan Lilo yang serak dan nge-rock. Lilo mengisi sesi ketiga dengan kejutan kecil. Dia membawakan lagu Romansa yang diaransemen ulang dalam harmonisasi yang lebih garang. Tibalah pada lagu yang ditunggu-tunggu, apalagi kalau bukan Tak Bisa ke Lain Hati.
Setelah dua lagu itu, Katon muncul lagi, kali ini tampil kasual dalam balutan kaus hitam membawakan Terpuruk Ku di Sini dan Lagu Baru. Kemudian lampu-lampu padam. Sayup-sayup ketukan dram seperti derap kaki kuda mulai menggema. Ini ciri khas karya monumental KLa Project Jogjakarta yang lahir pada album kedua. "Pulang kekotamu. Ada setangkup haru. Dalam rindu," dendang Katon. Dan pada bagian ref, hampir seluruh penonton ikut bernyanyi, melambai-lambaikan tangan ke atas dalam gerak perlahan. Ketika sebuah lagu dinyanyikan ratusan orang secara bersamaan pertanda telah berpadunya musisi dan penonton. Maka bergetarlah hati siapa pun yang mendengarnya malam itu.
Semua lagu dinyanyikan dengan cara baru, kecuali Jogjakarta yang tetap dipertahankan dalam citarasa klasiknya yang agung. Lalu, lagu penutup. Apa yang belum dinyanyikan? Betul, semua sudah bisa menebak, Tentang Kita yang merupakan tonggak sejarah munculnya KLa Project di peta musik Indonesia. Apa, lagu penutup? Tak ada yang rela konser itu diakhiri begitu saja tanpa sesi we want more. Dan, hanya dalam hitungan detik setelah tiga personel asli KLa Project plus drumer dan pemain bas tamu pamit dan panggung gelap, tapi Lilo pun muncul lagi.
Penonton bersorak. Lilo menantang. "Lagu apa yang belum?" Penonton jadi bingung sendiri. Seorang penonton berdiri di atas kursi seraya berseru Meski Tlah Jauh, Meski Tlah Jauh teriaknya ke atas panggung. "Kayaknya enak nih, satu lagu lagi buat kalian," sambut Lilo dan disambung kembali dengan Belahan Jiwa oleh Katon yang kembali ke atas panggung. Maka lengkap sudah. Tak usah dimungkiri jika ini memang konser nostalgia. Apa salahnya? Sebab, KLa Project memang istimewa. Dengan segala eksperimen musikalisasi puitisnya mereka telah memberi nilai lebih pada konser Exellentia malam itu.
Abdul Gafur, wartawan Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Februari 2011
No comments:
Post a Comment