-- Wildan Nugroho
SEBUTLAH,dalam hidup manusia selalu bergerak, bertindak. Bahkan dalam hal ini diam pun adalah sebuah tindakan, tindakan berdiam diri.Namun tidak semua tindakan bersisa atau mengesankan.
Dalam perspektif tertentu,sebuah sikap,tindakan,atau perilaku menjadi bermakna atau bernilai ketika dibicarakan, diartikulasikan, diwacanakan. Dua orang yang bertemu secara sepintas tanpa berkomunikasi, mengobrol, kemudian mereka segera berpisah, tidak sertamerta dapat saling memaknai dengan baik. Di situ tidak ada pengartikulasian dan pewacanaan yang intens, tidak ada upaya peleburan dua khazanah maknawi masingmasing pihak. Lewat penalaran tersebut, lebih jauh kita pun melihat bahwa tindakan dari masa lalu dapat bermakna ketika ia diwacanakan.Artinya, tindakan itu ditekskan,dituliskan, dan dibekukan menjadi teks.
Sebuah tindakan, peristiwa, pengalaman,akan bermakna lebih panjang ketika ditransformasikan ke dalam bentuk teks,didokumentasikan secara tertulis. Ini, misalnya, menjadi sebuah autobiografi, biografi, catatan perjalanan, dan sebagainya. Saat sebuah teks dibaca, ketika itulah terjadi pengartikulasian, pewacanaan, perjumpaan, serta peleburan antara khazanah maknawi teks dan khazanah maknawi pembacanya. Sebuah perjumpaan yang melampaui ruang dan waktu. Sebuah perjumpaan yang, sebutlah,memungkinkan makna baru. Teks, karena itu, salah satunya seperti yang diisyaratkan Paul Ricoeur, yakni memiliki posisi penting dalam paradigma tindakan.Ia menjadi sampel pemberian makna pada tindakan.
Teks sendiri dimungkinkan kemunculannya oleh interaksi, tafsir, dan transformasi makna.Artinya, teks tidak ada dengan tiba-tiba atau tanpa disiplin logika teruji.Pada tingkat personal maupun yang lebih luas, teks pun menjadi penting bagi manusia dalam upayanya memahami realitas diri, lingkungan, kebudayaan, kehidupan, dan seterusnya. Dalam pandangan tersebut, seorang individu yang memiliki dokumentasi tertulis,catatan harian, misalnya, dianggap memiliki kemungkinan lebih baik untuk terusmenerus merumuskan dirinya. Teks, dalam hal ini menjadi representasi ìkeakuanî. Ini dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sangat mungkin selalu menjadi, mengalami pelbagai perubahan, dan perkembangan.
Karena itu, tatkala seseorang membaca teks yang diproduksinya pada masa lalu, ia sedang melakukan ziarah terhadap dirinya sendiri.Ziarah itu bisa jadi menghasilkan makna baru, bahkan tak terduga. Ini pada tataran personal. Pada tataran kebudayaan, hal serupa pun berlaku.Kebudayaan Barat memiliki dokumentasi teks tertulis yang kaya. Keberadaan teks-teks yang bersifat dokumentatif, argumentatif,eksploratif,serta diskursif ini memungkinkan terus dikajinya peristiwa, tindakan, pun pelbagai teori yang telah dianggap mapan. Dengan demikian, ranah keilmuan dalam tradisi Barat dewasa ini menjadi ranah yang sangat dinamis.
Hal ini menyedot perhatian: sesuatu yang mungkin pada taraf tertentu memunculkan ìhegemoniî. Kebudayaan Timur tentu tidak kalah kaya akan makna, nilai, falsafah, kebijaksanaan—bah kan, bisa jadi lebih kaya.Namun,dalam falsafah, contohnya, nilai-nilai yang kaya dan mendalam itu,di negeri kita misalnya, bisa jadi masih banyak terkubur dalam berbagai artefak bukan teks seperti tembang- tembang, mitologi, taritarian, dan lainnya. Dalam bidang sains,kita masih merasa gagap merumuskan, misalnya, teknologi yang dipakai para leluhur saat membangun candi-candi megah di Nusantara. Pun, segala macam kearifan dan pengetahuan lokal seolah lebih banyak berhenti menjadi eksotisme.
Hal yang lantas lebih terlihat sebagai pajangan di etalase toko. Demikianlah teks terlihat sangat ampuh sebagai kendaraan manusia dalam memaknai dan memahami realitas.Namun, pandangan ini bukan berarti sesuatu yang final, yang berlaku universal secara mutlak. Rasionalisme atau akal budi, pandangan yang cenderung menempatkan teks sebagai sesuatu yang demikian sentral itu, ternyata tidak pernah secara sempurna menangkap ìkenyataanî.Sebab, bagaimana pun teks adalah sebuah narasi,sebuah konstruksi. Di dalam narasi selalu ada konfigurasi, rekayasa, dan pembatasan. Dengan demikian,realitas akan selalu tereduksi, terluput sebagian, bagaimana pun canggihnya akal-akalan teoretis abstrak tentang konsep-konsep universal.
Menurut Bambang Sugiharto,akal budi tidak pernah memadai di depan ìkenyataan murniî. Namun,prinsip tentang akal budi yang tidak pernah memadai itu sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa rasionalitas harus disingkirkan.Persoalannya hanyalah bahwa diperlukan kewaspadaan terhadap pengagungan rasionalitas yang berlebihan. Hal ini terutama pada kecenderungan kuat yang sering tidak disadari untuk menyamakan rasionalitas dengan keilmiahan. Dengan demikian, menimbulkan pendapat bahwa seakan yang rasional adalah yang ilmiah saja.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, terlihat jelas juga bahwa memaksakan sikap ilmiah terus-menerus terhadap segala hal justru lebih merupakan takhayul (takhayul ilmiah) daripada sikap sederhana yang menerima kenyataan berdasarkan keterbatasan basis pengetahuan kita. Akhirnya, kita membaca ketegangan terus-menerus di mana pun.Hal yang sering terpinggirkan oleh teks adalah ambiguitas dunia riil, dunia pengalaman nyata, dunia yang diam-diam selalu lebih kaya. Sebaliknya,yang kerap tersisihkan dari kebanyakan manusia di banyak bidang adalah tindakan menulis, mentransformasi tindakan- tindakan, dan pengalamanpengalaman yang dianggap berharga ke dalam teks.
Dengan demikian, transformasi itu dapat dimaknai, dikaji, dan dikembangkan, baik secara personal maupun oleh publik secara luas, hingga oleh generasi berikutnya.(*)
Wildan Nugroho, Bergiat di Komunitas Titikluang dan Forum Lingkar Pena Bandung
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 6 Februari 2011
No comments:
Post a Comment