-- Agus Safari*
SEPERTI kebiasaan beberapa waktu lalu, Mas Arifin setiap pagi selalu mengajak saya jalan-jalan ke pasar tradisional di Blok A Kebayoran Baru.
Kami menyelusuri lorong pasar menuju arah pasar Blok A, di area belakang adalah los jualan makanan. Mpok Karti tujuan terakhir kami. Kemudian Mas Arifin dan saya pesan pecel urab pakai lontong.
"Saya tiba-tiba saja rindu dengan orang-orang," tiba-tiba Mas Arifin bicara, sambil menaikkan bingkai kacamata dengan tangan kirinya. "Kenapa kamu saya ajak kemari?"
"Transfer kehidupan."
"Kuno," jawabnya dengan suara berat dan serak.
"Jadi?"
"Kreativitasnya."
"Memang ada apa dengan kreativitas, Mas?"
"Ah, Ente kok jadi bodoh kaya gini." Saya tersenyum sambil cepat mengambil gelas berisi teh tawar mengalihkan kerikuhan sendiri. Maka kami pun riuhlah dengan obrolan santai, ngalor-ngidul perihal kreativitas, sambil melihat Mpok Karti melayani para pembeli dengan kesibukan orang-orang di lorong pasar ini.
"Coba kamu lihat para penjual di pasar tradisional ini, mereka masih memiliki nilai-nilai keluarga yang menjadi kekuatan masyarakat dalam menyangga kesejahteraannya. Tapi coba lihat dan bandingkan dengan di luar pasar tradisional, apa yang terjadi? Nilai-nilai keluarga yang pernah menjadi kekuatan masyarakat itu telah hilang communality-nya, seperti tata krama, sopan santun, rasa kekeluargaan dan lain sebagainya. Nah, dengan sirnanya yang tanpa disadari itu sekaligus telah melemahkan kita pada saat krisis berkepanjangan ini. Jadi, kita tak perlu heran bila kini muncul banyak para penjarah intelek dan perampok intelek, mengikis budi halus menjadi kasar. Kita betul-betul keder menghadapi krisis ini. Kekacauan politik, kekacauan pikiran, ketidakberdayaan ekonomi, kelumpuhan hukum, dan adat."
"Lantas, apa hubungannya dengan kreativitas, Mas?"
"Ah, kamu ini, sudah menjadi orang tidak sabaran ya. Begini, pada saat kondisi seperti ini, kita telah kehilangan sentuhan kreativitas. Artinya, untuk kembali kepada kreativitas perlu kita menginventarisasi aset-aset yang ada, misalnya kita masih memiliki warisan budaya, tanah, dan air, kemudian nilai-nilai tradisi. Artinya, kreativitas itu akan menyulut bagaimana kita mengolah kemampuan dalam keterpurukan saat ini. Nah, identifikasi ini merupakan tantangan kita dalam ketidakberdayaan lahir batin ini, dan tentu saja kita harus menyiapkan jawaban-jawaban atau daya ungkapnya dalam bentuk kreativitas setiap profesi."
"Contohnya apa, Mas?"
"Misalnya seni pertunjukan. Ketika ekonomi konglomerat morat-marit, sistem ini hancur, lantas apa seni pertunjukan harus ikut hancur? Tentu tidak, bukan? Untuk itu, pihak swasta sebagai sponsor dan para seniman sebagai penggerak seni pertunjukan harus berada dalam satu kesatuan kerja simbiosis. Yang satu menyalurkan dana untuk kepentingan promosi produk, sementara seniman dengan kreativitasnya."
"Baiklah, salah satu bagian dari seni pertunjukan adalah seni teater. Kalau kita melihat ke belakang, ya, dasawarsa '70-an, ingar-bingar teater telah meramaikan perteateran di kota-kota besar Indonesia, di antaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang dengan semaraknya kegiatan pementasan-pementasan. Namun yang seru adalah pada dasawarsa 1980-1990, muncul geliat teater kampus di luar kelompok teater yang ada di lingkungan ASTI (sekarang STSI) Bandung, yaitu Teater Stema ITB dan Teater Khusus IKIP (sekarang UPI) Bandung."
"Mereka semua melakukan kegiatan kreatif hingga meramaikan seni teater kampus saat itu dalam pementasan-pementasan yang beragam. Kemudian diikuti oleh teater-teater kampus lainnya, seperti Teater Psikologi Unpad, Unit Teater IKIP Bandung, GSSTF (Gelanggang Seni, Sastra, Teater, dan Film) Unpad, Teater Awal IAIN Bandung, Teater Lissma Unpas, Teater Stuba Unisba, Teater AKPI, Teater Khas ATPU, Teater Sinematografi Bandung, Teater Keung Aktripa (sekarang STIEPAR), Teater Sastra Sunda Unpad, Teater Faperta Unpad, Kelompok Teater Puncta Fakultas Filsafat Unpar, Teater Lima Wajah Universitas Kebangsaan. Bagaimana pandangan Mas Arifin tentang teater kampus saat ini?"
"Kalau kembali ke masa lalu memang sangat mengasyikkan. Namun yang lebih seru lagi adalah, apa sih yang dilakukan para penggiat teater kampus saat ini? Jawabannya, apa sih yang dilakukan para pendekar teater nonkampus saat ini? Dulu, teater kampus turut dalam ingar-bingar perteateran karena pada dasawarsa '70-an itu para pendekar teater ramai-ramai berbuat 'sesuatu' dengan seni teaternya, hingga dekade ini merupakan booming-nya seni teater, dan hal ini tentu saja punya daya andil dan imbas pada semaraknya teater kampus saat itu. Yang kedua adalah daya yang ditularkan para pendekar tersebut telah memberi inspirasi bagi keterkungkungan politik Orde Baru saat itu, hingga karya seni menjadi suatu permainan yang seru sebagai daya ungkap. Artinya, masih adakah saat ini para pendekar teater yang memberi 'sesuatu' dan sekaligus sebagai sparring partner bagi teater kampus? Saya pikir begitu."
"Artinya, para pendekar teater dan penggiat teater kampus sekarang ini telah kehilangan daya ungkapnya, begitu?
"Hehehe. Saya tidak bilang begitu lho. Begini, teater kampus merupakan kekuatan lain dalam meramaikan pertunjukan seni teater, yang tentu saja tidak bisa kita samakan dengan teater yang ada di lingkungan sekolah seni. Kenapa? Karena tuntutannya juga sudah berbeda."
"Soalnya begini Mas, teater kampus saat ini sudah kehilangan rohnya. Mereka telah kehabisan tenaga dan lelah oleh rutinitas, hingga tidak ada lagi energi untuk berkreasi."
"Siapa bilang mereka telah kehabisan energi? Buktinya mereka masih mementaskan pergelaran teater di kampusnya. Artinya, saat ini mereka hanya baru bisa tampil di kampusnya saja. Saya pikir ini sebuah energi. Ya, secara perlahan nanti harus bisa dan berani tampil di luar kampus seperti yang lalu-lalu."
"Ya, tapi kalau kita tadi bicara soal kekuatan teater lain, saya pikir teater kampus saat ini sudah kehilangan sebagai kekuatan teater dalam perteateran di Bandung, meski mereka masih aktif berkesenian teater di wilayah internal kampus, tetapi tetap saja tidak menjadi bagian dari ingar-bingar sebuah peristiwa teater, karena kurang berani ekspose ke luar. Jadi, meski pertunjukan itu di wilayah kampus namun hal-hal yang menyangkut, misalnya, upaya publikasi tetap saja harus maksimal, sehingga hal ini secara bertahap akan meramaikan kembali suasana dan peristiwa teater. Yang kedua dan tak kalah pentingnya adalah daya kreatifnya yang telah kehilangan energi."
"Ya, memang giat dalam teater di kampus sama seperti giat dalam olah raga, atau giat dalam bidang lainnya. Dan yang harus diingat adalah bahwa tidak berarti seseorang itu yang aktif di teater kelak harus menjadi teaterawan, sutradara, aktor, dan dan lain-lain. Mungkin saja ada di antara mahasiswa yang aktif ingin betul-betul menjadi aktor atau sutradara kelak. Namun, secara umum kegiatan teater tidak selalu berhubungan dengan pembinaan calon-calon seniman, kegiatan teater adalah kegiatan kreatif. Dan apa yang disebut peristiwa teater? Adalah seluruh orang-orang yang terlibat dan banyak sekali dituntut kreativitasnya. Ini yang tadi kamu bilang dengan manajemen seni."
"Artinya, seluruh pendukung pementasan teater dituntut daya kreativitasnya dalam mengoordinasikan media ungkap mereka. Akan tetapi, tidak hanya para pendukung. Para penonton pun diam-diam dituntut daya kreativitasnya ketika mereka menyaksikan pementasan di atas panggung. Jadi, dengan sikap dan daya kreatif yang tinggi para penggiat teater di kampus akan mampu mengadakan pementasan di mana saja. Dengan demikian, mereka pasti secara kreatif akan mampu menghadirkan suatu pergelaran yang hebat. Sebagai pendekar teater dari kampus yang kreatif mereka akan mampu menyulap sesuatu untuk sebuah pementasan teater yang penuh daya pesona dan keajaiban."
"Lantas kenapa teater kampus sekarang tak terdengar sikap dan kiprahnya?"
"Saya pikir kemungkinannya banyak, salah satunya di awal tadi sudah dikatakan dan kemungkinan lain adalah bahwa ingar-bingar teater saat ini sudah tergeser oleh media televisi yang sifatnya konsumtif dan artifisial."
"Jadi?"
"Ya, kembali pada bumi yang kita pijak. Banyak warisan dan nilai budaya yang tak dilirik lagi, padahal itu merupakan kekuatan yang tak akan habis-habisnya dalam menggali potensi seni. Intinya adalah kembali pada kreativitas. Namun sikap dan daya kreatif akan lebih dahsyat bila kita melakoni dengan ketulusan dan keberanian mengungkapkannya sehingga persoalan teater menjadi lunak dan jinak. Artinya penggiatnya atau kreatornya ada atau tidak? Berani ndak? Ngoyo ndak? Bukankah manusia lebih dahsyat daripada persoalan-persoalan itu? Hanya mental budak yang selalu mati kutu di depan persoalan!"
Obrolan kemudian terhenti, karena Mpok Karti datang membawa makanan, lantas kami pun melahap pecel urab di pasar tradisional ini. Tampaknya pembicaraan tentang teater kampus itu bagi saya belum selesai, tapi nantilah lain waktu saya coba singgung lagi, kali ini hanya satu yang kami lakukan, yaitu menyantap pecel urab mpok Karti sampai ludes. Namun, dalam hati saya masih bertanya-tanya, "Eh, apa kabar teater kampus? Lagi ngapain kalian?"
* Agus Safari, penggiat seni tinggal di Bandung
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 November 2007
No comments:
Post a Comment