Tuesday, November 20, 2007

Horison: Patriotisme dalam Sastra

HARI Pahlawan (10 November) telah lewat. Tapi, masalah kepahlawanan tak pernah basi untuk diperbincangkan. Sebab, pahlawan selalu lahir tiap zaman, pada tiap bidang pengabdian, sejak bidang politik sampai kesastraan.

Dan, Jumat (9 November 2007) lalu, makna kepahlwanan kembali diperbincangan dalam sebuah pergelelaran interaktif bertajuk Patriotisme dalam Sastra Indonesia. Digelar di auditorium RRI Pusat pada pukul 20-22.00 WIB, acara baca puisi dan dialog interaktif itu disiarkan langsung ke seluruh Tanah Air.

Pergelaran yang diprakarsai oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI, bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), dan didukung oleh Depsos RI, tersebut berlangsung cukup seru dan meriah. Dimoderatori oleh Dirut RRI Parni Hadi, lima orang menteri dan beberapa sastrawan terkemuka dihadirkan untuk berdialog langsung dengan para pendengar RRI.

Mereka adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Faridah Hatta, Mendiknas Bambang Sudibyo, Mensos Bachtiar Chamsyah, Menkoinfo Muhammad Nuh, dan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edi. Tampil juga Dirjen Pemberdayaan Sosial Gunawan Sumodiningrat, yang mewakili Mensos sebelum sang menteri hadir.

Selain berdialog, para menteri juga membacakan sajak-sajak bertema kepahlawanan dan cinta tanah air. ''Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan tulus, dan tidak mengutamakan kepentingkan materiil. Mereka selalu mengutamakan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan bangsanya,'' kata Meutia Hatta.

Dalam pandangan Bambang Sudibyo, pahlawan selalu muncul dari situasi yang penuh tantangan. ''Pahlawan adalah sosok yang pantang menyerah dalam membela kebenaran di tengah situasi yang penuh tantangan. Apapun akan ia lakukan untuk membela kepentingan nasional,'' katanya.

Lukman Edi dan Gunawan Sumodiningrat sependapat, pahlawan adalah sosok yang tidak pernah mementingkan diri sendiri dalam berjuang membala kebenaran dan kepentingan masyarakat. Lukman melihat, banyak karya sastra Indonesia yang dapat menjadi rujukan dalam menghayati makna kepahlawanan.

Sejak dulu, menurut Lukman, banyak sastrawan Indonesia yang mengangkat tema-tema kepahlawanan baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Karya-karya tersebut dapat menghidupkan semangat nasionalisme kita, termasuk dalam mendorong masyarakat ke arah kemajuan. ''Dibutuhkan karya-karya sastra baru yang terus mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik,'' katanya.

Usai berdialog dengan beberapa pendengar, para menteri membacakan sajak. Muhammad Nuh dan Bambang Sudibyo membaca sajak karya Saini KM, Lukman Edi membaca sajak karya Toto Sudarto Bachtiar, dan Meutia Hatta serta Gunawan membaca sajak karya Ahmadun YH. Waktu kemudian diberikan kepada para sastrawan untuk menjelaskan makna kepahlawanan dalam sastra.

Menurut Sutardji Calzoum Bachri, sosok pahlawan dalam karya sastra biasanya digambarkan sebagai sosok yang luar biasa. ''Penggambaran luar biasa itu tidak apa-apa, sejauh tidak melahirkan kultus individu dan menyesatkan pembacanya,'' katanya.

Bagi Sutardji, siapa pun berhak dikatakan sebagai pahlawan, asalkan bisa menunjukkan keterlibatan dalam suka duka kehidupan bangsanya. ''Jangan ketika bangsa ini terpuruk orang itu kabur ke luar negeri dan ketika keadaan sudah makmur baru datang lagi,'' ujar penyair yang menyambung penampilannya dengan membaca sajak Tanah Air Mata itu.

Makna kepahlawanan dalam sastra, tambah Ahmadun, kini mengalami perluasan sesuai perkembangan zaman. ''Generasi muda sastra Indonesia tidak lagi menggambarkan pahlawannya dengan sosok yang mengangkat senjata dan berperang. Melainkan, bagaimana menata dunia paska kolonialisme,'' katanya.

Menurut Ahmadun, sastrawan yang dengan ikhlas menuliskan karya sastra untuk kemajuan kebudayaan bangsanya, layak disebut sebagai pahlawan. ''Sastrawan yang rajin mengangkat nilai-nilai budaya daerahnya, yang gigih membela nilai-nilai luhur bangsa, dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu untuk membangun masyarakat, juga layak disebut sebagai pahlawan,'' katanya.

Dialog interaktif kemudian dilanjutkan pertunjukan baca puisi. Tampil antara lain, Direktur Program dan Produksi RRI Rosarita Niken Widiastuti, Taufiq Ismail, Sujiwo Tejo, Fatin Hamama, Diah Hadaning, Mustafa Ismail, Chavchay Saefullah, dan Kabul Budiono.

Pada sesi kedua itu pula tampil Mensos Bachtiar Chamsyah yang membacakan puisi Lima Prajurit Muda di Taman Bunga karya Slamet Sukirnanto. Acara menjadi segar dengan selingan penampilan soprano Aning Katamsi dan Christopher Abimanyu dengan iringan band RRI. n reiny dwinanda

Gelar Sastra Bulanan RRI

Sebulan sekali, mulai bulan ini, para pendengar setia RRI bakal dapat menikmati acara Gelar Sastra Indonesia dengan menu berganti-ganti secara variatif.

Menurut Rosarita Niken Widiastuti, pergelaran Patriotisme dalam Sastra Indonesia, pekan lalu, mengawali tradisi bulanan tersebut. ''Untuk bulan-bulan selanjutnya akan digelar pertunjukan baca puisi, musikalisasi puisi, dialog sastra, dan berbagai acara sastra lainnya,'' katanya.

Ketua Yayasan KSI, Wowok Hesti Prabowo, menyambut baik tekad RRI untuk menggelar acara sastra bulanan yang akan merangkul barbagai kalangan sastrawan tersebut. ''Acara itu dapat menjadi oase dan ruang alternatif pemasyarakatan sastra,'' katanya.

KSI, tambahnya, siap membantu RRI untuk menyiapkan acara tersebut secara menarik, profesional dan berkualitas. Termasuk, mengerahkan publik untuk menonton dan mendengarkannya.

Sumber: Republika, Minggu, 18 Nopember 2007

No comments: