-- Maria Hartiningsih & Ninuk M Pambudy
BACA dan pahami sejarah. Itu pesan Claudine Salmon (69), peneliti terkemuka kajian kesusastraan Melayu-Tionghoa. Melalui karya-karyanya, ia menolak warisan kolonial yang secara sepihak mendefinisikan "orang asing" dan "orang pribumi" menempelkan stigma terhadap orang Tionghoa dan melanggengkan diskriminasi.
Kalau dilihat dari luar, yang disebut sebagai orang Tionghoa di sini artinya orang Indonesia-Tionghoa, sebab mereka adalah warga negara Indonesia," ujar Claudine. "Orang Tiongkok tidak menganggap orang Tionghoa-Indonesia bagian dari mereka."
Di Indonesia, lanjut Claudine, kalau ada istilah suku-suku, orang Tionghoa dianggap sebagai suku asing. Tetapi, siapa yang "asing", siapa yang "pribumi", sebenarnya tidak terpisah seperti minyak dengan air….
Claudine Salmon adalah peneliti asal Perancis yang mendedikasikan hampir seluruh kariernya untuk meneliti kebudayaan Tionghoa dan juga kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Ia berbahasa Indonesia dengan baik dan sampai saat ini masih terus melakukan perjalanan keliling Indonesia.
Sembilan tahun terakhir perjalanan itu ia lakukan sendiri, setelah suaminya, Denys Lombard, peneliti penting sejarah kebudayaan Indonesia, berpulang tahun 1998. Duo peneliti itu menghasilkan beragam karya ilmiah bersama yang sangat bernilai, misalnya tentang klenteng-klenteng di Jakarta, sastra Melayu-Tionghoa, maupun hubungan Islam-Tionghoa yang banyak diwarnai kontroversi.
Claudine Salmon dengan sabar, tekun, dan berani menunjukkan bukti-bukti otentik yang memperlihatkan keikutsertaan aktif dan integrasi orang Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia.
Sumbangsih terbesar Claudine Salmon pada nation-building Indonesia adalah dalam bidang sastra dan bahasa Melayu-Tionghoa. Ia mampu membuktikan secara ilmiah melalui 300-an karyanya bahwa kesusastraan "Melayu-Cina" sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kesusastraan Indonesia.
Dalam bukunya, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisional Annotated Bibliography (1981), ia berhasil mengumpulkan 806 penulis dengan 3.005 karya. Karya-karya itulah yang menghidupkan kesadaran bahwa golongan Tionghoa bukan sekadar economic animal seperti yang dicitrakan selama ini dengan membatasi gerak orang Tionghoa di bidang-bidang di luar ekonomi.
Itulah antara lain pertimbangan lima dewan juri yang dipimpin Dr Syafi’i Maarif untuk memberikan Nabil Award I kepada Claudine Salmon. Penghargaan Nabil diberikan kepada mereka yang dinilai berjasa dalam proses nation-building Indonesia.
"Sebenarnya sejumlah besar orang lain juga harus diberi penghargaan karena tanpa mereka saya tak bisa menulis semua itu," begitu komentar Claudine.
Claudine ditemui suatu siang, Senin 22 Oktober, tiga hari sebelum acara resmi penerimaan penghargaan itu.
Menepiskan prasangka
Ketika tiba di Indonesia bulan Desember 1966, situasi di Indonesia masih sangat panas. Di berbagai daerah masih terjadi berbagai peristiwa kekejian pasca-G-30S. Pada masa itu masyarakat Tionghoa-Indonesia mengalami berbagai pembatasan.
Mereka diimbau untuk mengganti nama dan akses pada apa pun yang memuat karakter huruf China ditutup. Klenteng-klenteng harus membatasi kegiatan mereka dalam halaman gedung. Bersama Denys, Claudine mulai mengumpulkan berbagai data mengenai orang Tionghoa di Indonesia.
"Biasanya pengurus klenteng suka bantu memberi tahu tentang riwayat klenteng, juga tentang dirinya," ujar Claudine yang mengatakan tak mendapat kesulitan pergi ke klenteng-klenteng di Jakarta saat itu.
Meski menolak berkomentar ketika pembicaraan memasuki wilayah politik, bukan berarti ia tidak tahu apa yang terjadi. Dalam perjalanan ke China, ia bertemu warga Tionghoa-Indonesia yang terpaksa kembali ke "tempat asal" yang tidak mereka kenal.
"Beberapa di antara mereka perempuan Jawa yang menikah dengan orang keturunan Tionghoa. Mereka tak paham bahasa Tiongkok, hidup di kampung dan bicara dengan bahasa Jawa dan Indonesia."
Mereka ditempatkan di daerah selatan yang dianggap "lebih rendah" kelasnya dibandingkan dengan daerah utara dan bekerja di tanah-tanah pertanian milik negara, padahal dulunya saudagar di desa kecil. "Mereka menjadi miskin tiba-tiba dan melakukan pekerjaan yang belum pernah dilakukan," ia melanjutkan.
Sebagai pakar kebudayaan China, Claudine tahu bahwa kebudayaan mereka yang disebut "tionghoa" di Indonesia berbeda jauh dengan kebudayaan Tiongkok. "Prasangka muncul karena ketidaktahuan orang terhadap sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia yang begitu panjang."
Dalam berbagai tulisannya, Claudine memperlihatkan, orang Tionghoa telah berada di Indonesia sejak zaman Sriwijaya dan memainkan peran penting dalam perkembangan ekonomi dan politik.
Meski menolak bicara soal hubungan Islam dan Tionghoa, dalam tulisannya bersama Denys Lombard (1994), dipaparkan berbagai catatan sejarah mengenai hubungan harmonis antara Tionghoa-Islam pada masa lalu. Beberapa Tionghoa Muslim berhasil melebur dalam dunia aristokrasi lokal. Namun, oleh beberapa faktor, termasuk politik devide et impera, hubungan itu memburuk.
"Saya kira sejumlah orang Indonesia yang menganggap diri sebagai orang ’pribumi’ adalah keturunan Tionghoa," kata Claudine, "Saya menganggap diri orang Perancis, tetapi nenek moyang saya mungkin datang dari Jerman."
Karena sejarah panjang orang Tionghoa di Indonesia tak banyak diketahui, banyak pula hal yang tidak diketahui. Dalam berbagai karyanya ia memperlihatkan, pers Melayu-Tionghoa dan para penulis peranakan Tionghoa berperan besar dalam penyebarluasan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak tahun 1890-an.
Ia tidak menyebut secara pasti kapan orang Tionghoa memasuki dunia pers. Tetapi, di Makassar, mereka bekerja bersama dengan orang Makassar dan Manado menerbitkan surat kabar.
"Di Surakarta ada surat kabar yang punya dua bagian, satu dalam bahasa Jawa dan satu dalam bahasa Melayu. Surat kabar itu diprakarsai seorang Tionghoa, lalu diteruskan oleh orang Jawa," ia menambahkan.
Silang budaya
Prasangka terhadap mereka yang dianggap "pendatang" sebenarnya terjadi di mana-mana, termasuk di Eropa. Perasaan sebagai "pribumi" kerap kali dipilin dengan nasionalisme sempit, membuat orang tak mau mengakui sumbangan dari berbagai kebudayaan yang membentuk suatu bangsa, bahkan Eropa, seperti sekarang.
"Di Paris baru diresmikan museum bagi orang asing yang datang ke Perancis dan menjadi warga negara Perancis," ujar Claudine.
Museum itu banyak ditentang, baik dari golongan kiri maupun kanan karena mempertegas prasangka. "Lebih baik semua dilihat sebagai warga negara dengan hak-hak dan kedudukan yang setara. Dari nama pun ketahuan, mereka bukan ’pribumi’, tetapi sudah berabad-abad ada di Perancis."
"Di sini juga sama. Integrasi terjadi dari abad ke abad," lanjutnya, "Orang yang membuat kebijakan asimilasi tak tahu sejarah ini. Hanya melihat ini dari sudut politik."
Ia mengingatkan, orang Tionghoa di Indonesia berasal dari kelompok yang beragam. Integrasi terjadi dengan etnis terdekat dalam kehidupan sehari-hari, membentuk kebudayaan yang kaya, tetapi berbeda-beda di kalangan sesama Tionghoa di Indonesia. Kenyataan yang rumit ini semakin memperjelas bahwa identitas yang ditunggalkan sungguh mencabik-cabik kemanusiaan manusia.
"Integrasi adalah satu proses yang alamiah, tak bisa dipaksa dan sebenarnya sudah berjalan," tegas Claudine.
Dalam berbagai tulisannya, Claudine Salmon menunjukkan apa yang disebut sebagai Sino-Indonesian cross culture fertilization atau Pemupukan Silang Budaya Tionghoa-Indonesia. Konsep ini, seperti dipaparkan Didi Kwartanada, Asvi Warman Adam, dan Myra Sidharta, berbeda dari istilah akulturasi maupun inkulturasi yang mencerminkan hubungan sepihak.
Cross culture fertilization mengacu pada pertemuan dua budaya yang berlainan. Setiap pihak melakukan pemupukan silang budaya ke dalam budaya masing-masing dan dengan sadar memperkaya bentuk-bentuk budaya yang sudah ada.
Claudine dan Denys menganut mazhab Annales, yang menolak dominasi unsur-unsur politik dan diplomatik dalam ilmu sejarah pada akhir tahun 1920-an. Penganut Annales tak hanya percaya pada "sejarah peristiwa-peristiwa" semata, tetapi juga mendorong munculnya kajian holistik atas masa lalu dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu, seperti geografi, lingusitik dan antropologi.
Mungkin karena itu pula, tak mudah baginya meneliti peran ekonomi orang Tionghoa di Indonesia karena sulitnya data mengenai perkembangan modal dalam jangka panjang.
"Setelah kemerdekaan banyak perusahaan dan pemilik ganti nama. Banyak keluarga yang dulu agak kaya pergi ke luar negeri," ia menegaskan, "Konglomerat sekarang tak ada kaitannya dengan yang dulu."
Lalu, bagaimana mengatasi prasangka?
Claudine menegaskan pentingnya pendidikan. "Kalau bicara soal Tionghoa, artinya juga harus bicara soal Jawa, Batak, dan berbagai suku yang membangun Indonesia. Mereka punya andil membangun yang disebut ’kebudayaan Indonesia’."
Sumber: Kompas, Minggu, 04 November 2007
No comments:
Post a Comment