Saturday, November 03, 2007

Kongres Cerpen: Lahirlah Komunitas Cerpen Indonesia

SEMENTARA publik sastra Indonesia akhir-akhir ini riuh rendah oleh berbagai silang-sengkarut dan percekcokan atas nama "politik sastra" dan "moral" di milis, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Banyak dugaan bahwa kongres ini akan menjadi arena selanjutnya dari percekcokan yang segera muncul di antara para sastrawan yang hadir, dan yang kemudian akan muncul di milis. Terlebih dengan hadirnya Saut Situmorang dengan makalah yang menyoal apa yang disebutnya dengan ”politik sastra”, di mana di situ ia menyebut juga sejumlah isu lama ihwal "politik sastra" yang dijalankan oleh Komunitas Utan Kayu (KUK).

Namun ternyata tidak. Kecuali dalam berbagai gurauan atau diskusi informal, isu yang diembuskan Saut dalam forum kongres kurang mendapat respons. Paling tidak, tanggapan terhadap makalahnya tidak seramai tanggapan dan pertanyaan pada Trianto Triwikromo yang juga tampil sebagai pembicara.

Mungkin saja sebagian merasa lebih penasaran pada makhluk bernama naratologi yang dibawa oleh Trianto. Terlebih bagi para cerpenis yang datang dari berbagai daerah di Indonesia dan tidak mengikuti percekcokan itu di milis sehingga mereka tidak tahu makhluk yang bernama KUK.

Tapi apa pun, di tengah percekcokan dengan segala isu dan "rempah-rempah"-nya inilah KCI V melahirkan sebuah institusi bernama Komunitas Cerpen Indonesia (KCI). Keperluan membentuk perhimpunan ini, selain merupakan amanat rekomendasi KCI IV di Pekanbaru Riau tahun 2005, juga mengandaikan bahwa KCI bisa memperkuat posisi cerpen dalam perbincangan kritik sastra Indonesia yang selama ini dianggap lebih didominasi oleh puisi.

Setelah melewati sidang komisi, pleno, dan pemilihan anggota formatur yang dipimpin oleh kritikus Maman S. Mahayana, terpilihlah Ahmadun Yosi Herfanda sebagai Ketua Umum KCI periode 2007-2010 dengan Sekjen Trianto Triwikromo. Selain keduanya, KCI juga berisikan nama-nama seperti Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, Titis Basino, Nabil Makarim, dan Korrie Layun Rampan di jajaran Dewan Penasihat. Sedangkan di jajaran pengurus, ketua umum akan dibantu oleh tiga orang ketua (Zulfaisal Putera, Agus Noor, Maman S. Mahayana), tiga orang sekretaris (Mezra E. Pellondou, Saut Situmorang, Shantinet), dan dua bendahara (Raudal Tanjung Banua dan Nurwahidah Idris).

Lepas dari sejumlah pesimisme bahwa perhimpunan ini akan mampu memainkan perannya dalam perkembangan cerpen, apalagi sastra Indonesia, terpilihnya Ahmadun Yosi Herfanda sebagai Ketua Umum KCI juga menjadi sesuatu yang menarik. Bagaimanapun, di tengah hiruk-pikuk "politik sastra" Indonesia yang penuh dengan kepentingan, KCI hendaknya tidak menjadi gerbong bagi kepentingan seseorang atau komunitas. Di sinilah perkaranya. Ahmadun Yosi Herfanda dianggap sebagai sosok yang tak bisa dilepaskan dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di mana penyair dan cerpenis adalah salah seorang pendirinya. Jangan-jangan, KCI akan menjadi KSI kedua, begitu kira-kira kecemasan itu muncul.

Kecemasan itu mungkin logis, tapi Ahmadun langsung menjawabnya. Menurutnya, dalam kepengurusan KCI tidak ada orang-orang KSI. Orientasi perhatian antara kedua komunitas itu juga berbeda. Jika KSI lebih berkonsentrasi pada puisi, maka KCI secara spesifik lebih terpusat pada genre cerpen.

"Saya tidak akan mencampur-baurkan KCI dan KSI, kecuali sebagai sebuah sinergi," ujarnya.

Ia pun mengatakan, alih-alih terlibat dalam silang-sengkarut percekcokan di milis, kehadiran KCI diharap bisa membeningkan situasi keruh yang jauh dari mencerahkan dan mencerdaskan itu. "KCI tidak mau terlibat di situ, meski memang ada juga pengurus KCI yang terlibat meramaikannya. Itu cuma ngerumpi!" tegasnya seraya tetap merasa optimistis bahwa KCI akan mampu memberdayakan perkembangan cerpen Indonesia.

Di lain sisi, ia pun berharap kelak KCI tidak lantas dipahami sebagai lembaga legitimasi. Tapi jika itu memang terjadi, artinya kehadiran KCI dipandang positif, namun sebaliknya akan menjadi sesuatu yang negatif jika KCI dianggap sebagai satu-satunya lembaga legitimasi yang tentu saja tidak menyehatkan bagi perkembangan cerpen Indonesia.

Jika optimisme Ahmadun dianggap tidaklah sendirian, maka demikian pula dengan munculnya pesimisme yang dilontarkan oleh cerpenis dan penyair Isbedy Stiawan. Bahkan menurutnya pembentukan KCI bertolak belakang dari ramainya isu penolakan terhadap kanosisasi (kekuasaan) dalam perkembangan karya sastra. Ia pun mengkritisi proses pembentukan kepengurusan lembaga ini di mana seluruh anggota formatur masuk ke dalam jajaran kepengurusan.

Ia memang mengakui bahwa pembentukan KCI merupakan salah satu amanat KCI IV di Pekanbaru Riau tahun 2005. Namun, bukan lantas berarti bahwa kongres di Banjarmasin ini harus merekomendasikan lahirnya KCI.

"Seharusnya di Banjarmasin ini lebih dimatangkan lagi. Mungkin ya, kita perlu membahas AD/ART, tapi bukan langsung menunjuk kepengurusan. Seharusnya jangan dulu dideklarasikan dan belum waktunya memilih pengurus. Saya pikir akan seperti itu, tapi ternyata sebagian teman-teman sudah memperlihatkan syahwat kekuasaannya."

Isbedy juga merasa pesimistis bahwa KCI akan memainkan perannya yang positif dalam perkembangan cerpen Indonesia. Apalagi dengan pengandaian seperti yang disebut-sebut oleh Maman S. Mahayana untuk menjadi fasilitator atau membangun jaringan, sehingga cerpen-cerpen Indonesia bisa dikenal di Malaysia, Singapura, Brunai, atau di dunia internasional. Termasuk yang menjadi alasan dalam pesimismenya ini adalah mereka yang duduk dalam jajaran kepengurusan. Namun demikian, Isbedy dan juga mungkin mereka yang lain, masih menyisakan sedikit harapan pada lembaga ini.


"Harapan saya satu-satunya hanya pada Trianto Triwikromo," ujarnya.

Selain merekomendasikan lahirnya KCI, Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin Kalsel ini juga merekomendasikan Kota Mandar, Sulawesi Barat sebagai tuan rumah Kongres Cerpen Indonesia VI tahun 2010 mendatang. (Ahda Imran)

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 November 2007

No comments: