SEBUAH kisah klasik menjadi inspirasi bagi dalang nyentrik, Made Sidia. Itu merupakan ekspresi kegelisahannya menyimak situasi zaman yang melintas di depan mata. Ternyata, tabiat manusia kini belum jauh beranjak dari primata.
Alkisah, petualangan Tualen, abdi Rama Dewa sang putra mahkota Ayodya untuk mencari istrinya, sang Dewi Sinta, yang hilang diculik Rahwana. Wayang listrik ini dikemas dalam perpaduan wayang klasik dan wayang modern dengan konsep video.
Dengan dibalut harmonisasi gamelan, keyboard, gitar, dan drum. Aksi sejumlah dalang yang begitu dinamis berpindah tempat dengan menggunakan skateboard dalam pertunjukan wayang listrik yang bertajuk Tualen's Journey.
Wayang listrik ini tampil memesona penonton dalam pembukaan Art Summit Indonesia V di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tadi malam.
Tampil juga karya Butet Kertarajasa dalam event selevel internasional yang berlangsung sebulan penuh, sampai 30 November 2007. Karya kontemporer Butet bertajuk Sarimin.
Singkat cerita, Sarimin, seorang kerani cilik. Ia jujur dan buta huruf. Jelas buta hukum juga. Suatu hari, si Sarimin menemukan KTP di pinggir jalan.
Dengan bermaksud baik, karena memang KTP orang, Sarimin pun segera mendatangi kantor polisi. Ia menyerahkan KTP itu. Tetapi, tidak dinyana ternyata ini menjadi sebuah awal yang tidak terduga bagi Sarimin.
Betapa tidak, niat baik belum tentu hasilnya baik. Bahkan, membawanya kepada kekusutan rimba hukum demi mencari keadilan dan kebenaran di Tanah Air ini. Di dunia nyata tidak terbilang kisah ironis ini. Banyak yang bernasib seperti Sarimin. Sebuah potret hukum di negara hukum yang bernama Indonesia.
Ada lagi kisah hantu dari 'Negeri Singa'. Bayangkan jika ada konferensi supernatural tingkat dunia di Singapura. Seluruh hantu mancanegara yang berbeda hadir di negeri itu.
Karya yang diusung koreografer asal Singapura, Angela Liong, yang berjudul Ghost Exchange Series Two ini mengisahkan pertemuan hantu Indonesia dengan hantu Singapura. Dengan menggunakan teknologi proyeksi visual yang provokatif dan efek suara yang naratif, teater tari Asia ini semakin apik dan menawan.
Diikuti 11 negara
ASI V ini diikuti 14 grup pertunjukan seni kontemporer dari 11 negara. Yaitu Indonesia, Singapura, Argentina, Prancis, Spanyol, Jerman, Mesir, India, Selandia Baru, Belgia, dan Korea. Mereka akan tampil di TIM Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta, dan Goethe Institut. Tidak pelak, Putu Widjaya, ketua tim artistik dalam ajang ini mengatakan ASI V ibarat toko serbaada (toserba), karena menyajikan berbagai jenis seni kontemporer.
Bagi anak muda, misalnya, tersedia musik dengan berbagai paduan instrumen dan gerak tari dengan pemain dari berbagai warna kulit dan bahasa. Bagi yang hobi tradisi, hadir wayang listrik.
Penggemar sinetron hantu bisa menikmati ketegangan dengan menonton kisah hantu dalam bentuk tarian kontemporer. Bagi para pekerja seni pertunjukan baik itu tari, musik, dan teater maupun sastra, berbagai pertunjukan yang dapat memperluas pemahaman tentang teknik, bahasa tubuh, bunyi, hingga kehidupan yang direka tersedia. Bagi perupa profesional, instalasi makanan tersaji.
"Seni adalah makanan batin yang membina manusia dari dalam dirinya sehingga seni pun tidak kurang dari sembako yang sama dibutuhkan manusia," ujar Putu soal pentingnya konsumsi rohani ini. (Edwin Tirani/H-1)
Sumber: Media Indonesia, Jumat, 2 November 2007
No comments:
Post a Comment