SEBAIT syair pengusik hati di atas dilantunkan oleh awak Teater Alam, Senin (5/11) lalu. Syair itu sekaligus menjadi inti pementasan berjudul Plastik Gugat Daun Pintu.
Jika tak menyaksikan aksi panggung Teater Alam pada acara Pentas Seni dan Sastra -- dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2007 -- di auditorium Pusat Bahasa Depdiknas, Rawamangun Jakarta, orang tentu akan mengira lakon tersebut bercerita tentang sampah plastik yang mengotori lingkungan.
Namun, dialog-dialog yang membangun kisah Plastik Gugat Daun Pintu memperjelas ide ceritanya. Gagasan yang dibawa adalah penegakkan keadilan. Kata 'sampah' mewakili suatu permasalahan sosial, sedangkan frasa 'daun pintu' merupakan perlambang jalan keluar. ''Segala persoalan sesungguhnya punya banyak cara penyelesaian,'' kata Edwin Fas, pendiri Teater Alam.
Edwin mengusung persoalan penegakan keadilan untuk menyikapi fenomena hukum di Indonesia. Terlebih, kebanyakan masalah hukum yang menyentuh rasa keadilan masyarakat cuma berujung pada perdebatan akademis. ''Rakyat mendapat retorika belaka, bukan keadilan sejati,'' katanya.
Dalam pementasan Plastik Gugat Daun Pintu, Edwin menghadirkan Erwin Janin sebagai tokoh cendekiawan. Selain itu, ada Aridiansyah selaku seniman, Pito memerankan pengacara, dan Yos Sudarso mewakili masyarakat kebanyakan. Juga, Ludi, Udin, dan Indra di jajaran pemusik. ''Keempat tokoh tersebut asyik berdebat, namun tak menemukan jalan keluar terbaik dari masalah penegakan keadilan,'' papar Edwin.
Titik terang baru terlihat begitu rakyat yang disuarakan oleh Yos Sudarso datang memberi peringatan. Keadilan tak akan muncul jika manusia tak kembali ke 'ilmu alam' yang tak lain adalah agama. ''Jika kita berpikir dengan keyakinan berlandaskan agama, niscaya Tuhan akan membimbing kita ke jalan keluar terbaik,'' simpul Edwin.
Meski tak menggarap tema populer macam percintaan, pentas Teater Alam tak serta merta sepi penonton. Puluhan pelajar meluangkan waktu untuk menikmati pentas teater tersebut. Mereka memenuhi imbauan guru bahasa untuk mengapresiasi seni teater.
Chesya Rachmawati, salah satunya. Pelajar SMA Negeri 67, Jakarta Timur, ini mengaku menikmati lakon Plastik Gugat Daun Pintu. ''Seru juga belajar menegakkan keadilan lewat pentas teater,'' katanya.
Chesya yang duduk cukup dekat dengan panggung dibuat kaget oleh aksi teatrikal Aridiansyah, Sang Seniman. Di babak terakhir pementasan, di atas panggung, Aridiansyah menanggalkan pakaian hingga tersisa celana boxer.
Tokoh seniman tersebut lantas menerobos barisan penonton seraya mempertanyakan 'ilmu alam'. ''Sempat ngeri. Aksi seniman suka tidak bisa ditebak. Saya tidak menyangka mereka akan berbuat apa,'' celetuk gadis yang gemar nonton teater dan mendengarkan musik itu.
Sebaliknya, Reza Bramantya kurang memahami ide yang dibungkus Teater Alam itu. Kendala yang dihadapinya sangat mendasar. Rupanya, bahasa yang membuatnya urung menikmati total permainan para seniman Palembang tersebut. ''Banyak kata-kata yang kurang saya mengerti. Mungkin jika sudah kuliah nanti, saat kosa kata saya lebih banyak, saya bisa lebih menikmati pementasan semacam ini,'' kata siswa kelas satu SMA Negeri 67 ini.
Di daerah asalnya, Palembang, Teater Alam yang mengukuhkan eksistensinya sejak tahun 1987 punya penggemar sendiri. Komunitas pecinta teater telah terbentuk di sana. ''Teater ditonton banyak kalangan. Mulai dari pelajar, masyarakat umum, hingga mereka yang tertarik terjun ke dunia teater,'' kata Edwin yang menjabat sebagai sekretaris Komite Teater Dewan Kesenian Sumatera Selatan.
Teater Alam hanya salah satu dari 10 kelompok teater yang diundang Pusat Bahasa untuk berpentas di Jakarta. Selain Teater Alam (Palembang), ada Teater Gidak Gidik (Surakarta), Teater Kain Hitam (Banten), Teater Mentaya (Sampit), Teater Guru Sulawesi Utara, Teater Bandung, dan Teater Zat (Universitas Negeri Jakarta). Lantas, hadir pula Teater Bintek (Kaltim), Teater Kaes (Semarang), dan Sanggar Sastra Indonesia (Yogyakarta).
Acara yang digelar pada 5-7 November 2007 itu juga dimeriahkan pementasan tari tradisional, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan diskusi. . ''Sehari-hari, kita lebih banyak menggunakan otak kiri. Dengan berkesenian, belahan otak kanan terlibat. Keseimbangan diri pun tercapai,'' kata DR Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, saat membuka Pentas Seni dan Sastra 2007. Saatnya berkesenian!
Mereka yang Berprestasi
Bulan bahasa dan sastra adalah bulan untuk berebut prestasi di bidang bahasa dan sastra. Maka, pada tiap acara puncak yang sekaligus penutupan bulan bahasa dan sastra, Pusat Bahasa Depdiknas selalu membagi-bagi penghargaan dan hadiah bagi mereka yang berprestasi.
Begitu juga yang terjadi Kamis (8/11) lalu, pada Puncak Acara Bulan Bahasa dan Sastra 2007, di auditorium Pusat Bahasa Jakarta. Untuk kategori penghargaan sastra, jatuh pada Saksi Mata karya Suparto Brata, disusul Bhoma karya Yanusa Nugroho, dan Malaikat Tak Datang Malam Hari karya Joni Ariadinata.
Penghargaan Adi Bahasa 2007 diraih oleh provinsi Kalimatan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, Jawa Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.
Debat bahasa antarkampus untuk tahun 2007 ini direbut oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pemenang kedua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta. Pemenang ketiga Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, Fakultas Sastra Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Setia Budi, Rangkas Bitung, Banten. Sementara, pasangan Imam Wahyudi Karimullah dan Latifah Hanum dari Jawa Timur memenangi lomba duta bahasa.
Sejumlah media cetak juga mendapat penghargaan pemakaian bahasa Indonesia terbaik. Dibagikan juga hadiah bagi para juara lomba, penulisan puisi bagi siswa sekolah dasar, penulisan cerpen bagi remaja tingkat nasional, penulisan puisi bagi remaja tingkat nasional, festival musikalisasi puisi tingkat nasional, dan pembacaan puisi guru SD tingkat nasional. (reiny dwinanda)
Sumber: Republika, Minggu, 11 Nopember 2007
No comments:
Post a Comment