-- Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy
MENEMUI Karim Raslan (44) di tengah hubungan masyarakat Indonesia-Malaysia yang tengah mendingin adalah menemui kejernihan cara pandang. Ia tampak telah melampaui perbatasan identitas. Malaysia adalah tanah kelahirannya, Inggris adalah tempatnya bertumbuh, dan Indonesia adalah negeri di mana ia selalu ingin "pulang".
Mungkin karena akarnya dipertautkan oleh cintanya akan kehidupan, tak sulit bagi Karim melihat duduk soal secara lebih terbuka.
"Sangat memalukan," ujarnya, suatu petang, di kantornya di Jakarta Selatan. "Sebagai negara serumpun dengan banyak persamaan, seharusnya itu tidak terjadi."
Ia mengenali kelemahan dan kekuatan kedua negara, tetapi menolak membenturkannya karena akan memperlebar jurang perbedaan. Ia hanya mengatakan, "Masa bulan madu sudah berakhir. Sebuah hubungan tak bisa disikapi dengan taken for granted. Sekarang waktunya meninjau kembali hubungan itu."
Yang menjadi masalah adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor informal yang sekitar 1,5 juta orang, ditambah perkiraan 1,5 juta yang "ilegal". Bersama tenaga kerja dari negara lain, jumlah tenaga kerja asing di Malaysia mencapai 4 juta atau seperlima jumlah penduduknya.
"Ini membangunkan perasaan takut pada orang Malaysia. Tetapi, itulah biaya sosial kalau mau tenaga kerja yang bisa dibayar murah," kata Karim.
Ia melihatnya pentingnya kebijakan jangka panjang kedua negara untuk mempertemukan kebutuhan akan lapangan kerja dengan kebutuhan tenaga kerja untuk jenis pekerjaan yang tak lagi dilakukan warga Malaysia.
Kebijakan pada masa lalu, menurut Karim, adalah naturalisasi. "Kebanyakan orang Melayu di Malaysia berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Malaysia tahun 1930-an," ia melanjutkan.
Isu TKI di sektor informal menggusur kenyataan adanya TKI dari kelompok intelektual profesional yang bekerja di tempat-tempat bergengsi di Malaysia. Media massa kurang memberi gambaran kepada masyarakat bahwa TKI di Malaysia bukan hanya pekerja rumah tangga atau buruh perkebunan.
"Dibutuhkan kesempatan untuk menemukan pijakan bersama demi kebaikan bersama secara setara," ujar Karim. "Bukan membesarkan isu yang berpotensi memperburuk hubungan kedua negara. Itu hanya membuat kita menjadi pecundang."
Warga dunia
Karim mendefinisikan dirinya sebagai warga dunia yang merdeka, tidak diikat oleh isu-isu yang secara politik diciptakan untuk memecah-mecah kemanusiaan. Tempat tinggalnya tidak dibatasi ruang, tetapi oleh rasa.
Ia terbang dari satu tempat ke tempat lain untuk merawat sesuatu yang lebih hakiki di dalam diri. Karena itu, pekerjaan ia perlakukan sebagai hobi. Tak pernah membosankan.
Dalam sebulan ia membagi hari-harinya antara Kuala Lumpur, Jakarta, dan Singapura, Bangkok kadang-kadang. Ketika ingin hening, sebuah rumah berhalaman hijau dengan pohon bambu di Ubud, Bali, yang ia sewa, telah menunggu. Di situ ia dimanjakan suasana yang mampu meredam seluruh kesesakan.
"Negeri ini fantastis, dinamis, dan exciting," kata Karim, "Bahasa Indonesia lebih dari bahasa komunikasi...."
Di sini ia merasakan kebinekaan budaya, keterbukaan, kebebasan berpendapat, pers yang bebas, dan identitas yang tidak dilembagakan oleh agama dan etnis; suatu keadaan yang menurut Karim tak bisa dilepaskan dari sejarah.
Inilah negeri di mana dia merasa berutang secara kultural maupun spiritual atas berjuta inspirasi yang terlahir lewat kehidupan sehari-hari warganya; sesuatu selalu yang mengingatkan Karim pada masa kecilnya.
"Waktu kecil saya sering pulang ke kampung ayah saya di Kuala Kangsar. Di situ, ayah mengundang orang kampung untuk bercerita kepada kami tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari," ia mengenang sang ayah yang tewas pada usia 39 tahun dalam kecelakaan mobil. Saat itu Karim berusia 7 tahun. Kuala Kangsar tampaknya selalu berada di ruang khusus di dalam hatinya.
Ayahnya, almarhum Mohammad Raslan, adalah akuntan pertama di Malaysia dan pendiri Bank Bumiputera di Malaysia. Ibunya, warga Inggris, Dorothy Elizabeth Raslan, kembali ke Inggris dan membesarkan sendiri ketiga anak laki-lakinya setelah sang suami meninggal. Karim berusia 8 tahun waktu itu dan bermukim di negeri ibunya selama 15 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara itu belajar ilmu hukum karena ingin membahagiakan ibunya.
"Setahun terakhir ini ibu saya tinggal di Kuala Lumpur, dekat dengan cucu-cucunya dan semua kerabat dari Ayah."
Pengalaman masa kecil di Kuala Kangsar itu memberinya pengetahuan tentang komunikasi yang lebih luas dari sekadar ilmu komunikasi di buku teks. Mungkin itu juga yang membuat Karim memilih jenis kerja yang memungkinkannya berhubungan dengan banyak orang dari banyak kebudayaan.
Sebagai konsultan di bidang komunikasi, ia tak hanya melayani kepentingan perusahaan. Banyak klien mengungkapkan persoalan keluarga kepadanya. Itu mungkin karena ia mampu meletakkan diri pada posisi orang lain; sesuatu yang kental dipengaruhi profesinya sebagai penulis.
Multidimensi
Sungguh tak mudah mengenali sosok Karim hanya dari sepotong perjumpaan. Ia pernah menjadi pengacara perusahaan sebelum menjadi penulis dan pejalan. Ia juga penikmat seni.
Karim dikenal sebagai kolumnis di berbagai surat kabar nasional di Malaysia dan surat kabar internasional, menyoroti isu-isu politik dan budaya di Asia Tenggara. Ia juga penulis sastra.
Kumpulan cerita pendeknya tentang masyarakat Malaysia kontemporer, Heroes and Other Stories, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kolom-kolomnya yang dibukukan dikomentari para tokoh terkemuka, di antaranya VS Naipaul, penerima Nobel Sastra 2001 kelahiran Trinidad.
Seluruh kegiatannya senantiasa terkait dengan perjumpaan-perjumpaan. Itulah caranya mengenal suatu negeri. Kebudayaan yang bernapas dalam denyut kehidupan manusianya mendorong dia masuk ke tempat-tempat yang tidak banyak diperhatikan di Asia Tenggara.
Pun di Indonesia. Ia berusaha menyentuh jantung negeri ini, antara lain dengan memasuki kehidupan di akar rumput agar bisa merasakan getarnya.
"Saya bertemu diva ludruk yang hartanya habis digulung lumpur di Sidoarjo," ia berkisah. "Tetapi, ia tetap naik pentas, masuk ke setiap tokoh yang dia perankan. Saya kira inilah sumber kekuatannya," ujar Karim yang mengikuti permainan Ludruk Perdana itu sampai dini hari.
Proses "keluar-masuk" ke dalam diri tokoh-tokoh yang ia ciptakan terjadi ketika menulis fiksi, proses yang memberi Karim keasyikan khas, yang membuatnya selalu rindu untuk duduk dan menulis. Sayang, suasana hatinya itu sering terkikis oleh target-target yang tak kunjung habis.
Di mejanya, sebuah novel menunggu penyempurnaan.
Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007
No comments:
Post a Comment