Sunday, November 18, 2007

Pustaka: Catatan atas "Purnama di Bukit Langit"

-- Iwan Fridolin*

KERJA penerjemahan puisi adalah sejenis kegiatan kreatif. Dalam menerjemahkan sebuah puisi, banyak unsur yang tidak bisa begitu saja dipindahkan. Faktor bahasa memainkan peranan yang pokok, disertai prinsip-prinsip versifikasi, bentuk-bentuk persajakan maupun muslihat-muslihat puitik.

Begitu juga ketika menerjemahkan puisi klasik China, kita dituntut untuk mempertimbangkan bahasa China klasik sebagai medium ekspresi puitik. Sementara itu, seperti bahasa China, gramatika bahasa Indonesia sifatnya longgar dan hampir tidak berstruktur. Adanya beberapa kesamaan sifat antara kedua bahasa sesungguhnya menguntungkan kerja penerjemahan puisi klasik China ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun begitu, sejumlah kesulitan tetap saja akan dihadapi seorang penerjemah karena faktor-faktor budaya, kebiasaan, cara berpikir dan rasa bahasa, di samping kerangka versifikasi tradisional China itu sendiri.

Kalimat-kalimat dalam bahasa China klasik memang cenderung longgar dalam susunannya, dan bisa dikatakan hampir sepenuhnya terbebas dari batasan-batasan gramatik. Bahasa China tidak mengenal bentuk infleksi, seperti untuk jamak, dan juga bentuk jender, kasus, modus, tensis, dan lain-lain. Selain itu, sebuah kata dalam bahasa klasik umumnya tidak memiliki arti yang pasti sehingga dituntut penafsiran dan pemahaman khusus.

Kondisi bahasa seperti ini memang menjadi sumber ambiguitas, namun manfaatnya dalam perpuisian adalah memungkinkan pengungkapan emosi dan pemikiran dalam pernyataan yang padat, ringkas, dan ekonomis. Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik adalah kumpulan sajak China klasik hasil terjemahan Zhou Fuyuan. Di dalam buku ini terkumpul 560 sajak dengan rentang waktu dari masa Dinasti Zhou (periode Negara-Negara Berperang tahun 475-221) sampai masa Dinasti Qing (tahun 1644-1911).

Dilihat dari rentang waktu dan jumlah sajak yang diterjemahkan, antologi ini adalah kumpulan puisi klasik China dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap. Dibandingkan karya-karya terjemahan dari beberapa penerjemah lain sebelumnya, hasil terjemahan Zhou Fuyuan jauh lebih bagus dan lebih baik, khususnya dalam hal penggunaan bahasa Indonesia dan penghayatannya atas perpuisian klasik China.

Namun, catatan tetap perlu diberikan atas beberapa kelemahan dari buku ini. Pertama-tama, pembagian antara shi (diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan sebagai sanjak) dan ci-qu (diterjemahkan sebagai syair-lirik) di samping tidak lazim juga membingungkan seperti terlihat dalam komposisi hasil terjemahan. Tidak jelas pengelompokan yang dimaksudkan oleh Zhou, apakah berdasarkan genre, kategori, atau hal lain.

Selain itu, klasifikasi tema (tujuh buah pada Bagian Pertama dan tujuh buah pada Bagian Kedua) tumpang-tindih dan cenderung menyesatkan. Sulit dipahami bahwa sajak Wang Wei Pesanggrahan Rusa adalah sebuah nyanyian musim (hal 62), atau Jalan Pulang-nya Li Bai adalah derita pengembara (hal 173). Tampaknya Zhou Fuyuan tidak cukup kritis dalam merujuk pada antologi puisi klasik China dengan pengategorian menurut tema yang akhir-akhir ini banyak diterbitkan.

Tema dibangun berdasarkan konsep-konsep dasar dan cara pikir dalam lingkungan budaya tertentu. Dalam kerangka kerja perpuisian klasik China, paling tidak ada lima kategori utama, yaitu alam, waktu, sejarah, nostalgia, dan cinta. Selanjutnya juga perlu mempertimbangkan faktor alusi.

Kebanyakan puisi klasik China menggunakan alusi. Bermacam ragam alusi dipakai sebagai muslihat puitik dari sesuatu yang sifatnya umum sampai pada hal-hal yang memerlukan pengetahuan khusus, antara lain alusi pada tokoh dan peristiwa-peristiwa sejarah, legenda, mitologi, kosmologi, astrologi, tokoh dan karya sastra, filsafat, ujaran-ujaran, atau pernyataan-pernyataan dari kitab-kitab klasik, dan sebagainya.

Ada berbagai ragam alusi yang digunakan dalam perpuisian klasik China, dan hal ini juga yang menambah kesukaran dalam penerjemahan. Alusi bisa merupakan kunci untuk memahami sebuah larik sebagai bagian dari puisi, atau bahkan merupakan subyek sebuah puisi. Perlu dilakukan identifikasi dan pembacaan yang cermat atas alusi yang digunakan penyair agar kita bisa mengetahui maksudnya atau mengerti tentang apa yang dibicarakan sebuah puisi.

Kelemahan kedua adalah ketidakcermatan Zhou Fuyuan dalam menerjemahkan beberapa sajak. Sebagai contoh, sajak Tao Yuanming Pulang ke Rumah Ladang terdiri atas lima bait, dan hanya satu bait pertama yang diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan tanpa disertakan catatan penjelasan (hal 56). Kemudian, dalam sajak Du Fu Balada Kereta Pasukan, larik 5-6 seharusnya 7-8, dan sebaliknya (hal 33). Juga Balada Biba (Bai Juyi) seharusnya Balada Pipa (hal 140), dan judul sajak Wang Wei Taoyuan xing seharusnya diterjemahkan menjadi Nyanyian Sumber Persik (hal 63-64) agar pembaca dapat membedakan dengan puisi Tao Yuanming yang terkenal, yaitu Catatan Sumber Bunga Persik (Taohuayuan ji). Sayangnya sajak ini tidak diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan.

Kelemahan ketiga adalah kecenderungan Zhou Fuyuan untuk menciptakan rima akhir pada setiap sajak yang diterjemahkan. Akibatnya terjadi pemaksaan atas padanan kata tertentu dan menimbulkan kekacauan diksi. Suasana puitik perpuisian klasik China menghilang sama sekali dan sejumlah besar sajak tidak enak lagi dibaca. Beberapa contoh misalnya, Aparat Desa Shihao- nya Du Fu (hal 34), Salju Sungai-nya Liu Zongyuan (hal 74), dan Mengubur Bunga-nya Cao Xueqin (hal 166-167). Beragam aspek bahasa, baik pada bahasa sumber maupun pada bahasa sasaran, adalah unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan ketika menerjemahkan sebuah puisi. Rima akhir memang senantiasa muncul dalam semua puisi klasik dan variasi nada memainkan peranan penting.

Meskipun begitu, musik dari sebuah puisi, yang orisinal dan inheren di dalamnya, sesungguhnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari medium bahasa sekaligus adalah milik khusus penyairnya, dan ini tidak pernah dapat direproduksi dalam terjemahan. Variasi bunyi, skema rima, matra, pola nada, dan ritme adalah unsur-unsur yang menggiurkan tetapi sekaligus menjadi selubung yang sukar disingkap ketika kita menerjemahkan sebuah puisi.

Kelemahan lainnya adalah kesan yang timbul bahwa Zhou Fuyuan banyak merujuk pada terjemahan dalam bahasa Inggris tanpa mencermati teks aslinya. Contohnya adalah penambahan kata embun pada larik dua sajak Rindu Malam-nya Li Bai (hal 9) atau kata jiu diterjemahkan menjadi anggur pada larik pertama sajak Li Bai Sendiri Minum di Bawah Purnama (hal 137). Banyaknya antologi puisi klasik China versi modern dalam dwibahasa (Bahasa China-Bahasa Inggris) memang menguntungkan dan membantu sekali untuk kerja penerjemahan, tetapi dalam beberapa hal bisa juga menyesatkan karena terjemahannya yang tidak tepat atau terlalu bebas, atau kemungkinan sumber yang dipakai tidak akurat.

Salah satu contoh adalah sajak Tao Yuanming Requiem untuk Sendiri, terjemahan dari Zi wange (h. 155). Terjadi kekacauan karena tidak ada sajak Tao Yuanming yang berjudul Zi wange, yang ada adalah Zi jiwen, yaitu salah satu puisi Tao Yuanming dalam kelompok elegi tentang pengorbanan. Sementara itu, isi sajak yang diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan sebenarnya adalah bait ketiga dari sajak tiga bait Ni wangeci (dalam versi kemudian menjadi Wangeshi dengan menghilangkan kata ni), yaitu sajak Tao Yuanming dalam kategori nyanyian penguburan.

Di atas adalah beberapa contoh saja kelemahan yang terdapat dalam antologi Purnama di Bukit Langit. Bagaimanapun juga memang diperlukan pengetahuan dan pemahaman atas jenis kritik sastra yang mengolah sifat dan hukum-hukum yang mengatur perpuisian klasik China agar kita dapat mengurangi berbagai hambatan dan kemungkinan-kemungkinan yang timbul ketika menerjemahkan puisi klasik China.

Bahasa adalah refleksi mentalitas dan budaya dari masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Sebaliknya, bahasa juga memengaruhi cara berpikir dan sifat budaya dari masyarakat atau bangsa tersebut. Di samping bahasa, jarak sejarah dan budaya telah mengaburkan apa-apa yang mungkin dapat dikenali dari sebuah teks. Sementara itu, beberapa aliran besar filsafat, seperti Konfusianisme, Daoisme, dan Budhisme, ikut mewarnai kehidupan intelektual dan spiritual, dan hampir setiap penyair besar China tidak dapat lepas dari pengaruh tersebut. Banyak penyair adalah penganut salah satu aliran filsafat tersebut dan sebagian lagi cenderung sinkretis. Pokok-pokok gagasan dari berbagai pemikiran tersebut tecermin dan bahkan tidak jarang ditampilkan secara kentara, di dalam puisi-puisi yang ditulis para penyair.

Akhirnya, terlepas dari semua kekurangan dan ketidaksempurnaan tersebut, bagaimanapun juga usaha dan kerja keras Zhou Fuyuan patut dihargai sehingga menghasilkan sebuah antologi yang cukup tebal ini.

* Iwan Fridolin, Pengajar di Jurusan Sastra Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 18 November 2007

No comments: