Sunday, November 11, 2007

Esai: Otonomi Seniman di Ubud

-- Bre Redana

KITA sampai pada satu titik di mana para seniman harus jujur pada diri sendiri. Anda mau mengerjakan untuk pasar (internasional) ataukah untuk diri sendiri?

Itu kata-kata Weng Ling, Direktur Shanghai Gallery of Art, seperti bisa kita baca dalam Time edisi 12 November 2007, yang menurunkan laporan utama mengenai "booming" seni rupa Asia. Saat ini memang sulit memisahkan kegiatan seni rupa—terutama seni rupa yang mengambil bentuk kontemporer—tanpa dibayang-bayangi apa yang sedang terjadi saat ini di Asia, khususnya China.

Pande Wayan Suteja Neka, pendiri Museum Neka di Ubud, Bali, ketika membuka pameran bertema "Souls of Expressions" di TonyRaka Art Gallery, Ubud, Kamis (8/11) malam, juga menyinggung-nyinggung seni lukis China berikut pengaruhnya di Asia. "Ketika saya menyaksikan beberapa pasar lelang lukisan di Singapura, sangat terlihat bagaimana animo pasar telah berubah. Di mana karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia diterima antusias, bahkan menjadi primadona...," kata Neka. Banyak pendapat mengatakan, apa yang terjadi di Indonesia ini adalah imbas dari apa yang terjadi di China.

Sebenarnya, justru di situ letak persoalan seni rupa (kontemporer) Indonesia sekarang, mengingat sejarah seni rupa Indonesia kan tidak hanya ada dalam lima tahun terakhir.... Pameran di TonyRaka Art Gallery yang berlangsung pada 8-28 November 2007 diikuti delapan perupa: Entang Wiharso, Hanafi, Ipong Purnama Sidhi, Made Sumadiyasa, Nyoman Erawan, Putu Sutawijaya, Ugo Untoro, dan Yunizar.

Tentu publik seni rupa Indonesia tahu belaka, dari delapan perupa itu, beberapa di antaranya adalah nama-nama yang karyanya tengah menjadi "dagangan laris" di pasar seni rupa, termasuk di balai-balai lelang. Ibaratnya, karya satu-dua perupa di situ, cukup disebutkan ukurannya, tahun penciptaannya, bakal sudah ada spekulan yang bersedia membelinya.

Kegiatan-kegiatan seni rupa, termasuk pameran saat ini, sungguh sulit dipisahkan dari bayang-bayang pasar. Jangan buru-buru mencurigai pandangan seperti ini sebagai pandangan kapitalistik—mau mengukur apa-apa dari pasar. Seni berikut medium pengucapannya tidaklah berada dalam satu vacuum atau ruang kosong. Ekstremnya, karya seni juga sebuah produk sosial. Konsekuensinya, kadang tak terhindarkan manipulasi perupaan yang sifatnya "trendy"—mengikuti apa yang tengah menjadi "mode".

Otonom

Pameran di Ubud cukup relevan dibicarakan karena selain diikuti "hot items" dalam seni rupa dewasa ini, juga bingkai kuratorial yang tampaknya berhasrat membebaskan para seniman dari tekanan-tekanan baik pasar maupun ketentuan estetik tertentu. Wayan Kun Adnyana yang bertindak sebagai kurator mengatakan keyakinannya bahwa subyek cipta-mencipta adalah seniman. Sikap kuratorialnya katanya membebaskan perupa untuk berkarya sekehendak hati, menempatkan mereka sebagai makhluk otonom dalam hal cipta-mencipta.

Jalan kurasi seperti ini katanya juga sebagai upaya untuk mengambil jarak dari kecenderungan konsep kuratorial yang memosisikan perupa hanya sebagai "ilustrator" dari ide kurator, kolektor, dan lain-lain. "Bukankah kita cukup sering mendengar sebuah ide kurator tentang sesuatu hal, diterjemahkan oleh puluhan pelukis?" kata Kun dalam pengantar kuratorial.

Nah, dengan dibiarkan otonom itu, lalu apakah dengan sontak berbeda karya-karya delapan perupa ini dibandingkan dengan karya-karya mereka yang lain selama ini? Mereka merasa terbebas dari sebentuk pilihan mengikat, lalu dengan serta-merta menjadi manusia otonom dengan pilihan bebas?

Di sini sebenarnya kita sampai ke soal keniscayaan hidup. Artinya, benarkah hidup kita ini betul-betul bebas? Jangan-jangan benar yang dikatakan para filsuf zaman romantik: manusia lahir bebas, tapi terantai di mana-mana? Atau dalam pemahaman yang lebih dekat dengan praksis kehidupan sehari-hari di dunia penciptaan seni, memang benar, karya tidak lahir dari sebuah ruang kosong. Untuk sampai ke kehendak bebas adalah perjuangan terus-menerus.

Hanafi, dengan karya-karyanya semacam "Api di Balik Meja" ataupun "100 Tahun Jalan Lucky", masih melanjutkan pergulatannya dari karya-karyanya belakangan—yang laris. Yakni, sapuan-sapuan warna di bidang besar, dengan komposisi yang dari segi bentuk dan rupa memang elok.

Lalu Made Sumadiyasa, melanjutkan pencariannya lewat spontanitas ungkapan perasaannya di kanvas, dengan coretan-coretan dan sabetan-sabetan spontan. Dalam pengakuannya, dia tidak terikat oleh kaidah, abstraksismenya harus ada figur atau tidak. Yang penting, bagaimana apa yang dalam dirinya terungkap.

Entang Wiharso, dengan kanvas yang di dalamnya seseorang seolah diajak membaca suatu tema. Ipong, mencoba merintis jalan untuk mencari kedalaman pada bentuk berbau pop yang makin dia kuasai. Sama seperti Nyoman Erawan, yang kespontanannya tetap memperlihatkan akar di mana dia bertumbuh. Yunizar dan Putu Sutawijaya berada di wilayah yang mereka nyaman, sreg, Yun dengan coretan liris pada karya "Tentang Rumput", dan Putu dengan eksplorasi pada bentuk tubuh yang penuh kedalaman.

Yang sangat menarik adalah Ugo Untoro. Karyanya berjudul "Homage to Fontana" maupun "Origami" memperlihatkan pergulatannya di dalam—pada tingkatan seorang seniman yang memberi kesan benar-benar otonom.

Ini hanyalah pembacaan atas diri para seniman itu, dari luar. Selebihnya, tak ada yang lebih tahu daripada para seniman itu sendiri: seberapa jauh mereka jujur pada diri sendiri.

Sumber: Kompas, Minggu, 11 November 2007

No comments: