INDUSTRI komunikasi merupakan keniscyaan bahwa ia tak cukup melulu dipahami sebagai realitas teknologi, melainkan juga adalah sebuah realitas sosial yang akan terus mengalami transformasi.
Dalam konteks semacam itulah, media menjadi sesuatu yang tidak netral. Media bahkan bisa menjadi refleksi ideologi bawah sadar para pemilik modal yang berada di balik pengoperasiannya. Dengan kata lain, industri komunikasi sebagai realitas teknologi dan realitas sosial tidak lagi menyisakan ruang-ruang otonom, termasuk media. Dalam situasi semacam inilah cerpen yang kerap mewartakan dirinya sebagai pendekonstruksi apa pun, hadir sebagai hantu yang makin tak bisa mengontrol dirinya.
Sebagai hantu, cerpen memang kemudian menghadapi represi mediamorfosis, perubahan media komunikasi yang membawa dampak pada kebutuhan, tekanan yang bersifat kompetitif, dan politis dengan perubahan di bidang sosial dan teknologi. Menghadapi hal itulah, cerpen harus melakukan penyesuaian, bahkan kerap harus menjadi hamba dari perubahan media yang tidak kunjung henti.
Dan akhirnya, mobilitas cerpen memang berada dalam tegangan antara hasrat memberontak terhadap sihir dan represi apa pun yang dilakukan media, dan hidup sebagai pengukuh apa pun yang dilakukan oleh media. Satu ciri cerpen yang patuh pada penjara media seperti yang terakhir itu adalah pengabaian naratologi. Cara berkomunikasi cerpen sejenis ini cenderung menolak kerumitan. Narator selalu dipatok sebagai penyuara pesan dan tidak dibebaskan bermain sebagai apa pun dalam narasi.
Namun dalam situasi yang sangat dipengaruhi oleh dunia industri, cerpen memang harus "hidup bersama" dengan media, tanpa harus terpenjara di dalamnya. Kemesraan dengan media akan menumbuhkan cerpen yang baru, yakni cerpen yang juga terus berproses, mengada, dan menjadi. Itu berarti cerpen harus bisa mengubah penjara media sebagai ruang bermain.
Bersinggungan dengan hal itu, cerpen Indonesia mutakhir menunjukkan gejala yang menarik ketika cerita tidak lagi melulu menjadi konsentrasi para pengarang. Seiring dengan perubahan dan perkembangan media, terutama dalam sastra koran, terdapat upaya para pengarang untuk menemukan cara bercerita yang melainkan dirinya dari realisme yang banyak disebut menjadi mainstream bercerita para cerpenis generasi sebelumnya.
Upaya tersebut tampak dari bagaimana bahasa diperlakukan. Bahasa dieksplorasi dalam berbagai kemungkinan seperti juga kemungkinannya untuk bercerita. Maka inilah periode menarik dalam perjalanan cerpen Indonesia mutakhir, yakni periode "eksperimentasi" penceritaan dalam sastra kita untuk membangun, menciptakan, dan menyusun sebuah bahasa.
Demikian salah satu perbincangan yang muncul dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26-28 Oktober 2007 lalu. Kongres dengan tema "Cerpen Indonesia dan Dunianya" yang diikuti oleh para cerpenis, kritikus, dan pengamat sastra ini, selama dua hari mencoba membaca perkembangan cerpen Indonesia dari berbagai persinggungannya. Dari mulai warna lokal, cerpen dan politik sastra, cerpen dan media, perempuan Cina atau Jawa dalam cerpen, hingga yang masuk lebih jauh untuk memeriksa fenomena hubungan narasi dan berbahasa, atau narasi dan perubahan media.
Sedang di sisi lain, termasuk kongres ini juga mendeklarasikan berdirinya Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dengan ketua terpilih Ahmadun Yosi Herfanda.
Selain Trianto Triwikromo yang mengapungkan ihwal naratologi; Agus Noor dengan amatannya pada perlakuan atas bahasa dalam cerpen-cerpen Indonesia mutakhir; Lan Fang yang mengangkat permasalahan penulis perempuan etnis Cina; Jamal T. Suryanata yang memaparkan perkembangan cerpen di Banjarmasin; juga tampil sebagai pembicara Korrie Layun Rampan dengan pembacaan warna lokal dalam cerpen Indonesia; Katherine Bandel yang menating perempuan Jawa dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam; eksplorasi tematik cerpen Indonesia mutakhir yang diusung Ahmadun Yosi Herfanda; dan Saut Situmorang yang menyoal cerpen dari konteks politik sastra.
**
SEPANJANG kongres, apa yang diusung oleh Trianto Triwikromo dan Agus Noor bisa disebut mengapungkan berbagai cara pandang yang relatif segar dalam membaca perkembangan Indonesia mutakhir. Pemaparan keduanya paling tidak berkorelasi dengan fenomena yang kini terjadi, yakni perkembangan media, dalam hal ini koran, yang menemukan persinggungannya dengan style ungkap para pengarang. Jika Trianto menating ihwal miskinnya perhatian para pengarang terhadap naratologi di tengah perubahan besar industri media, maka Agus Noor lebih menekan pada bahasa sebagai sebuah kemungkinan eksplorasi dalam cara bercerita cerpen koran.
Naratologi agaknya memang menjadi makhluk baru dalam perbincangan tentang cerpen. Karena itulah sejumlah penanggap cukup gencar mempertanyakan dan mendebat apa yang diusung oleh Trianto Triwikromo ini. Menurutnya, kebanyakan pengarang Indonesia menggunakan "narator luar" untuk menggerakkan cerita. Mengambil contoh sejumlah cerpen seperti "Kado Istimewa" (Jujur Prananto), "Lampor" (Joni Ariadinata), "Laki-laki yang Kawin dengan Peri" (Kuntowijoyo), Trianto menyebut bagaimana di situ narator lebih berperan sebagai pengamat luar yang mengungkapkan pandangan tokoh, atau memberi kesempatan pada tokoh untuk menjadi pembicara tingkat kedua dan menyampaikan pendapatnya dalam kalimat langsung.
"Dalam ‘Lampor’, dengan menggunakan narator luar, Joni menyusupkan pandangan-pandangan, suara ketertindasan orang miskin dalam perilaku tokohnya. Narator luar berpihak pada tokoh-tokoh, sehingga perlawanan dan konflik tak terjadi antarmereka, tapi dengan sesuatu yang lebih besar, kemiskinan," ujarnya.
Dalam pandangannya, strategi penggunaan "narator luar" juga kerap menghadirkan cerpen dengan teknik "aku"-an yang serbatahu, sehingga cara bertutur menjadi monoton karena kompleksitas kurang tereksplorasi. Sebaliknya, seraya menyebut cerpen "Derabat" (Budi Darma), ia memaparkan ihwal "narator dalam" yang bernama "saya". Meskipun "saya" memiliki pandangan khas terhadap hidup, akan tetapi ia tidak menjadi hubungan yang leluasa antara pandangan dan apa yang dipandangnya (focalization). Pandangan-pandangan narator menyusup dalam diri tokoh Matropik dan Derabat.
Sambil mencontohkan "Rashomon" karya Ryonosuke Akutagawa yang menggunakan teknik multinarator/multinarasi, Trianto juga menyebut "Sepi pun Menari di Tepi Hari" (Radhar Panca Dahana) sebagai cerpen yang memiliki tiga narator; "narator luar", "narator dalam" yang terbagi atas "Aku-Arsih" dan "Aku-Gulian". Pandangan narator dengan begitu terbagi dalam tiga tokoh.
"Multinarasi terjadi karena adanya multinarator. Tapi satu hal yang tetap harus kita ingat adalah narator itu bukan pengarang. Ini yang banyak terjadi di Indonesia sehingga cerpen jadi monoton. Pengarang, narator, dan tokoh, adalah dunia yang berbeda," katanya.
Apa yang dipaparkan Trianto memang sangat teknis, bahkan cenderung membuat sejumlah penanggap menjadi bingung, terutama ihwal pemisahan narator dan pengarang.
Lepas dari soal itu, satu hal yang hendak ditekankan oleh Trianto adalah bagaimana lewat naratologi sebuah cerita hadir sebagai dunia dan dirinya sendiri yang terlepas dari campur tangan pengarang. Paling tidak, lewat multinarasi/multinarator cerpen tidak lagi dengan mudah dibebani oleh representasi-representasi ideologi pengarang. Lewat naratologi, pengarang leluasa membangun dunia ceritanya. Dan lewat multinarasi/multinarator inilah, cerpen bisa menyiasati kehadirannya di tengah mediamorfosis dan penyempitan mobilitas teks.
Strategi penghadiran cerpen atas perubahan media sehingga tidak menjadi penjara media, juga persinggungannya ditemukan dalam apa yang diusung oleh Agus Noor. Dengan mengamati apa yang disebut dengan cerpen koran, ia menengarai bagaimana para cerpenis Indonesia mutakhir memperlakukan bahasa, sehingga cerpen tidak melulu hidup dalam keyakinan sebagai representasi dari realitas yang aktual, yang oleh Budiarto Danujaya disebut sebagai realitas koran.
Dalam pandangannya, cerpen Indonesia mutakhir hari ini seperti yang banyak dipublikasikan lewat media koran, adalah cerpen karya para pengarang yang digelisahkan oleh dua hal, yakni kegelisahan untuk mengatasi bahasa dan kegelisahan menemukan cara bercerita. Paling tidak, inilah yang ditemukannya dalam sejumlah cerpen karya Gus tf Sakai, Hudan Hidayat, Radhar Panca Dahana, Puthut EA, A.S. Laksana, Eka Kurniawan, Azhari, Raudal Tanjung Banua.
Selain sebagai upaya untuk melepaskan diri dari "realitas koran", para cerpenis juga agaknya hendak melainkan dirinya dari style ungkap realisme yang banyak muncul dari generasi 1970 dan 1980-an, di mana cerita (meminjam ungkapan Nirwan Dewanto) telah menenggelamkan bahasa. Pilihan dan kegelisahan ini bukanlah tanpa risiko, sebab mengembalikan cerita pada kekuatan bahasa kerap melenyapkan perwatakan yang menyebabkan cerpen Indonesia hadir dalam sinyalemen "tokoh yang menghilang".
Namun seraya menghindari berbagai risiko yang mengintainya, di antara kedua kegelisahan inilah cerpen Indonesia mutakhir bergerak hadir untuk menghasilkan sebuah dunia bahasa. Melakukan pembacaannya terhadap fenomena inilah, Agus Noor sampai pada kesimpulan bahwa pertumbuhan cerpen periode mutakhir ini memperlihatkan pencapaian inovatif yang jauh lebih matang ketimbang bermacam "eksperimentasi bentuk visual" yang terjadi tahun 1970-an. Yang terjadi kini, pencapaian estetis lebih memberi peluang penafsiran melalui cara berbahasa dan bercerita. (Ahda Imran)
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 November 2007
No comments:
Post a Comment