JAKARTA (Media): Untuk memajukan kebudayaan Indonesia perlu sebuah 'pertengkaran'. Tujuannya agar lahir kreativitas di masyarakat multikultur seperti Indonesia, pada akhirnya bisa menciptakan sikap kritis terhadap kebudayaan sendiri.
Pendapat itu dikemukakan oleh budayawan Edi Sedyawati dalam bedah buku sekaligus peluncuran buku karyanya yang berjudul Keindonesiaan dalam Budaya, di Jakarta, Rabu (14/11).
Peluncuran buku tersebut dihadiri sejumlah tamu undangan antara lain Rosihan Anwar, Melly G Tan, Sabar Martin Sirait, dan Djadjat Sudradjat.
Acara yang dimoderatori oleh Andi Makmur Makka itu menampilkan pula Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara mendampingi Edi Sedyawati.
Lebih lanjut Edi mengatakan multikulturalisme di Indonesia relatif mudah dikembangkan daripada di Amerika Serikat, Kanada, atau Australia. Penyebabnya keberagaman suku di Indonesia yang merupakan suku asli Indonesia.
Sementara di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia terdapat beragam suku pendatang, asalnya adalah suku pengembara yang datang untuk menundukkan penduduk setempat.
Dengan keberagaman suku asli Indonesia itu semakin memperkaya multikulturalisme yang telah lama berjalan di Indonesia.
''Meski sudah berjalan lama, multikulturalisme sering dipahami sebagai pandangan yang mengakomodasi segala nilai tanpa ada pertengkaran budaya yang segar,'' jelas arkeolog Universitas Indonesia itu.
Pendapat Edi ditanggapi oleh Sapardi. Ia membenarkan bahwa untuk memajukan kebudayaan Indonesia, masyarakat perlu 'bertengkar' terus-menerus. ''Tanpa ada pertengkaran tidak akan ada kreativitas. Sebab dalam kesenian, kebudayaan itu adalah pertengkaran.''
Ia menjelaskan 'pertengkaran' yang dimaksud adalah dialog kritis antarkebudayaan yang berfungsi sebagai upaya saling memengaruhi antarsuku.
Hegemoni kebudayaan
Dalam kesempatan itu sejumlah hadirin ikut pula memberikan komentar atas paparan yang disampaikan Edi Sedyawati dan Sapardi. Deputi Direktur Pemberitaan Media Indonesia Djadjat Sudradjat mengungkapkan proses akulturasi pada akhirnya tergantung pada sikap individu. Ia melihat dalam proses pemilihan itu, individu punya kebebasan penuh untuk menentukan budaya suku mana yang akan dipilih sebagai pandangan hidupnya.
Sayangnya kebebasan individu untuk memilih itu tidak sepenuhnya benar. Seperti dikemukakan oleh Sabar M Sirait yang melihat kegagalan pemerintah dalam membingkai multikulturalisme budaya Indonesia. ''Sehingga yang terbentuk adalah sikap-sikap fatalis yang marak di kalangan birokrat.''
Pendapat itu dibenarkan oleh sosiolog Melly G Tan. Ia menyindir keras dominasi Jawa dalam fakta kebudayaan Indonesia. ''Hegemoni kebudayaan tidak boleh terjadi. Dari bahasa hingga busana Indonesia didominasi oleh kelompok Jawa, sehingga orang-orang non-Jawa merasa terasing,'' ungkapnya seraya mempertanyakan ulang makna Indonesia dalam khazanah kebudayaan nasional. (CS/H-3).
Sumber: Media Indonesia, Jumat, 16 November 2007
No comments:
Post a Comment