GARASIi di rumah mungil itu dipenuhi rangkaian bunga, tanda ucapan dukacita. Namun, rumah duka itu sunyi senyap. Hanya ada dua polisi dan seorang petugas satpam kompleks yang berjaga. Setiap kali kiriman bunga datang, petugas satpam tergopoh-gopoh menerimanya.
"Enggak ada siapa pun di rumah ini. Bapak tinggal sendiri. Jadi saya harus jaga di sini untuk menerima kiriman bunga," kata Lahuri, petugas satpam di perumahan dosen Universitas Indonesia (UI) di Ciputat, Tangerang, Kamis (22/11).
Pemilik rumah itu, guru besar antropologi UI, Prof Dr Parsudi Suparlan (70), pagi itu ditemukan telah meninggal dunia di kamarnya. Jenazah Parsudi ditemukan oleh tiga polisi dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang hendak menjemputnya. Pagi itu sedianya Parsudi akan menjadi pembicara pertama dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Polri di Hotel Aryaduta, Jakarta. Parsudi yang tak memiliki kendaraan bermotor ini sengaja dijemput pihak panitia.
Komisaris Bakharuddin, salah satu anggota panitia seminar, mengatakan, pihaknya sempat berusaha menelepon Parsudi, tetapi tak ada jawaban. Peraih gelar doktor dari University of Illinois, Amerika Serikat, ini juga mengajar di PTIK, sekaligus Staf Ahli Kepala Polri Bidang Antropologi.
Minggu lalu Parsudi mengirimi Bakharuddin pesan singkat (SMS). "Ia bilang tak bisa ikut ke seminar di Bangka Belitung. Katanya, ia sakit karena jarinya teriris pisau. Sejak itu saya tak ada kontak lagi dengan Pak Parsudi," ungkap Bakharuddin.
Tidak ada jawaban
Lahuri bercerita, ketiga polisi penjemput dari PTIK datang sejak pukul 06.00. Mereka mengetuk rumah berkali-kali, tetapi tak ada jawaban. Dari luar terdengar suara dari televisi yang menyala. Hingga pukul 08.30 tak ada kejelasan keberadaan Parsudi.
Karena curiga, pintu rumah akhirnya didobrak. Mereka lalu menemukan tubuh Parsudi di lantai di kamar tidurnya dalam keadaan tak bernyawa. Polisi memperkirakan Parsudi telah meninggal sejak beberapa hari sebelumnya. Penyebab kematiannya masih belum diketahui.
Lahuri mengenang Parsudi sebagai sosok yang unik. Parsudi dikenalnya sebagai dosen eksentrik.
Menurut Lahuri, sekitar empat bulan lalu sebenarnya ada seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di rumah Parsudi. Namun, sejak PRT itu keluar, Parsudi praktis mengurus dirinya sendiri.
"Pembantu dulu cerita, Bapak itu cuek banget sama dirinya sendiri. Makan enggak teratur, saban malam kerjanya di depan komputer atau baca buku terus. Hobi lainnya, ya berkebun. Jam dua pagi saja bisa berkebun," ujar Lahuri.
Jenazah pria kelahiran Jakarta, 3 April 1938, itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati untuk divisum. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Polri di Cikeas, Bogor, jenazah Parsudi sempat dimampirkan untuk disemayamkan sejenak di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Depok. Salah satu anaknya, Suandini Suparlan, yang tinggal di AS, akan tiba hari Minggu lusa.
"Ia, kakak yang kami hormati dan sayangi," demikian ungkapan rasa kehilangan dari Sutardi Suparlan (69), adik kandung Parsudi. Parsudi adalah anak tertua dari delapan bersaudara.
Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI Iwan Tjitradjaja, yang masuk sebagai mahasiswa Antropologi UI tahun 1977, masih mengingat gaya Parsudi mengajar. "Selalu ada rokok di tangannya. Kemudian, ia menerangkan dengan panjang, runtut, sampai menciptakan keheningan," kenang Iwan.
Setelah pensiun pada tahun 2005, Parsudi tetap menjadi guru besar emeritus yang membimbing para mahasiswa program doktoral di beberapa program pascasarjana di lingkungan UI, termasuk di Pusat Kajian Perkotaan, Kajian Wilayah Amerika, dan Kajian Ilmu Kepolisian.
Parsudi dimakamkan di hadapan para sahabat, rekan kerja, mahasiswa, dan mantan muridnya. Di antara para pelayat tampak Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, kerabat, dan rekan almarhum. Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri hadir saat jenazah disemayamkan di UI.
Kepergian Parsudi Suparlan menjadi kehilangan yang besar bagi para koleganya sesama antropolog dan sahabat. Ada yang sempat merasakan menjadi mahasiswa Prof Parsudi dan terkenang dengan kepulan asap rokok beliau di ruang kuliah. Banyak orang yang berubah jalan hidupnya karena sang profesor.(SF/MUK/INE)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007
No comments:
Post a Comment