BANGSA Indonesia tengah dilanda krisis dari berbagai bidang. Mulai dari ekonomi, politik, hukum, hingga budaya. Pada saat yang sama, manusia Indonesia justru saling bertengkar dan saling cakar sesama. Kurusuhan pun terjadi di mana-mana. Padahal tidak sedikit negeri ini melahirkan orang terdidik.
Menyadari bahaya besar itu, bangsa Indonesia harus kembali mengembangkan nilai-nilai luhur dan merawat hati nurani serta akal budi untuk menata masa depan yang lebih indah. Hanya dengan akal budi itu, bangsa Indonesia dapat memuliakan manusia dan kemanusiaan. Persaudaraan kemanusiaan perlu semakin dikembangkan, karena sesama manusia saling membutuhkan sehingga perlu saling menghargai dan saling menyantuni.
Demikian kutipan Pidato Kebudayaan yang dibacakan Kiai D Zawawi Imron di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, TIM, Jakarta, Rabu (28/11) malam. Pidato Kebudayaan tersebut disampaikan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Pusat Kesenian Jakarta, TIM yang tahun ini mengangkat tema "Spiritualime dan Kebebasan Berkesenian".
Dikatakan, akhir-akhir ini, Indonesia telah mengalami proses pendangkalan spiritual dan moral, termasuk kehidupan beragama. Penghayatan agama jika tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai sujud jiwa kepada Sang Pencipta dan upaya membersihkan hati, semarak kegiatan agama belum menyentuh esensi agama. Namun yang terjadi adalah pendangkalan rohani.
Proses pendangkalan rohani pada akhirnya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang rohaninya kering kerontang. Menyadari pendangkalan itu sebagai bahaya, barangkali sudah saatnya, bangsa Indonesia mengangkat kembali nilai-nilai luhur.
Dengan penghayatan rohani, manusia dapat menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita. Betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain. Maka sangat sehat, jika ada pendapat yang menyebutkan setiap manusia beriman itu bersaudara.
Berbuat sesuatu yang menyenangkan orang lain adalah tindakan santun yang esensinya adalah kepahlawanan. Tidak mungkin membangun kehidupan yang tenteram dengan saling mencurigai-saling fitnah serta kebuasan seperti dalam kehidupan binatang.
Kehidupan Seniman
Di sisi lain, pidato Zawawi Imron juga menyinggung kehidupan seniman. Dikatakan, kefasihan estetik adalah hasil dari proses kreatif para seniman untuk mengekspresikan diri dalam karya-karya yang sesuai dengan bakat-bakat pribadinya.
Proses oleh pikir dan rasa seniman dalam membawa suara kehidupan adalah penghormatan dan rasa syukur sang seniman atas anugerah Tuhan. Disadari atau tidak, proses kreatif adalah langkah yang ditempuh untuk menyampaikan rasa syukur.
Namun ketika karya seni itu berhadapan dengan masyarakat, sebuah karya ladang disalahpahami sehingga berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, bahkan pemasungan. Sebuah hasil kreatif yang dipersembahkan kepada masyarakat dan kemanusiaan ternyata harus dikuburkan. Namun karya seni sebagai suara kebenaran estetik dan sebagai suara kemanusiaan sulit untuk dikubur.
Ada juga kabar karya sastra yang dilarang namun justru lebih banyak dibaca orang dengan digandakan dengan memakai fotokopi. Sebuah karya sastra yang dilarang semakin menarik dan menggoda untuk dibaca. Berbeda dengan lukisan dan patung yang kalau dibakar akan habis riwayatnya. Tetapi bagaimanapun sang seniman akan merasakan kepedihan.
Oelh karena itu, kebebasan dan pemberian ruang yang luas kepada karya-karya kreatif adalah penghargaan kepada kemanusiaan. Dalam iklim berkesenian yang sehat, biarlah sang seniman itu sendiri melakukan pencekalan bagi dirinya. Dia sendiri yang tahu untuk berbuat dan tidak berbuat. Kearifan kemanusiaan serta kedekatan kalbu seorang seniman dengan Tuhan yang berupa kecerdasan spiritual, akan melahirkan karya-karya yang bukan hanya menyenangkan tetapi mencerdaskan dan mencerahkan.
Lebih lanjut dikatakan, kemanusiaan akan terasa indah jika dalam merumuskan tidak selalu dengan kata-kata. Perbuatan-perbuatan santun yang membuat diri dan orang lain merasa enak dan nyaman, meskipun itu dilakukan oleh seorang bisu, akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata. [U-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis 29 November 2007
No comments:
Post a Comment