-- Kurniasih*
Ada kalangan yang menganggap bahwa kehadiran sastra Islam muncul bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru. Padahal, sastra Islam selalu diperdebatkan jauh sebelum tumbangnya Orba.
Mengapa kini terdengar nyaring? Apakah hanya akal-akalan industri penerbitan?
Wajah sastra Islam, terkait erat dengan pembedaan dua kutub, seni tinggi (seni adiluhung) dan seni rendah (budaya massa).
Seni tinggi
Sastra Islam, secara umum dipahami sebagai karya-karya yang mampu menggugah kesadaran ketuhanan. Namun, bagi Kuntowijoyo, pemahaman tersebut belumlah sempurna. Kuntowijoyo tampaknya ingin mengejawantahkan prinsip habluminallah dan habluminannas ke dalam kaidah sastra profetik (istilahnya) ini. Alasannya adalah selain untuk hubungan secara transenden, sastra profetik pun berfungsi untuk hubungan secara horizontal.
Untuk menciptakan hubungan antara manusia secara transenden dan horizontal terdapat kaidah umum. Sastra profetik bermaksud melampaui keterbatasan akal pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Caranya adalah dengan mengambil pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas serta memilih epistomologi strukturalisme transendental. Kedua cara tersebut penting karena cara pandang manusia terhadap realitas harus senantiasa diperluas agar tidak terjebak pada cara pandang yang sempit serta parsial.
Kitab-kitab suci, yang selalu dipergunakan oleh umatnya sepanjang masa, mampu menawarkan cara pandang yang jauh dari naif. Hal tersebut tampak ketika kisah seorang nabi ditelusuri dan dipelajari. Kisah perjalanan hidup para nabi senantiasa mencerahkan pembacanya karena baik secara logika dan fenomenanya tidaklah naif.
Bagaimanakah cara memahami kehadiran seorang nabi yang tubuhnya sedemikian menjijikkan seperti halnya Nabi Ayub? Sangat tidak mudah memahami kehendak Allah dalam menyajikan kehidupan seorang nabi yang demikian. Begitu pula dengan pekerjaan Nabi Nuh a.s. dalam membangun bahtera selama ratusan tahun. Dibutuhkan keberanian cara memandang dan berpikir bahwa mereka berdua adalah nabi.
Ekstremitas yang dihadirkan dalam kehidupan para nabi, setidak-tidaknya adalah meruntuhkan jalan pikiran bahwa hidup ini sederhana. Cara berpikir simplisistik bagi manusia mana pun tidaklah dibenarkan karena kehidupan selalu membutuhkan keluwesan cara pandang.
Wajah lain dari sastra Islam adalah sastra suluk. Sastra suluk adalah khazanah susastra Jawa yang sangat penting, yang juga punya kontribusi terhadap susastra Indonesia modern. Sastra suluk adalah sastra yang dihasilkan oleh seorang pejalan (pesuluk) dalam menyempurnakan agamanya. Melalui aspek yang paling mendasar dari agama Islam, syariat, untuk kemudian merayap pada tahapan takrifat, hakikat, dan makrifat. Semua tangga tersebut ditempuhnya dengan susah payah. Sehingga secara umum sastra suluk disebut sebagai susastra Jawa-Baru yang bernapaskan Islam. Salah satu contohnya adalah suluk Sujinah, yang berbentuk dialog antara pendeta Purwaduksina dan istrinya Ken Sujinah mengenai asal mula, kewajiban, tujuan, dan hakikat hidup menurut agama Islam.
Jenis sastra suluk ini lebih banyak tersimpan di perpustakaan-perpustakaan sastra saja. Yang lebih modern, bentuk dan prosesnya berbeda, yaitu cerita pendek dan hasil dari karangan penulisnya. Contohnya, karya-karya yang ditulis Danarto dan Emha Ainun Nadjib.
Seni rendah
Masyarakat massa terbentuk melalui kekuatan teknologi (mekanisasi, industrialisasi), organisasi ekonomi (pabrik, pasar, advertensi), diferensiasi sosial (kelas, suku, agama), mobilisasi politik (negara, partai), dan budaya (sport, musik pop, pendidikan, media massa).
Dari masyarakat massa itu dihasilkanlah budaya massa, yang merupakan produk dari mayoritas yang "tak berbudaya", berbeda dengan budaya adiluhung yang dihasilkan oleh elite.
Budaya massa ini pun merambah sampai ke dunia sastra Islam. Kategori buku bagus adalah buku yang laku di pasaran semata. Sebuah buku semata-mata hanya dinilai dari aspek pasarnya. Inilah karakteristik budaya massa, di mana yang penting adalah konsumen menyambut dengan meriah walaupun isinya dangkal sama sekali. Gejala tersebut pun merambah sampai ke sastra Islam, yang akhirnya menjadi merek dagang, di mana nilai yang ditujunya adalah konsumen semata.
Dengan alasan best-selling, sebuah karya mampu meraup penghargaan padahal di dalamnya nilai-nilai Islam yang jauh lebih tinggi dan luhur kemudian direduksi menjadi seperti kisah sinetron Islami, yang sangat tidak bercirikan kemuliaan Islam. Hawe Setiawan dalam selisiknya menyebutkan salah satu novel Islami, Ayat-Ayat Cinta sebagai bagian dari gerakan industrialisasi.
Ciri budaya massa yaitu narsistik pun sangat kental terlihat di dalamnya. Misalnya penggambaran tokoh utama yang mirip profil penulisnya. Di dalam kisahnya sendiri cerita dipusatkan kepada "Aku" dengan berbagai kesempurnaannya, yang sering kali tidak manusiawi. Narsistik ini menjadi gaya khas budaya massa terutama yang basisnya kebanyakan pemuda. Eforia dan emosional adalah ciri khasnya pula. Menurut Adorno, inilah konsekuensi ketika manusia sehari-harinya bergelut dengan keruwetan dunia mesin. Sehingga muncul masa di mana dia menjadi sangat perlu untuk merayakan diri sendiri, narsistik.
Kompleksitas realitas seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab suci pun jauh dari tersentuh. Sosok-sosok nabi pun direduksi tinggal menjadi kulitnya saja, bukan pada upaya mereka yang sangat keras dalam menjalani fase menjadi utusan Allah. Keluhuran kehidupan para nabi direduksi menjadi sangat duniawi, horizontal sekali.
Ciri seperti itulah pula yang dijual di dalam karya-karya yang secara sengaja diberi merek sastra Islam oleh kalangan industri dengan topeng "untuk dakwah". Umat Islam, terutama kalangan pemudanya dianggap hanya orang-orang naif yang hanya mampu mengecap, mencerna agama secara sangat artifisial.
Benarkah demikian adanya? Saya curiga, jangan-jangan pembaca buku kita itu tidak punya banyak pilihan, padahal mereka sebenarnya haus dengan bacaan yang lebih mencerdaskan. ***
* Kurniasih, pengajar di Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Anggota Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB. Penulis Kumpulan Cerita Pendek "Kembang Kertas" terbitan Jalasutra.
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 November 2007
No comments:
Post a Comment