Monday, February 12, 2007

Sobron "Sisa Fosil" Meninggal Dunia

Sobron Aidit [Foto: Radio Netherland]


Sobron Aidit adalah penyair produktif. Pria kelahiran Tanjung Pandan, Belitung itu, meninggal sebagai warga negara Prancis di Paris, Sabtu (10/2) lalu, pada usia 73 tahun. Pada usia senjanya, ia tetap aktif mengikuti perkembangan dunia sastra di Indonesia.

Ia terus berkarya. Beberapa waktu yang lalu, ia menerbitkan Surat kepada Tuhan: Memoar. Sebelumnya ia menerbitkan, Gajah di Pelupuk Mata: Memoar Sobron Aidit, Kisah Intel dan Sebuah Warung, Cerita dari Tanah Pengasingan, dan Razia Agustus: Kumpulan Cerpen.

Sabtu malam lalu, beredar pesan pendek yang mewartakan kematiannya. Beberapa milis buku, sastra, dan media juga mengabarkan kematiannya. Ia diwartakan meninggal dunia di Paris akibat gangguan jantung, Sabtu itu.

Kepastian mengenai kematiannya disampaikan Murad Aidit, kakaknya yang berdomisili di Depok, Minggu (11/2). " Saya sudah mendapat kepastian kematiannya semalam dari beberapa kerabat dan sahabat. Kemungkinan besar ia dimakamkan di Paris. Ia memang lama tinggal di Paris sejak pindah dari Republik Rakyat China setelah Revolusi Kebudayaan melanda China," kata Murad, yang mengaku bertemu saudara lain ibu itu Januari lalu di Jakarta dan Depok.

Beberapa forum sastra dan media di internet menunjukkan, kurang dari dua minggu sebelum meninggal, Sobron masih mengirimkan puisinya yang berjudul "Aku". Judul puisinya jelas sama dengan karya Chairil Anwar. Penggalan puisinya, Aku adalah sisa fosil dari generasi yang hilang/Tapi nafsu hidupku sulit layu - terus berkembang/ Tak mau hidup seratus tahun lagi/ Terla- lu banyak menyusahkan orang/Kuburan kami ada di mana-mana/Ada di pelosok dan pojok-pojok dunia/Kami dulu adalah anak-anak Nusantara/ Tapi terusir- terpinggir-tak bertanah-air/ Rasa rindu-kangen-sudah tak tajam lagi/ Tanah-air kami adalah kebebasan itu sendiri...

Terancam

Sobron yang tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia setelah peristiwa G 30 September 1965. Sejak peristiwa politik yang mengantarkan Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia hingga kejatuhannya pada 1998 Sobron merasa keselamatannya terancam jika datang ke Indonesia.

Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari statusnya sebagai adik DN Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menurut Orde Baru merupakan pelaku G 30 September. "Kematian Aidit hingga kini masih menjadi misteri. Saya sendiri pernah menjalani penyekapan dan penahanan tanpa pengadilan selama pemerintahan Orde Baru. Jadi kekhawatiran Sobron itu sangat berasalan," Murad menambahkan.

Saat peristiwa G 30 S, Sobron tengah memenuhi undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing. Saat peristiwa Revolusi Kebudayaan melanda China, ia mengungsi ke Prancis dan kemudian menjadi warga negara Prancis. Di Paris ia membuka restoran Indonesia bersama para sahabatnya. Belakangan ia sering datang ke Indonesia untuk berbagai keperluan keluarga dan buku-bukunya.

Sobron lahir pada 2 Juni 1934. Sejak remaja ia sudah rajin mengarang. Karya pertamanya dibuat saat ia berusia 13 tahun berupa cerita pendek berjudul Kedaung yang diterbitkan Majalah Waktu di Medan.

Setelah tinggal di Jakarta ia banyak mendapat bimbingan dari penyair ternama, Chairil Anwar. Puisi dan cerita pendeknya kemudian banyak dimuat di majalah Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra yang semuanya diasuh HB Jassin.

Selain menjadi penyair dan penulis cerita, Sobron juga pernah menjadi wartawan Harian Rakjat dan Bintang Timur. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof Dr Prijono, dan kemudian bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958). [A-14]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 12 Februari 2007

No comments: