-- Irma Tambunan
GERAK tari dinamis yang silih berganti ditampilkan para penari perempuan dan laki-laki di Bukit Benderang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, pertengahan Januari lalu. Tari Zapin Rantak Putri itu tak banyak berubah dari masa-masa silam. Para orang tua tampak bergembira dan seakan bernostalgia.
Sebagian besar laki-laki tua yang hadir dalam ritual adat cukuran pertama seorang bayi di daerah Melayu pesisir timur itu mengenakan teluk belanga, sedangkan kaum perempuan mengenakan baju kurung. Mereka duduk setengah mengelilingi para penari. Acara itu dilengkapi iring-iringan genderang pemain musik kumpangan.
Penutup
Tari Zapin Rantak Putri dipersembahkan sebagai hiburan penutup ritual cukuran pertama anak sesuai dengan adat Melayu pantai timur Jambi.
Acaranya sangat meriah dan terkesan sedikit mewah. Pengundangnya kala itu adalah bupati setempat, Abdullah Hich. Cucunya yang masih berusia dua tahun, si bujang, setelah dicukur rambutnya, kemudian mendapat nama menurut agama Islam: Muhammad Falino.
Tari Zapin itu sebenarnya merupakan gambaran akan dinamika kehidupan agama yang dipadu dengan kehidupan modern. Ini biasanya dipersembahkan pada ritual adat Melayu dan melekat dengan nilai-nilai keagamaan. Musik yang mengiringi pun kental dengan bahasa Melayu dan bernuansa islami.
Pada ritual cukuran, ibu dan nenek dari keluarga terdekat serta sejumlah tokoh perempuan yang dihormati berkesempatan membuai si kecil yang diletakkan dalam ayunan. Tiang ayunan itu disiapkan khusus. Tingginya lima meter, dibungkus dengan kain berwarna merah berselang seling hijau, dan dikelilingi rangkaian bunga.
Membuai sang anak dalam ayunan inilah yang menjadi lambang besarnya kasih ibunda. Pada saat perempuan dewasa yang ditunjuk mulai membuai ayunan dengan menggoyang-goyangkan kain panjang yang terikat pada ayunan, akan tampaklah ungkapan rasa sayang yang lebih besar lagi dari sosok ibu.
Ini juga tergambar dalam kehidupan sehari-hari, yakni tatkala buaian ayunan dirasakan anak-anak sebelum mereka memiliki kamar sendiri.
Di sisi lain tampak berbagai bahan makanan dan perlengkapan disiapkan pihak keluarga, seperti gunungan hasil bumi, nasi kuning, tepung tawar, kalung emas, kelapa muda, telur, dan emas. Semuanya punya makna masing-masing. Kelapa muda, misalnya, menjadi penangkal roh jahat. Air menjadi penyegar bagi kehidupan si anak. Emas merupakan doa bagi si anak supaya hidup sejahtera di kemudian hari.
Kerinduan
Cukuran adalah salah satu dari sejumlah rangkaian ritual adat Melayu. Ritual adat biasanya dilaksanakan untuk mengiringi perubahan fase hidup manusia, mulai saat dia lahir, kanak-kanak, dewasa, menikah, hingga meninggal. Selain cukuran, ada juga ritual cuci lantai yang berlangsung 40 hari setelah si bayi lahir, tasmiyah (perubahan nama secara Islam), naik ayunan, khitanan, dan pernikahan.
Ritual yang lengkap dengan hiburan ini sesungguhnya telah puluhan tahun dilupakan. Karena itu, ketika Abdullah Hich kembali menyelenggarakan upacara cukuran untuk cucunya itu, kerinduan masyarakat untuk kembali melaksanakan tradisi Melayu pesisir ini terasa bangkit.
Ketua Lembaga Adat Tanjung Jabung Timur, Bujang Mutu, menyatakan, mereka begitu antusias untuk kembali menyelenggarakan prosesi adat. Gotong royong dalam upacara tersebut pun muncul begitu saja. Beberapa hari sebelum ritual dilaksanakan, anggota-anggota lembaga adat berkumpul menyusun acara dan tertib adat.
Buku-buku lama yang terkait dan sebagai panduan untuk kegiatan prosesi itu dibaca kembali. Bujang Mutu kemudian menunjukkan satu buku pidato adat, Adat bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah yang dibuat almarhum Hasan Ali, yang pernah jadi pemuka agama setempat. Beberapa panduan yang dituturkan dalam buku itu sangat mirip dengan yang berlaku pada adat Minang. Namun, menurut Bujang Mutu, upacara ini lebih mengacu pada adat Melayu dari rumpun Malaysia.
Buaian ayunan dari sang ibu untuk anaknya, diiringi lagu-lagu yang sarat harapan, menyimbolkan bahwa si anak kelak akan tumbuh menjadi sosok dewasa yang berakal budi, patuh kepada orangtua, dan melaksanakan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan ajaran agama.
Syair-syairnya bagai sebuah pantun, seperti pada salah satu lagu berbunyi demikian:
"Kilau cahaye emas permate,
Di dalam peti ukir Jepare
Jadilah anak penghias mate
Pandai berbakti pada ayah bunde."
Masyarakat pantai timur Jambi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur memang masih lekat dengan budaya Melayu dari Semenanjung Malaka. Menurut Bujang Mutu, sebagian besar penduduk di sana adalah warga pelarian dari Malaka, yang diperkirakan terjadi pada tahun 1600-an. Saat itu pernah terjadi konflik di wilayah Malaka sehingga masyarakat di Malakka, Negeri Sembilan, dan Johor Bahru mencari perlindungan ke tempat yang aman dengan menyeberangi lautan. Sebagian dari mereka berhasil menjejaki pesisir timur Jambi, lalu menetap di sana dengan mata pencarian sebagai nelayan.
"Sekitar 50 persen warga Tanjung Tabung Timur adalah keturunan Melayu," katanya.
Adat yang hidup di negeri seberang itu pun kemudian mereka budayakan di wilayah yang baru mereka datangi. Namun, dalam perkembangannya, sejumlah prosesi adat mulai ditinggalkan.
Menurut Hasan Basri, warga masyarakat adat Tanjung Jabung Timur, hampir 30 tahun upacara cukuran dan buaian ayunan menghilang. Hal ini diperkirakan karena masyarakat mulai menganggap ritual tersebut membebani secara ekonomi.
"Memang kebanyakan yang dapat menyelenggarakan upacara cukuran dan ayunan adalah masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas. Namun, sesungguhnya masyarakat biasa pun dapat melaksanakannya, dengan cara yang lebih sederhana," ucapnya.
Ia melanjutkan, lembaga adat tengah berupaya mengangkat kembali ritual-ritual semacam ini, sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya Melayu pesisir. Syair-syair mulai dikumpulkan lagi sehingga menjadi koleksi pilihan pada acara-acara adat di masa mendatang. Mereka berharap nilai-nilai luhur dalam budaya dapat tetap hidup dalam masyarakat keturunan Melayu pesisir.
Sumber: Kompas, Senin, 19 Februari 2007
No comments:
Post a Comment