-- Edi Sedyawati*
PERGAULANKU akhir-akhir ini dengan ketoprak, suatu ragam teater populer tradisional Jawa, menarikku kembali kepada suatu masalah dalam dunia pembentukan teks, yaitu ruang-ruang perkaitan antara histori dan fiksi.
Histori, atau sejarah, sebagaimana dipahami dalam ranah ilmu pengetahuan, adalah suatu bidang ilmu yang mengkaji kejadian-kejadian masa lalu beserta para pelaku dan berbagai konteksnya, dengan menggunakan sumber-sumber data secara kritis.
Di luar ilmu pengetahuan, suatu inti informasi historis dapat dijadikan bahan, atau sumber ilham, untuk menciptakan suatu karya sastra. Baik untuk dibaca saja atau untuk dimainkan sebagai pertunjukan teater ataupun suatu garapan film.
Karya sastra ataupun skenario untuk teater atau film adalah karya fiksi, yang digerakkan oleh imajinasi kreatif penulisnya. Memang tidak dituntut pertanggungjawaban ilmiah dari seorang sastrawan. Ia hanya harus menjaga integritasnya dengan tidak melakukan "penganiayaan" terhadap data historis, meski ia bebas melakukan interpretasi dan pengembangan.
Kesesatan awam
Anggapan seperti itu, ’sesuatu yang tertulis membuktikan kebenarannya’, yang banyak diyakini di kalangan awam, tentulah dapat menyesatkan. Seorang yang meneliti sejarah harus mengawali pekerjaannya dengan melakukan tinjauan kritis terhadap sumber-sumbernya. Untuk sumber yang tertulis perlu lebih dahulu didudukkan: apa tujuan penulisannya, siapa penulisnya, serta apa konteks sosial-ekonomik-budaya-keamanan yang mengitari penulisan sumber tersebut. Sumber lisan pun perlu dikenai kritik sumber yang serupa.
Anggapan bahwa ’yang tertulis pasti benar’ itulah yang banyak dikenakan terhadap historiografi tradisional, yaitu paparan yang diposisikan sebagai bersifat kesejarahan di dalam sastra tradisional. Tambo pada orang Minang dan babad pada orang Jawa adalah contohnya. Setelah dirujuk-silang dengan sumber- sumber lain, telah ditunjukkan bahwa sejumlah informasi di dalam kitab-kitab babad, misalnya Babad Tanah Jawi, mengandung kebenaran sejarah.
(Periksa kajian-kajian MC Ricklefs tentang sejarah Jawa. Meskipun di bagian-bagian lain paparannya bersifat ’membangun mitos’, misalnya pertemuan Senapati di pantai selatan dengan Sunan Kalijaga yang memberinya kewenangan memerintah Tanah Jawa, dan perjalanan Senapati menemui Ratu Kidul, ’pasangan kosmiknya’, di dalam istananya di samudra di sebelah selatan Pulau Jawa itu).
Anggapan semacam itulah yang membawa orang Jawa (yang bukan sejarawan!) cenderung melihat cerita ketoprak sebagai "sejarah", padahal sebenarnya itu adalah fiksi ’kesejarahan’. Artinya, sedikit banyak memang mengacu fakta sejarah tertentu, tetapi ’jalannya cerita’ beserta segala detailnya adalah hasil imajinasi kreatif: fiksi. Namun, tidak dapat diabaikan pula kenyataan lain bahwa dalam kebudayaan tradisional dapat juga dikenal ragam teks yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai ’dokumen’, yang lebih bersifat catatan daripada fiksi.
Yang paling lugas adalah prasasti: isinya maklumat penguasa mengenai ketentuan yang harus ditaati semua pihak. Golongan teks lain yang bersifat ’dokumen’ adalah teks-teks sastra yang berisi petunjuk atau manual berkenaan dengan bidang kegiatan tertentu. Misalnya petunjuk penyusunan puisi seperti Wrttasañcaya, atau petunjuk arsitektur seperti Astakosali, ataupun berbagai kitab Usada mengenai obat-obatan dari Bali.
Lebih rumit lagi adalah kenyataan bahwa ada karya susastra, berbentuk puisi, berbahasa Jawa kuno dari masa Majapahit, tetapi kandungan isinya adalah cacatan sejarah. Itu adalah kakawin Negarakertagama, yang mengungkapkan perjalanan Raja Hayam Wuruk berkeliling negerinya sambil mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dan mengenai masing-masing monumen bersejarah diberikan catatan kesejarahan.
Contoh fiksi kesejarahan masa lalu juga dapat ditemukan pada "kidung", seperti Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Sundayana, yang sepenuhnya bersifat fiksi meskipun tokoh-tokoh pelaku tertentu di dalamnya adalah tokoh historis.
Rekaman konteks
Tinjauan mengenai karya sastra mungkin tetap harus membedakan sastra tradisional dan sastra modern. Sastra modern jelas didudukkan sebagai fiksi, sedangkan sastra tradisional dengan tema kesejarahan seringkali dianggap orang sebagai ’sejarah’ meskipun sesungguhnya adalah fiksi juga.
Adalah hubungan emosional dengan peristiwa ataupun tokoh sejarah tertentu yang mendorong seorang sastrawan (modern maupun tradisional), dramawan, atau penulis skenario menuliskan karya yang mengandung di dalamnya acuan kepada tokoh atau peristiwa sejarah tertentu. Begitulah kiranya para penulis sastra kidung yang telah disebut di muka, ataupun William Shakespeare yang menulis Julius Caesar, atau Albert Camus menulis Caligula, dan lainnya.
Agak berbeda ketika Emmanuel Robles menulis Montserrat, Teguh Karya menulis November 28, ataupun Pandir Kelana menulis Suro Buldog. Dalam karya- karya mereka itu, tokoh-tokoh sejarah seperti Simon Bolivar, Diponegoro, dan Bung Karno ditampilkan "in absentia": disebut namanya, dihadirkan semangatnya, tetapi tidak dimunculkan sebagai peran dalam cerita. Karya-karya seperti itu, meski pada hakikatnya fiksi, tetapi di dalamnya mengandung rekaman yang mempunyai nilai sebagai ’catatan sejarah’ mengenai jiwa zaman, atau suasana kebatinan yang hidup pada zaman-zaman yang diceritakan.
Ada pula jenis karya sastra, atau fiksi, yang nilai ’kesejarahan’-nya tidak terletak pada disebutnya tokoh dan peristiwa sejarah tertentu, melainkan pada kedalamannya ’merekam’ latar sosial-budaya yang ada pada periode sejarah yang diacunya. Mereka Yang Dilumpuhkan karya Pamoedya Ananta Toer maupun Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dapat disebutkan untuk mewakili zaman yang berbeda.
Kesadaran sejarah
Adapun yang perlu ditumbuhkan di dalam diri warga negara adalah suatu kesadaran sejarah. Miguel Léon-Portilla, seorang ahli kebudayaan, dalam bukunya Endangered Cultures (Kebudayaan-kebudayaan yang Terancam Punah, 1990) pernah menyatakan bahwa suatu bangsa yang tak mempunyai kesadaran sejarah akan lemah dan mudah dijajah. Adapun isi dari kesadaran sejarah itu adalah: tahu akan fakta-fakta sejarah yang benar, dan khusus mengenai bangsanya sendiri tahu benar mengenai asalnya (artinya, perjalanan sejarah bangsanya yang telah lalu) dan ke mana arah tujuannya.
Pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi, seorang yang memiliki kesadaran sejarah akan dapat membedakan antara di satu sisi "fakta (sejarah) sebagaimana direkam" dan di sisi lain "fakta yang hendak dipercaya". ’Fakta’ yang pertama adalah wilayah garapan historiografi (ilmiah), sedangkan ’fakta’ yang kedua adalah wilayah pembentukan mitos, yang dapat merupakan bagian dari pembentukan kebudayaan dan pembinaan bangsa.
Dalam hubungan ini, kita perlu mengetahui dengan tingkat kesadaran yang memadai bahwa di dalam apa yang disebut "historiografi tradisional" kedua jenis ’fakta’ tersebut dapat bercampur. Maka, kecerdasan memilah pun diperlukan agar kedua jenis ’data’ itu dapat dibedakan dengan tepat, dan disikapi sesuai dengan harkatnya.
* Edi Sedyawati, Budayawan, Mantan Dirjen
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 Februari 2007
No comments:
Post a Comment