Lebih dari sekadar itu, festival ini menarik karena suasana yang berlangsung selama tiga hari itu. Suasana yang bukan melulu memperlihatkan bagaimana para remaja itu berusaha sekuat tenaga menjadi yang terbaik dalam menampilkan sebuah genre seni pertunjukan tradisional melalui bahasa Sunda. Namun juga suasana yang mengapungkan sebuah antusiasme, yang sayup-sayup di baliknya memperlihatkan sejumlah jawaban atas apa yang selama ini dicemaskan, bahkan dituduhkan, pada mereka tentang keengganan mereka pada tradisi, budaya, dan bahasa Sunda.
Sejak hari pertama, festival ini sekonyong-konyong menyuguhkan sesuatu yang mengejutkan. Para remaja itu datang berbondong-bondong, membeli tiket, dan antre masuk ke gedung pertunjukan. Yang datang bukan hanya penampil (terdiri dari 50 pemain, dari mulai pemusik, penari, sampai para pemeran dalam lakon), tapi juga para pendukung. Para pendukung ini memberi semangat dengan ikut merespons pertunjukan, dari mulai tertawa, melontarkan berbagai celetukan, sampai melemparkan uang sawer. Uniknya, mereka tak hanya mendukung tim sekolahnya masing-masing, tapi juga peserta dari sekolah lain.
Oleh karena itulah, selama tiga hari GK Dewi Asri selalu ramai dengan para remaja dan ulah mereka dalam menghadapi sebuah pertunjukan, dari mulai tepuk tangan, lontaran celetukan, sampai riuh suara tawa. Tak ada kesan bahwa anak-anak remaja Kota Bandung yang berdandan gaul itu merasa "kampungan" karena yang mereka tonton hanyalah longser, sandiwara rakyat yang memakai bahasa Sunda. Mereka begitu menikmati pertunjukan dan menjadi bagian di dalamnya. Bagi para pemain sendiri, dari mulai nayaga, penari sampai para pemeran, kehadiran penonton tak sekadar penyemangat, tapi juga bersama penonton para pemain itu berinteraksi dan berimprovisasi.
Tapi memang, sejak hari pertama, penampilan para peserta dalam festival ini menghendaki semacam permakluman. Tak hanya permakluman dalam konteks disiplin seni pertunjukan. Dari mulai tempo, musik, tarian, pemeranan, atau bobot cerita, hingga bagaimana mereka mengolah materi bobodoran yang umumnya masih terkesan sebagai reproduksi dari humor-humor yang slapstik. Tapi, permakluman yang paling besar adalah ketika mengamati kepatuhan mereka pada pendefinisian longser sebagai sebuah genre teater tradisional dengan segenap kriterianya yang oleh sebagian orang dipercaya sebagai pakem. Memang, sebagian besar peserta memasukkan sejumlah unsur seperti bubuka (rajah), musik, tarian, dan bobodoran. Namun tak sedikit, bahkan umumnya, yang kemudian tampil layaknya sebuah pertunjukan teater modern, meski memang tetap menggunakan bahasa Sunda, memakai musik dan tarian. Oleh karena itulah, misalnya, banyak yang lebih suka menyebut penampilan para peserta dalam festival ini sebagai teater rakyat saja ketimbang dikategorikan atau didefinisikan sebagai longser yang memang sudah terhukum oleh aturan-aturannya yang baku. Artinya, menyimpang dari aturan itu pertunjukan tersebut tidak bisa lagi disebut sebagai longser.
Tentu saja benar adanya, ketika sesuatu hal didefinisikan dengan sebuah penamaan maka risiko logisnya adalah ia akan menemukan sejumlah batasan pengertian, seperti halnya longser. Namun, sampai sejauh manakah batasan pengertian itu bertoleransi pada perubahan waktu dan ruang? Di hadapan pertanyaan semacam ini kita lagi-lagi akan berdebat panjang tentang pemaknaan tradisi di hadapan sejumlah pengategorian, pakem, perubahan, dan seterusnya.
***
SEPERTI disebut sejumlah kalangan, mungkin saja benar bahwa penampilan umumnya Festival Longser Remaja itu bukan atau belum sepenuhnya disebut longser dan lebih cocok diberi label teater rakyat saja. Begitu juga pandangan sebaliknya, mungkin tak kalah benarnya anggapan bahwa longser tidaklah harus melulu seperti dulu tanpa memberi tempat pada perubahan seperti yang disuguhkan oleh para remaja dalam festival tersebut. Apa pun argumentasi keduanya, yang tetap lebih pokok adalah menatap antusiasme para remaja mengikuti festival tersebut. Sebagai peserta dan penonton, kehadiran serta antusiasme mereka atas nama seni tradisi yang memakai bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya, tak hanya menarik, tapi juga mengharukan.
Kenyataan ini membawa ingatan pada bagaimana antusiame yang sama ditunjukkan oleh rombongan anak muda yang setiap dua tahun sekali datang berbondong dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat, dengan menyewa angkot, bus, sampai truk, untuk mengikuti Festival Drama Basa Sunda di GK Rumentang Siang Bandung. Selama festival yang diadakan oleh Teater Sunda Kiwari itu, ratusan anak muda itu sampai menginap di GK Rumentang Siang.
Seperti juga Festival Drama Basa Sunda, mungkin saja benar bahwa antusiasme para remaja dalam Festival Longser Remaja di GK. Dewi Asri STSI itu demi menyandang sesuatu yang bernama juara, yang akan mengharumkan nama sekolah mereka. Tapi juga akan terlalu na?f jika hanya sesederhana itu kita melihatnya. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kompetisi dalam festival tersebut. Dan itu tak hanya kemeriahan dan kebersamaan dalam menampilkan eksplorasi kreatif, namun juga memaktubkan semacam rongga optimisme di tengah pesimisme besar yang menghinggapi para orang tua yang menyebut para remaja itu telah makin melupakan budaya dan bahasa ibunya.
Menatap antusiasme para remaja itu, juga kehebohan mereka bergurau di luar pertunjukan dengan bahasa Sunda, sekonyong-konyong muncul pertanyaan, apakah anggapan yang selama ini menyebut bahwa mereka sudah enggan menggunakan bahasa Sunda itu tidak berlebihan? Berdasarkan apa sesungguhnya anggapan itu muncul? Atau jangan-jangan anggapan yang sudah menjadi klaim itu sesungguhnya terlalu menggeneralisasi untuk lantas di-blow up menjadi sejenis kecemasan yang diungkapkan dalam berbagai pernyataan dan pidato para inohong, pengamat, dan pemerhati agar terkesan ia menaruh perhatian pada budaya dan bahasa Sunda, dan hanya mendasar pada amatan permukaan atau hanya meniru dan ikutan-ikutan mengeluarkan pernyataan tersebut?
Tentu saja terlalu cepat menjadikan Festival Longser Remaja itu sebagai jawaban bahwa kecemasan itu nyatanya tak terbukti dan tak beralasan. Namun paling tidak, seperti juga Festival Drama Basa Sunda, Festival Longser Remaja tersebut menjanjikan banyak hal untuk menjadi semacam rongga ikhtiar sehingga kecemasan pada kian tersingkirnya bahasa Sunda sebagai bahasa ibu tidak melulu menjadi komoditas pidato dan peringatan-peringatan seremonial. Antusiasme anak muda dan para remaja terhadap seni pertunjukan tradisi, seperti teater yang menggunakan bahasa Sunda dan longser, merupakan potensi yang menunggu untuk digairahkan lebih jauh lagi.
Dominasi budaya tontonan agaknya menjanjikan peluang yang leluasa untuk lebih mengenalkan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada segolongan anak-anak muda itu. Dalam hal inilah seni pertunjukan tradisi, seperti longser ataupun teater modern yang menggunakan bahasa Sunda, bisa menjadi medium yang tepat. Soalnya kini bagaimana membangun segenap kelengkapan untuk itu, termasuk dalam hal ini adalah pengadaan naskah lakon seperti yang banyak dikeluhkan oleh sejumlah praktisi.
Pemikiran tentang sayembara naskah drama bahasa Sunda atau longser merupakan pemikiran yang agaknya bisa segera dipertimbangkan, di mana kemudian naskah-naskah yang dianggap terbaik bisa dimainkan sejumlah kelompok teater atau longser. Seluruh pemikiran, semangat, dan ikhtiar itu tentu saja bukan lantas melulu atas nama sayembara dan keinginan menjadi juara. Tapi sepenuhnya atas nama keinginan memiliki semacam optimisme sehingga tak ada lagi anggapan pesimistis yang hanya dijadikan komoditas pidato untuk berkesan ia menaruh perhatian pada bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Tapi siapa yang mau memulai? (Ahda Imran)
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 17 Februari 2007
No comments:
Post a Comment