Sunday, February 17, 2008

Apresiasi: Musikalisasi Puisi, Loyalitas Fredie Arsi

Udara bergetar dalam darahku. Ketika tasbih berputar dalam zikir. Wirid bertamburan memenuhi ruang. Dan kau tersenyum di penanggalan...

Penggalan puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda berjudul Refleksi Jarak dan Waktu di atas tiba-tiba berubah menjadi satu syair lagu nan indah dengan komposisi dan harmonisasi musik yang begitu hangat dan bernuansa religius kental. Puisi tersebut menjadi pembuka penampilan Deavies Sanggar Matahari Jakarta, dalam pagelaran musikalisasi puisi yang digelar di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2) malam yang lalu.

Setelah itu, meluncur puisi karya Dediesputra Siregar berjudul Ruh (u) Krak yang juga diambil dari album CD kompilasi yang dikeluarkannya pada tahun 2007 lalu. Nuansa musik Nangroe Aceh Darusalam sangat terasa dalam aransemen yang dibuatnya. Terlebih dengan syair yang menggunakan bahasa Aceh. ... Kala Sang Karang Ka Ku. Tuboh A Cehku. Nong. Na Cut Bang. Gampreh....

Terlebih lagi dengan gerak yang ditampilkan para pemain musik yang terdiri dari lima personel, yakni Dediesputra Siregar, Andrie Syahnila Putra Siregar, Devie Komala Syahni Siregar, Denie Syahnila Putra Siregar, dan Herie Syahnila Putra Siregar yang menampilkan lenggokan tari Saman, sehingga nuansa Aceh sangat terasa sekali.

Namun, selain nuansa Aceh yang tergambar, ada kemirisan yang amat sangat terasa lewat pekikan suara Devie yang sangat menyayat. Seakan-akan menyuarakan kepedihan masyarakat Aceh, saat musibah tsunami melanda pada medio Desember tahun 2004 yang lalu. Sebuah lengkingan akan luka yang amat dalam, tapi tidak terkatakan.

Dan itu pun dibenarkan pimpinan Deavies Sanggar Matahari yang juga merupakan ayah kandung dari kelima personelnya, Fredie Arsi, saat jeda setelah tembang Ruh (u) Krak dibawakan.

"Puisi ini tercipta saat Januari 2005 ketika kita berkunjung ke Aceh. Saat itu saya bersama anak-anak melakukan terapi mental anak-anak Aceh. Dan ketika itu kami berhasil menemukan 14 jenazah korban tsunami, ada ibu hamil dan anak-anak. Pada malam harinya, saya melihat semua anak saya terdiam dan tidak bisa berkata-kata lagi. Sehingga kata-kata ketika itu tak mampu lagi menyuarakan apa yang terjadi dan dialami korban tsunami."

Kemudian komposisi menarik yang hampir satu napas dengan alunan sebelumnya, Salam Damai karya Fikar W. Eda mengalun dengan nada-nada yang tidak berbeda. Pun dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Tanah Airmata yang dibawakan dengan penuh penghayatan dan penjiwaan yang amat dalam. Begitu juga dengan karya Sapardi Djoko Damono Yang Fana Adalah Waktu, yang dibuat dengan musikalitas yang sangat baik.

Hal yang sama juga lewat puisi karya Amir Hamzah Padamu Jua. Dan yang sangat istimewa adalah manakala kelima personel yang sudah berkeliling seluruh Indonesia tersebut saat menghadirkan aransemennya pada puisi yang dikenal sejak masa kanak-kanak yakni Diponegoro krya Chairil Anwar yang menjadi sangat syahdu tetapi heroik.

Nuansa romantis kemudian berlanjut dengan Inilah Cinta karya Jalaludin Ar-Rumi yang dibawakan dengan nuasa padang pasir nan kental. Dan penampilan ditutup dengan sangat manis lewat puisi karya sang ayah yang berjudul Musik Alam. Pada saat menyanyikan tembang inilah, Devie sang vokalis menitikkan air mata saat mengutarakan terima kasihnya kepada kedua orang tuanya.

Perkembangan Musikalisasi Puisi


Perkembangan musikalisasi puisi di Indonesia sangat menjanjikan, terutama yang ada di daerah-daerah. Hal ini terbukti dengan diborongnya event festival musikalisasi puisi tingkat nasional yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu, seluruh pemenangnya berasal dari SMA asal daerah. Bahkan, peserta dari Lampung yakni SMAN 11 Bandar Lampung, berhasil menjadi salah satu juaranya.

Fredie Arsi mengemukakan di sela-sela kegiatan Pelatihan Musikalisasi Puisi untuk Pelajar SMA Provinsi Lampung yang digelar di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2). Dia mengatakan awal berkembangnya seni musikalisasi puisi sekitar tahun 1990 yang lalu.

"Saat itu pertama kali digelar Festival Musikalisasi Puisi untuk tingkat pelajar SMA yang diadakan Kantor Pusat Bahasa. Setelahnya kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang digelar setiap tahunnya," kata Fredie.

Kemudian, pada tahun 1994, Kantor Bahasa mengeluarkan program Bengkel Sastra di mana dilakukan semacam pelatihan bagi guru dan siswa yang semakin concern mengembangkan musikalisasi puisi. "Barulah pada tahun 1999, Bengkel Sastra mulai didirikan di daerah seperti Medan, Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin. Dan saat ini, hampir di seluruh provinsi di Indonesia sudah ada."

Dan kemudian oleh Balai Bahasa, program musikalisasi puisi semakin dikenalkan kepada pelajar di setiap daerah. "Meksipun musikalisasi puisi ini sudah ada sejak dulu dan berkembang dalam budaya kita seperti dari Aceh yang memiliki budaya bersyair. Atau budaya di Riau di mana saat akan menangkap madu juga melafalkan mantra seperti bentuk musikalisasi puisi," ujarnya.

Sebab itu, perkembangan musikalisasi puisi bagi pelajar SMA di daerah berkembang dengan baik. "Selain juga jalinan yang ada di daerah antarpeserta dengan pelatih dan kantor Bahasa terjalin baik. Sehingga, semakin memupuk rasa kedekatan emosional yang kemudian mendorong perkembangan musikalisasi puisi di daerah berjalan baik."

Musikalisasi puisi sendiri merupakan upaya memberikan peningkatan pesan moral yang ada puisi di depan khalayak dengan menggunakan alat-alat sumber bunyi. "Jadi tidak melulu yang digunakan adalah alat musik. Sebab semuanya bergantung dari puisinya itu sendiri. Bisa jadi alat yang digunakan bukan dari alat musik konvensional, tapi dari alat lain yang mengeluarkan bunyi. Dan saat ini setiap peserta umumnya menggunakan alat-alat dari daerahnya masing-masing," tambahnya lagi.

Untuk pelatihan yang digelar di Kantor Bahasa Provinsi Lampung diikuti 36 peserta yang berasal dari enam sekolah, yakni SMAN 11 Bandar Lampung, SMAN 14 Bandar Lampung, SMAN 2 Bandar Lampung, SMA Taman Siswa Bandar Lampung, SMAN 1 Seputih Agung Lampung Tengah, dan SMAN 1 Natar. Dan rencananya hari ini, Kamis (14-2) setiap peserta akan mementaskan musikalisasi puisi karya masing-masing sekolah.

Keloyalitasan Fredie Arsi


Dan bila membicarakan tentang musikalisasi puisi, sosok Fredie Arsi memang layak disebut. Karena sejak 1982, ia telah mengajarkan anak-anaknya menyanyikan puisi selain lagu-lagu ciptaannya sendiri. Ketika itu dia memiliki grup bernama Deavies Group yang kependekan dari trio Dedie, Andrie, dan Devie yang merupakan tiga putra putrinya. Berbagai ajang diikuti dari tingkat kelurahan, hingga perhelatan 50 tahun Majalah Sastra Horison di Jakarta.

Pada tahun 1990, pertama kali digelar Festival Musikalisasi Puisi yang diadakan Pusat Bahasa. Ternyata, kemenangan berhasil diraih sehingga kemudian menonggakkan berdirinya Deavies Sanggar Matahari yang anggotanya enam saudara kandung. Tiga empat tahun berturut-turut berhasil meraih juara pertama di berbagai ajang.

Kemudian, tahun 1992--1996, Deavies Sanggar Matahari pun menyelenggarakan tur keliling untuk memasyarakatkan musikalisasi puisi di kota-kota Sumatera dan Jawa. Bahkan, pada bulan Oktober 1994, mendapat penghargaan dari Kementrian Pemuda dan Olahraga sebagai Pemuda Pelopor DKI Jakarta Bidang Pengabdian Seni dan Budaya.

Lalu, bersama dengan keenam anaknya, Fredie Arsi menjadi mitra kerja Pusat Bahasa Diknas dalam program bengkel sastra, apresiasi sastra bidang musikalisasi puisi bagi pelajar SMA se-Indonesia sampai saat ini. Selain itu, pementasan yang dilakukan pun sudah sangat panjang, tidak hanya di Indonesia tapi hingga Kuala Lumpur, Malaysia.

Dan sebagai satu sosok yang berperan penting dalam melakukan sosialisasi atas perkembangan musikalisasi puisi di Indonesia, sosok Fredie adalah sosok yang sangat bersahaja. Bahkan, dia kerap disebut sebagai seniman yang paling kaya terutama kaya hati karena dalam pekerjaannya berkeliling Indonesia dan berkarya, selalu dikelilingi orang-orang terkasihnya, yakni istri, keenam anak, serta cucunya. Sebab, sesungguhnya kekayaan bukan hanya tecermin pada kekayaan materi, melainkan ketenangan dan kekayaan hati. Semoga. n Teguh Prasetyo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2008

No comments: