-- Maryanto*
PADA hari ini, 21 Februari 2008, umat manusia sedunia diminta mengenang sosok ibu masing-masing, terutama bentuk bahasanya. Perayaan Hari Bahasa Ibu kali ini memiliki arti tersendiri karena 2008 merupakan Tahun Bahasa.
Hari Bahasa Ibu yang peringatannya jatuh setiap 21 Februari ini diserukan UNESCO di PBB. Badan pendidikan dunia itu merekomendasikan agar bahasa pertama perolehan anak (sering disebut bahasa ibu atau mother tongue) digunakan sebagai alat pengantar pendidikan anak di sekolah. Bergairahnya bahasa daerah dalam pendidikan Indonesia rupanya imbas dari rekomendasi itu.
Saya mengajak pembaca--sesama anak bangsa--untuk mencerna masak-masak seruan atau rekomendasi dunia tersebut hingga menjadi 'asupan gizi' guna menyuburkan perkembangan jiwa kebangsaan. Janganlah ditelan mentah-mentah gagasan UNESCO itu karena bisa jadi virus yang menggerogoti jiwa kebangsaan sendiri.
Bangsa yang pada 1928 dikukuhkan bernama Indonesia ini memang ditakdirkan bersuku-suku. Bumi tempat duduk atau tinggalnya pun berpulau-pulau. Demikian pula halnya dengan bahasa yang berbeda-beda sebagai konsekuensi perbedaan sosiologis dan geografis penduduk Indonesia. Namun, segala perbedaan itu diharapkan dapat teratasi masalahnya dengan satu label persatuan Indonesia.
Sudah 80 tahun atau 100 tahun, jika gerakan Budi Utomo 1908 sebagai titik tolak, nama Indonesia beredar. Nama itu hingga kini belum lekat sepenuhnya pada wujud atau entitas yang hendak dilabeli. Buktinya, ada pulau yang terlepas dari pengakuan Indonesia. Wujud bangsa juga masih samar-samar; membayang (imaging dalam istilah Benedict Anderson, 1983).
Nasib entitas bahasanya tidak jauh beda. Dalam sebuah pertemuan internasional seseorang berkata kepada saya, I can speak your bahasa. Ternyata, bahasa yang ia maksud itu bukanlah bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu yang memang diakui dan diangkat sebagai bahasa kebangsaan Malaysia. Orang yang saya temui itu (dan banyak lainnya) masih samar-samar mengakui adanya bahasa Indonesia di Indonesia.
Baru-baru ini seorang diplomat Indonesia yang bertugas di Australia bercerita kepada saya. Katanya, makin banyak anak Australia yang dikirim orang tuanya belajar berbahasa Indonesia di Malaysia. Terlihat jelas masih lekat di hati mereka citra bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Saya lihat kemesraan Indonesia dengan negara serumpun lewat sebuah majelis bahasa turut menguatkan citra yang tidak menguntungkan Indonesia itu.
Agar bahasa persatuan Indonesia lebih cepat tumbuh besar, kuat, dan mandiri, ikatan sejarah masa lampau bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu sebaiknya mulai dikendurkan. Sebaliknya, sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia perlu menguatkan ikatannya dengan bahasa daerah di seluruh Indonesia. Sudah semestinya, bahasa persatuan itu dijadikan wadah berhimpunnya bahasa-bahasa daerah Indonesia.
Otonomi daerah
Isu otonomi daerah yang bergulir di Indonesia telah merambah masalah bahasa daerah. Bahasa daerah sebagai unsur utama budaya daerah selama ini memang belum mudah berhimpun untuk mengisi budaya nasional yang berupa bahasa nasional. Penyebabnya ialah bahasa daerah selama ini didiskriminasi dari konteks bahasa nasional.
Diskriminasi antara bahasa daerah dan bahasa nasional melalui kebijakan politik bahasa (Seminar Politik Bahasa Nasional, 1975 dan Seminar Politik Bahasa, 1999) sungguh bertentangan dengan konsep budaya (nasional) Indonesia yang puncak-puncaknya diduduki budaya daerah. Putusan politis itu agaknya membuat masyarakat pemilik dan sekaligus penutur bahasa daerah merasa tidak tenteram.
Ketidaknyamanan masyarakat daerah tampak nyata dari kebijakan pemerintah daerah akhir-akhir ini dalam hal bahasa daerah. Banyak kebijakan pemerintah yang bisa jadi kontraproduktif bagi pembangunan negara bangsa Indonesia. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, menarik dihadirkan kembali sebagai contoh.
Untunglah pemakaman mantan Presiden HM Soeharto di Karanganyar baru-baru ini berlangsung hari Senin, bukan Rabu. Andaikata jenazah Pak Harto dikebumikan pada Rabu, kebijakan Rina Iriyani, Bupati Karanganyar, tentu ditaati atau diikuti para pengantar jenazah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun perlu mengikutinya dengan berpidato dalam bahasa Jawa.
Berdasarkan sebuah peraturan daerah (perda) yang dibuat Rina, bahasa Jawa wajib dipakai setiap Rabu sebagai bahasa resmi di wilayah Kabupaten Karanganyar. Penerapan perda itu pernah ditunjukkan ketika Rina menerima rombongan peserta Kongres Linguistik Nasional XII Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Rabu. Pidato sambutan berbahasa Jawa disuguhkan Bupati Karanganyar kepada rombongan tamunya.
Saya dan peserta Kongres MLI yang berbahasa Jawa sebagai bahasa daerah atau bahasa ibu sangat menikmati suguhan pidato Rina meski bahasa daerahnya terselip atau tercampur bahasa nasional. Seusai berpidato, sayangnya, sang bupati tidak memberikan kesempatan bertanya jawab. Banyak hal menarik ditanyakan. Seberapa jauh perda wajib berbahasa daerah itu diterapkan? Apakah itu sekadar praktik berbahasa Jawa lisan?
Bagaimana dengan penerapan bahasa Jawa tulis? Perlukah urusan pemerintahan, misalnya dalam hal surat-menyurat, menggunakan bahasa Jawa tulis (termasuk aksara Jawa)? Bagaimana dengan urusan pendidikan? Jika seorang guru harus mengajarkan matematika di sekolahnya hari Rabu, haruskah guru itu berbahasa Jawa untuk mengantar siswa menguasai materi ajarnya?
Aturan wajib berbahasa daerah yang tidak proporsional justru akan menyumbat saluran pendidikan. Ini tentu harapan besar. Janganlah isu otonomi daerah sekarang membuat Indonesia bergerak mundur: kembali ke zaman sebelum 1928 atau 1908 ketika jiwa kedaerahan lebih menonjol.
Kodifikasi bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang terpilih sebagai bahasa kebangsaan (Sumpah Pemuda 1928) dan sebagai bahasa kenegaraan (Undang-Undang Dasar 1945) perlu secara terus-menerus dilakukan kodifikasi agar bahasa ini makin fungsional. Banyak aspek bahasa Indonesia yang telah dikodifikasi, antara lain: ejaan, tata bahasa, dan kosakatanya. Forum kecil ini mencoba menyinggung aspek kosakata.
Sebuah produk kodifikasi kosakata bahasa Indonesia telah dikenal luas berwujud Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut rencana, KBBI Edisi IV akan diluncurkan Pusat Bahasa pada Tahun Bahasa 2008, tepatnya pada Kongres Bahasa Indonesia IX nanti di Jakarta. BBI terlihat terlalu kecil karena terlalu selektif menerima kosakata bahasa daerah. Ini jelas dampak politik yang diskriminatif tadi sehingga masyarakat daerah tertentu saja yang mujur. Mestinya, bahasa daerah Indonesia semuanya diakui sebagai warga bahasa Indonesia. Bukankah penutur bahasa daerah itu anak bangsa Indonesia yang haknya sama untuk membesarkan BI?
Sekadar contoh, kata susu telah menjadi bentuk bahasa rujukan nasional, seperti dalam ungkapan baku air susu ibu atau ASI.
Bentuk bahasa serupa dengan susu, yaitu kata nenen, mimik, dan tetek yang hidup lestari di wilayah hulu (pemakaian bahasa daerah), juga telah dikodifikasi dan ditampung secara resmi dalam KBBI. Tentu, masih banyak bentuk serupa lainnya yang menunggu pengakuan resmi sebagai warga bahasa Indonesia.
Akan tidak wajar, meski dengan bentuk bahasa Indonesia yang baik dan benar, seorang anak bertanya, "Apakah aku boleh menyusu Ibu? Sang ibu pun tidak pernah berkata, "Anakku, mau menyusu ibu? Namun, ibu-ibu Indonesia akan bertutur kata seperti ini. "Mau nenen? Mau mimik? Mau netek? Itulah bahasa ibuku!
* Maryanto, Kandidat doktor Universitas Negeri Jakarta, anggota Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
Sumber: Media Indonesia, Kamis, 21 Februari 2008
No comments:
Post a Comment