Saturday, February 23, 2008

Sastra: FLP, Kritik, dan Gerakan Literasi

-- Topik Mulyana*

PADA Februari 2005, Musyawarah Nasional I Forum Lingkar Pena (FLP) diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta. Para peserta datang dari Aceh hingga Ternate. Hal terpenting dari Munas tersebut adalah terjadinya pergantian ketua umum. Bagi FLP, pergantian ini merupakan peristiwa penting, karena warna FLP diprediksikan akan berubah drastis. Hal ini mengingat ketua umum terganti Helvy Tiana Rosa (HTR), adalah patron sekaligus brand image yang begitu kuat bagi FLP. HTR adalah FLP, FLP adalah HTR. Sementara, ketua umum pengganti M. Irfan Hidayatullah (FLP Jabar), tidaklah demikian.

Berkenaan dengan itu, ada beberapa informasi tambahan. Pertama, sebetulnya semua anggota FLP masih menginginkan HTR, namun HTR bersikeras menolaknya. Kedua, penggantian itu sendiri bukan tanpa setting. HTR "mengondisikan" agar Irfan menjadi ketua, bukan Izzatul Jannah (FLP Jateng) atau Asma Nadia (Pusat), yang merupakan patron lain selain HTR. Kedua peristiwa ini diikat oleh satu benang merah, yakni bahwa HTR dan beberapa pentolan FLP yang lain menyadari betul bahwa patronisme itu berbahaya.

Satu hal lagi yang harus segera saya tambahkan bahwa pada mulanya kepengurusan FLP oleh Irfan, dibentuklah Divisi Kritik dan Litbang. Divisi ini dibentuk karena Irfan, sebagai akademisi sastra, menyadari bahwa kritik sastra harus segera ditradisikan di FLP, dengan harapan gerakan literasi ini akan lebih sehat. Untuk menunjang divisi tersebut, kawan-kawan FLP dari kalangan akademisi sastra pun direkrut. Sebagai tindak lanjut, divisi ini kemudian menjalin kerja sama dengan beberapa majalah Islam, seperti Annida dan Sabili berupa penyediaan kolom kritik sastra. Di tingkat daerah, bahkan FLP menjalin kerja sama dengan media-media lokal yang warnanya lebih umum, seperti Aceh Magazine, Batam Pos, dan Radar Bandung.

Selain itu, untuk menghentikan "pemanjaan" para penulis FLP oleh beberapa penerbit Islam, yang menyebabkan minimnya kompetisi dan berujung pada munculnya karya-karya religi picisan ala sinetron, FLP juga menggalakkan para anggotanya untuk ikut berjibaku dengan para penulis lain demi dimuat di media massa umum nasional. Upaya ini mulai dijajaki dan terus dikampanyekan. Hal itu, terbukti dengan munculnya semacam "serangan" terhadap media massa nasional selain Republika. Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos telah disambangi oleh para penulis FLP, seperti Alimudin (Aceh), Ade Efdira (Padang), Fitra Yogi (Padang), Palris Jaya (DKI), Zaenal Radar T. (DKI), Denny Prabowo (Depok), dan Wildan Nugraha (Bandung). Lebih jauh, diharapkan dari FLP akan muncul karya-karya berkualitas, bahkan dapat menjadi kanon bagi dunia kesusastraan di Indonesia.

Namun demikian, FLP tetaplah FLP yang dalam istilah Beni R. Budiman (alm.) adalah para "mualaf sastra". Artinya, FLP masih sangat perlu belajar dari para penulis senior. Maka, sejumlah sastrawan pun diminta untuk turut andil, baik intensif maupun insidental. Tersebutlah mereka, Taufik Ikram Jamil, Isbedy Stiawan Z.S., Ahmad Tohari, Agus R. Sarjono, Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata, Erwan Juhara, Soni Farid Maulana, dan banyak lagi.

Informasi ini penting karena masih ada beberapa pihak yang menilai keberadaan FLP dan karya-karyanya secara stereotip, bahkan mengarah pada gosip. Mereka hanya melihatnya berdasarkan helicoptre view, sehingga menyebabkan luputnya detail-detail dan dinamika objek yang dipandangnya.

Penilaian itu, diperparah dengan munculnya pemberitaan yang tidak komprehensif dari media sehingga membuat stereotivitas itu semakin kuat. Orang yang tadinya berkeyakinan bahwa FLP itu adalah komunitas sastra Islam yang barangkali sesuai harapannya, semakin yakin bahwa FLP itu memang demikian (beberapa waktu lampau, seorang wartawan senior memetakan dunia sastra Indonesia dengan terlampau simplistik, yakni "sastra pengusung moral" (HTR dan FLP) versus "sastra penghancur moral" (Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dll.).

Pun sebaliknya, orang yang tadinya sudah berasumsi bahwa FLP itu mengerucutkan sastra Islam, kian yakinlah bahwa FLP memang demikian (milis Mediacare malah secara menggelikan menyebut FLP sebagai underbouw PKS). Orang pertama akan semakin yakin bahwa FLP adalah satu-satunya komunitas dan karya sastra Islam, sementara orang kedua semakin sinis dan gelisah. Keduanya, baik yang senang maupun yang gelisah, adalah keliru. Yang tidak keliru adalah menilai FLP dengan mekanisme studi, baik studi tentang ke-FLP-annya (historis-ekspresif, meminjam terminologi Abrams) maupun kekaryaannya (objektif).

Melani Budianta pernah melakukan studi objektif. Dia membaca beberapa karya FLP, kemudian mengkritisinya. Dia mengupas beberapa kekurangan teknis yang mendasar dengan menunjukkannya, misalnya membuat komparasi antara logika cerita dan fakta. Maman S. Mahayana pernah melakukan studi historis-ekspresif. Ia menilai bahwa FLP adalah salah satu bentuk perayaan terhadap komunitas literer yang akan turut memberikan sumbangsih pada kemajuan budaya literasi di Indonesia karena kemajuan, apa pun namanya dan siapa pun pelakunya, harus dicapai dengan langkah-langkah strategis.

Amien Wangsitalaja pernah membuat penilaian yang lebih spesifik dan berimbang. Dalam rangka melawan "sastra pizza" yang hendak menghegemonikan "ideologi estetika kelas" kaum perempuan yang suka bereksperimen dengan "kelamin" di dalamnya, model gerakan FLP sudah pas. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal, yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam-putih dalam mendedah persoalan.

Setiap orang memang berhak mengkritik, tetapi setiap orang juga berhak menolak kritik karena tidak setiap orang dapat membuat kritik yang baik.

Kritik

Secara umum, pengertian kritik tergolong pada dua hal, yakni "pengecaman" dan "pengupasan". Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2002) mendefinisikan kritik sebagai "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb." Kritik yang cenderung pada pengecaman adalah pengertian kritik di wilayah umum (pragmatik), sedangkan kritik yang cenderung pada pengupasan adalah kritik yang berada di wilayah khusus (diskursif).

Kritik di wilayah sastra (kritik sastra), sudah pasti merupakan kritik di wilayah diskursif. Maka dari itu, ia mesti bersifat ilmiah. Setidaknya, ia harus melewati beberapa tahap, mulai dari pembacaan (apresiasi), pemerian (definisi), pemilahan (klasifikasi), pengupasan (analisis), penilaian (evaluasi), dan penghakiman (justifikasi). Dalam satu simposium sastra akhir 60-an tentang kritik dan esai, Gayus Siagian menyebutkan bahwa membuat kritik sastra "lebih sulit" daripada membuat esai. Pasalnya, dalam kritik sastra aspek ilimiah lebih condong ketimbang kreativitas. Maka, tak perlu heran jika nasibnya selalu memusingkan dan menyedihkan.

Selain tahapan-tahapan tersebut, ada satu langkah penting lagi dalam upaya membuat kritik sastra, yaitu soal pengolahan teori atau pendekatan. Bakdi C. Soemanto pernah mengatakan bahwa pendekatan "pinjaman" yang berasal dari kebudayaan yang sudah mantap, tidak bisa diterapkan begitu saja pada karya yang kebudayaannya masih belum mantap. Misalnya, semiotika Pierce tidak bisa begitu saja digunakan, untuk mengkritisi sajak-sajak Linus Suryadi A.G. atau Darmanto Jatman. Barangkali, karena itu pula, ketika ditanya tentang pendekatan apa yang digunakan untuk menganalisis aspek-aspek mistik dalam cerita-cerita klasik Sunda Si Kabayan, Jakob Sumardjo menyebutkan "semiotika lokal"; ia tidak berani menyebut semiotika Pierce atau Lotman.

Bagaimana pula jika teori-teori "pinjaman" itu diterapkan pada karya-karya populer? Tentu butuh upaya yang lebih berdarah-darah lagi, untuk mengolah teori tersebut. Penerapan langsung teori terhadap karya-karya yang dinilai dari segi apa pun, masih jauh dari mantap itu hanya akan melahirkan kritik yang mentah, tidak mengena, jauh panggang dari api.

Estetika Resepsi a la Jaus akan terlampau mengawang jika diterapkan pada Ketika Mas Gagah Pergi. Kritik Sastra Feminis a la Spivak akan terlampau mengangkasa jika diterapkan pada Aisyah Putri. Kritik Sastra Marxis a la Adorno terlampau melangit jika diterapkan pada Ayat-Ayat Cinta. Oleh karenanya, jangankan terjadi penerapan, sekadar bersentuhan pun tidak.

Antikritik?

Dalam tulisan saya yang berjudul "FLP, Sastra Islam, dan Seni Rendah" ("Khazanah", 15/12/07) yang ditujukan untuk menanggapi tulisan Kurniasih, "Wajah Sastra Islam" ("Khazanah", 3/11/07), saya menulis "alangkah lebih baiknya jika Anda mengkritisinya dengan penuh tanggung jawab dan apresiatif, yang tentu akan lebih berguna bagi si pengarangnya, sehingga di hari kemudian ia akan menghasilkan karya yang lebih baik lagi". Saya kira, Kurniasih dapat menangkap maksud saya dengan jelas, yaitu karya-karya FLP membutuhkan satu kritik yang berdasarkan metode, yang apresiatif, konstruktif. Maka saya sungguh heran, dalam tulisan yang ditujukan untuk menanggap-balik tulisan saya, "FLP dan Pendidikan Sastra" ("Khazanah", 26/01/08), Kurniasih malah menuduh saya dan FLP sebagai antikritik.

Lebih jauh, Kurniasih menuding kami sebagai bagian dari masyarakat kapitalistik yang materialis. Jika diakumulasikan dengan tuduhannya dalam "Wajah Sastra Islam", ia juga menyebut kami sebagai pihak yang telah mereduksi nilai-nilai Islam dan membodohi kaum muda Islam. Saya tidak tahu, sudah sejauh mana Kurniasih melakukan studi terhadap FLP, baik historis-ekspresif maupun objektif. Saya tidak tahu, sudah seberapa banyak informasi tentang keberadaan dan dinamika FLP yang didapatnya dan sudah sebanyak apa karya-karya FLP yang dibacanya. Sudahkah ia melakukan studi tentang pengaruh karya-karya tersebut terhadap masyarakat pembacanya (pragmatik)? Jika tidak, apakah tidak wajar kalau saya menyebut tudingan-tudingan yang disebutnya sebagai "kritik" itu sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab?

Kembali menyoal "Wajah Sastra Islam", Kurniasih ’mengkritik’ Ayat-Ayat Cinta sebagai gerakan industrialisasi. Bukan soal terima atau tidak terima untuk dikritik yang saya masalahkan, melainkan metode kritik itu sendiri. Saya melihat Kurniasih banyak mencomot "Maklumat Sastra Profetik" Kuntowijoyo. Kemudian, dia mengutip secuil pemikiran Adorno. Terakhir, dia menggunakan istilah milik Hawe Setiawan untuk menghakimi.

Saya tidak melihat satu pun argumentasi atau alasan Kurniasih dalam tulisan tersebut, karena semuanya adalah "pinjaman". Saya pun tidak melihat adanya apresiasi ataupun pengolahan teori. Saya tidak melihat tulisan Kurniasih sebagai kritik sastra. Saya tidak melihatnya seperti Sapardi menulis tentang sajak-sajak Rendra, tidak seperti B. Rahmanto membahas novel-novel Y.B. Mangunwijaya, Yudiono K.S. mengupas Ahmad Tohari, Samuel Taylor Coleridge mengkritisi puisi-puisi William Wordsworth, atau Lytton Strachey menganalisis drama-drama Shakespeare dan Homer (mungkin juga tidak seperti Chinua Achebe menjabarkan Heart of Darkness Joseph Conrad).

Namun, dalam kondisi tulisannya yang seperti itu, Kurniasih masih begitu percaya diri menyebutnya sebagai "kritik" dan "pemikiran yang mendalam". Padahal, saya tidak melihat adanya upaya yang berdarah-darah di dalamnya. Jangankan berdarah-darah, sekadar berkeringat pun tidak. Daripada menimbulkan pemerkosaan terhadap teori dan penilaian yang timpang, kritik yang mentah sebaiknya tidak dulu dipublikasikan!

Tidak ada yang meremehkan chiklit dan teenlit. Tidak ada! Saya jelas-jelas menyebutkan bahwa "chiklit dan teenlit itu perlu `dilawan` karena…". Artinya, saya dan kawan-kawan di FLP sama sekali tidak menganggap remeh, justru sebaliknya (kalau remeh, untuk apa dilawan?). Toh kehadiran karya-karya FLP tidak akan sampai menggeser, apalagi mengeliminasi, karya-karya Icha Rachmanti, Raditya Dika, Agnes Jessica, Fira Basuki, Alberthiene Endah, atau Clara Ng. Jadi, tak perlu sungkan untuk mengonsumsinya tanpa perlu merasa terganggu oleh "cangkokannya".

Siapa pula yang terganggu oleh hierarki? Tuhan mengabarkan dalam Alquran dan telah terverifikasi secara eksak bahwa langit dan bumi itu terdiri atas tujuh lapisan. Tak hanya yang eksak, perkara gaib pun demikian: surga dan neraka terdiri atas tujuh tingkatan. Saya juga bekerja di salah satu perusahaan yang sistemik dan terdiri atas hierarki-hierarki. Sebagai makhluk Tuhan yang teramat rendah dan sebagai karyawan biasa, tentu saya sadar hierarki itu ada dan tidak perlu merasa terganggu olehnya. Saya merasa terganggu jika ada pihak yang satu mengkritisi pihak lain secara tidak berimbang, di mana pun itu (saya tak lagi menggunakan istilah "elite" karena sangat mudah dimanipulasi).

Gerakan literasi

Seperti halnya Kurniasih mengibaratkan sastra Islam, sebagai satu wajah, saya pun dapat mengumpamakan FLP demikian. FLP adalah satu wajah di antara wajah-wajah komunitas literer lainnya. Dalam konsep wajah menurut Konfusianisme, wajah (mianzi) memiliki empat sifat dasar, yakni relasional, komunal/sosial, hierarkis, dan moral. Dalam konteks komunal, wajah adalah perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan "serangan" dan cercaan warga masyarakat lainnya terhadap perilaku pemiliknya. Bagaimana pun kondisinya, orang tidak boleh kehilangan wajahnya. Jadi, bersikap defensif adalah sesuatu yang teramat wajar dan tidak lantas dicap antikritik.

Benar apa yang dikatakan Kurniasih bahwa dunia literasi kita tengah terpuruk. Maka, sebagai sesama pecinta dunia literasi Indonesia, mari kita bersinergi membenahinya sedikit demi sedikit. Mari kita berjalan beriringan walau tidak di jalan yang sama tanpa saling menggelisahkan satu sama lain. Mari kita saling mengkritisi dalam kerangka studi, tidak sekadar pada kecaman.

Terlepas dari standar estetik yang masih rendah dan kapitalisasi yang masih membayanginya, Forum Lingkar Pena telah berhasil menjadi gerakan literasi dari kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat praliterasi. Untuk memperluas dan memperkaya gerakan tersebut, mampukah forum yang lain melakukan --meminjam istilah Amien Wangsitalaja-- "gerakan serupa, namun dengan modus operandi yang berbeda" sehingga kemajuan dunia literasi Indonesia tidak sekadar angan-angan yang diperpanjang tanpa langkah-langkah strategis? Kita tunggu saja.***

* Topik Mulyana, Pegiat FLP Bandung, editor di Penerbit Sygma Examedia Arkanleema

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Februari 2008

No comments: