-- Agus Noor*
AKANKAH Sanusi Pane menuliskan Sandyakala Majapahit bila naskah lakon tersebut tidak akan dipentaskan di malam Kongres Pemuda pada tahun 1928? Pertanyaan itu mengisyaratkan betapa naskah lakon ditulis memang untuk dipentaskan.
Itulah sebabnya, Seno Gumira Ajidarma ”merasa perlu repot-repot” mementaskan dan menyutradarai sendiri naskah Kenapa Kau Culik Anak Kami? yang ditulisnya. Situasi seperti itu menemukan relevansinya ketika dalam perhelatan Festival Teater Jakarta (FTJ) yang baru rampung pada akhir Desember 2007 memunculkan kegundahan: begitu sedikitkah naskah lakon yang ditulis hari ini? Hingga nyaris sebagian besar kelompok teater yang tampil lebih banyak menyajikan ”naskah lakon lama” semacam Lysistrata Aristhopanes (Rumah Teater), Pintu Tertutup Jean Paul Sartre (Teater Enam), Raja Mati Eugene Ionesco (Teater Ciliwung), Malam Jahanam Motinggo Busye (Study Teater 24), Macbeth William Shakespeare (Teater Amoeba), Penagih Hutang Anton Chekov (Komunitas Kaki 5), dan Cermin II Nano Riantiarno (Teater Mode). Bila kita cermati, lakon-lakon tersebut telah cukup populer dalam perteateran kita dan ”terlalu sering” dipentaskan sejak tahun 70-an.
Untuk diketahui, FTJ itu berupaya mengusung tema ”realitas dan teater”, di mana teater saat ini diandaikan menghadapi realitas yang telah banyak berubah. Hingga teater pun mestinya berupaya untuk menemukan kembali kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukannya dalam mengolah ”realitas” tersebut melalui panggung-panggung pementasannya. Mungkin kita bisa mencari padanan melalui dunia seni rupa kontemporer saat ini, yang secara paradigmatik cukup banyak mengalami perubahan ketika ia mulai bergelut dan mengolah realitas, sebagaimana kemudian bisa dilihat melalui representasi rupa, warna, dan bentuk-bentuk visual yang dihasilkannya. Bila membandingkan dengan pertumbuhan seni rupa kontemporer kita, sangat terasa, betapa kita jarang menemukan upaya-upaya untuk mereinterpretasi dan mengolah kemungkinan-kemungkinan ”realitas” itu dalam panggung teater kita. Sebagaimana yang menampak di banyak pertunjukan di FTJ itu: seakan ada realitas yang berhenti, ”realitas lama yang terus mendekam” dalam kepala para teaterawan yang tampil di atas panggung tersebut. Teater seperti hidup dengan ”tema-tema lama” yang terus diyakini. Sementara realitas di luar dirinya berubah dengan seluruh keguncangannya.
Apakah, ketika memilih naskah lakon lama itu, mereka meyakini bahwa lakon tersebut masih memiliki relevansi dengan realitas kekinian? Pada beberapa pementasan mereka, saya tidak melihat adanya upaya menafsirkan kembali naskah lakon itu agar menjadi ”aktual”, hingga kita bisa melihat urgensi kenapa lakon seperti Pintu Tertutup, misalkan, mesti dipentaskan pada hari ini. Karena sifat teater memang ”di sini dan kini”. Karena itu, apa yang dimaksud dengan ”aktual” mesti dipahami: bahwa naskah lakon itu memberikan kemungkinan bagi kita untuk memahami dan merefleksikan kembali apa yang kita alami hari ini. Ini tentu saja soal interpretasi kita atas satu naskah lakon. Tetapi interpretasi itu mesti muncul di atas panggung. Dan itulah yang seakan absent dalam FTJ, kecuali pada lakon End Game Samuel Beckett (Teater Kolom) yang mencoba melepaskan lakon itu dari dunia absurdisme komunikasi menjadi absurdisme sistem politik (dunia). Bagi mereka yang setia pada teks, interpretasi semacam itu atas End Game boleh jadi memperlihatkan ketidaksetiaan pada ”semangat” teks lakon. Tetapi itu setidaknya memperlihatkan suatu upaya bagaimana panggung teater mesti secara terus-menerus mencoba merefleksikan realitas kekinian yang dihadapi.
Kemungkinan lain bisa dilacak: apakah naskah-naskah lama itu diangkat ke panggung hari ini karena minimnya ketersediaan naskah lakon yang ”lebih kontemporer”, yang secara artistik bisa memenuhi kegelisahan pencarian atas kemungkinan-kemungkinan pemanggungan? Lembaga semacam Dewan Kesenian Jakarta memang masih menyelenggarakan lomba penulisan lakon, tetapi (barangkali) naskah- naskah lakon pemenang lomba itu tidak bisa memenuhi hasrat artistik kelompok teater yang ingin mementaskannya. Di sinilah, kita melihat suatu karakteristik yang (mungkin) menarik dan unik dalam teater kita, yakni hubungan antara naskah lakon, penulis lakon, dan kelompok teater.
Kelompok teater kita ialah kelompok teater yang mengacu pada pencapaian artistik, di mana ”identitas artistik” yang dikembangkan kelompok menjadi semacam penanda untuk memahami gagasan-gagasan yang dikembangkan dalam pentas-pentasnya. Pada Teater Mandiri, misalnya. Gagasan teater sebagai teror mental dalam panggung- panggung Teater Mandiri tidak bisa dilepaskan dari ”pilihan” naskah yang mereka panggungkan. Bahwa gagasan ”teater teror” itu memang sudah tersedia dalam naskah lakon. Ini dimungkinkan karena naskah lakon adalah sebuah ruang untuk tumbuhnya gagasan teater yang ingin dikembangkan. Putu Wijaya merasa perlu menuliskan lakon-lakon Teater Mandiri karena naskah lakon yang ditulisnya itulah yang ”cocok” dengan gagasan teater yang diolahnya. Pendek kata, dalam naskah lakon terkandung gagasan teater. Naskah lakon Obrok Owok-owok Obrok Ewek-ewek Danarto, misalnya, memperlihatkan gagasan teater yang mengolah ruang-ruang permainan di atas panggung.
Begitupun dengan Nano Riantiarno, ia menulis naskah lakonnya dengan kesadaran: bahwa naskah itu memang memungkinkan dan cocok dengan gagasan artistik yang dikembangkan Teater Koma. Bahkan ketika Teater Koma memilih naskah lakon yang bukan ditulis oleh Nano, selalu naskah itu diinterpretasi, ditulis ulang, agar sejalan dengan gagasan artistik Teater Koma. Juga naskah lakon seperti Kapai-kapai sampai Ozon yang ditulis Arifin C Noer pun memperlihatkan gagasan artistik yang ingin dicapai oleh Teater Ketjil. Pada kasus yang lebih mutakhir terjadi pada Teater Garasi, di mana pada tingkat tertentu naskah memang disiapkan untuk memenuhi proyek artistik yang ingin dikembangkannya dalam pentas. Naskah lakon Waktu Batu adalah ”studi” tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa diolah oleh ruang, waktu, dan tubuh dalam teater. Bagaimana mengolah ruang dalam panggung pun menjadi semacam gagasan yang memengaruhi Radhar Panca Dahana ketika menulikan naskah lakonnya yang kemudian dipentaskan Teater Kosong.
Dengan begitu, kelompok teater kita pada dasarnya sangat sadar dengan pilihan artistik dan ”gagasan teater” yang ingin dikembangkan dan dicapainya. Kesadaran semacam ini membawa implikasi: betapa mereka membutuhkan naskah lakon (sebagai dasar atau bahan awal untuk diolah dalam pentas) yang ”sesuai” dengan ”gagasan teater” yang ingin dikembangkannya. Mungkin karena itulah, nyaris para penulis lakon seperti Putu, Riantiarno, Arifin, Heru Kesawa Murti, dan Rahman Sabur menjadi bagian yang terlibat dalam proses lakon secara langsung. Karena dengan begitu, seorang pengarang naskah lakon pada dasarnya menyadari pada pilihan dan kecenderungan artistik yang ingin dikembangkan kelompok teater itu.
Naskah lakon-naskah lakon yang ditulis tanpa gagasan teater pada akhirnya menjadi closet drama, naskah lakon yang (hanya) menarik ketika dibaca. Naskah lakon seperti itu barangkali tidak dianggap cukup mewakili gagasan artistik yang ingin dikembangkan oleh satu kelompok teater tertentu. Bila pada FTJ lalu tidak muncul ”naskah lakon baru”, tentu saja bukan berarti tak ada naskah lakon kontemporer (yang lebih mewakili realitas sosial kita hari ini) yang ditulis belakangan ini. Tetapi barangkali, naskah lakon-naskah lakon tersebut memang tidak mampu mewakili gagasan teater yang ingin dikembangkan kelompok teater itu. Naskah lakon ditulis tidak hanya untuk ”menggambarkan realitas”, tetapi yang lebih penting bagaimana mengolah realitas tersebutke dalam gagasan teater. Dalam situasi seperti ini, teater kita memang membutuhkan para pengarang yang mau menjadi bagian dari proses pematangan dan pencarian gagasan teater. Bahwa, sebagaimana tampak dalam banyak kelompok teater kita, sebuah pentas teater bukan hanya suatu upaya untuk mengomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang tampak lebih ”penting” adalah merepresentasikan gagasan dan ide-ide teater di atas panggung.
* Agus Noor, Prosais, Penulis Lakon
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment