Saturday, February 09, 2008

Khazanah: Bahasa dan Jati Diri Bangsa

-- Imam Jahrudin Priyanto*

MENDALAMI bahasa Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Semakin didalami, semakin terasa kesulitan dan segala kroniknya. Namun, dalam kesulitan itu terdapat keunikan tertentu sehingga orang yang mencintai bahasa Indonesia akan semakin asyik mendalaminya.

Sudah selayaknya bila kita merasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang kosakatanya digali dari kekayaan budaya sendiri, khususnya bahasa Melayu, yang kemudian mendapat pengayaan dari sana-sini.

Proses adopsi atau penyerapan dari bahasa lain selalu ada. Bahasa Inggris, misalnya, sebagai bahasa yang paling banyak dipakai di dunia, ternyata masih menyerap kata-kata dari bahasa Indonesia. Umpamanya saja kata rattan (dari rotan), bamboo (bambu), orangutan (orangutan), roozak (rujak), dan amok atau amuck yang berarti marah.

Bahasa Inggris pun masih perlu menyerap utuh kata entrepreneur (pengusaha) dari bahasa Prancis. Kemudian kata itu dibubuhi akhiran ship (sufiks yang dalam bahasa Indonesia berarti ke - an) sehingga muncullah kata entrepreneurship (kewirausahaan). Jangan lupa juga kata "sambal" dan "tahu" sudah masuk dalam bahasa Jerman, atau setidaknya sudah digunakan oleh orang Jerman untuk maksud dan arti yang sama dengan sambal dan tahu dalam bahasa Indonesia.

Demikianlah perkembangan bahasa, selalu diwarnai dinamika yang tak ada habisnya. Setiap bahasa saling berinteraksi dengan tujuan untuk memperoleh pengayaan, suatu hal yang sudah menjadi syarat mutlak agar bahasa bisa eksis di tengah masyarakat yang terus maju dan berkembang.

Dalam kaitan itu, bahasa Indonesia pun terus memperkaya diri dengan kosakata baru agar bisa mengikuti perkembangan, termasuk dalam hal teknologi. Tak bisa disangkal, untuk pengayaan istilah teknologi, bahasa Indonesia banyak menyerap kata atau istilah bahasa Inggris, yakni bahasa yang dipergunakan para ahli penemu atau pencipta barang-barang tertentu.

Proses pengayaan itu tidak hanya terkait proses penyerapan, tetapi juga penciptaan kata-kata (baru) yang memiliki arti sama atau sepadan, misalnya cakram padat untuk compact disc, pelantang untuk microphone (walaupun sudah ada bentuk serapan mikrofon), atau peranti pengondisi udara untuk air conditioner (AC), dan lain-lain.

Dalam bidang lainnya, kini hadir pula istilah pemangku kepentingan yang artinya sama dengan stakeholder, atau penyintas yang artinya sama dengan survivor (orang yang selamat dalam insiden, musibah, atau kecelakaan). Belum lama ini pun muncul istilah uang kerahiman yang artinya sepadan dengan atonement money atau uang kompensasi atas kedukaan, kerugian (semacam uang penebus dosa).

Para ahli bahasa juga merasa tidak nyaman dengan kata nominator yang diartikan secara salah kaprah sebagai orang yang dicalonkan atau diunggulkan dalam proses nominasi. Padahal, nominator berarti orang atau tim panel yang mencalonkan atau mengunggulkan orang (pihak) tertentu dalam proses nominasi. Sementara orang yang dicalonkan atau diunggulkan dalam proses nominasi disebut nomine dan kata ini sudah resmi masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (sejak edisi kedua). Kata nomine diserap dari nominee (bahasa Inggris).

Selain dari bahasa asing, bahasa Indonesia juga memperkaya diri dengan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda. Salah satu contohnya, kata ngabuburit. Pada bulan Ramadan, media-media nasional, baik cetak maupun elektronik, tak ragu lagi menggunakan kata itu untuk arti menanti tibanya waktu magrib (burit) saat orang berbuka puasa. Kini kata ngabuburit sudah menasional. Perkembangan bahasa memang tidak bisa dibendung.

Saat ini, pejabat dari berbagai daerah di Indonesia terus berkomunikasi dengan Pusat Bahasa (dulu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) Depdiknas di Jakarta, untuk mengusulkan agar kata-kata atau istilah dari daerah mereka bisa dimasukkan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat yang rencananya diterbitkan Oktober 2008.

Dinamika bahasa

Bahasa yang hidup adalah bahasa yang dinamis. Jadi tidak ada bahasa yang benar-benar mapan. Selalu ada kekurangannya. Ambil contoh, semula dalam bahasa Inggris beberapa kata yang menunjukkan profesi atau pekerjaan, seolah-olah hanya untuk laki-laki, yang ditandai adanya akhiran man, misalnya businessman (pengusaha), spokesman (juru bicara), atau chairman (ketua). Kata-kata itu sangat bias gender. Apakah profesi pengusaha, juru bicara, atau ketua organisasi itu hanya untuk laki-laki?

Dalam perkembangannya, banyak perempuan yang memprotes penggunaan kata-kata itu. Maka kemudian muncullah kata businessperson, spokesperson, dan chairperson. Mungkin kata-kata terakhir ini masih terdengar asing bagi sebagian kalangan, namun lihatlah dalam perkembangannya, kata-kata tersebut pasti akan semakin akrab. Kata spokesperson sudah lebih dulu "tampil" karena sering digunakan dalam laporan politik, terutama bila juru bicara kepresidenan atau juru bicara kementerian luar negeri (yang berjenis kelamin perempuan) memberikan keterangan di televisi.

Perkembangan bahasa adalah bagian dari proses sosial yang ditandai oleh adanya dinamisasi dalam konteks kehidupan masyarakat. Namun, hendaknya perkembangan itu tidak sampai mengurangi wibawa bahasa sebagai bagian dari jati diri bangsa. Dalam konteks keindonesiaan, hendaknya bahasa Indonesia menempati posisi terhormat. Tidak menjadi bahasa kelas II seperti tercermin dari sikap sebagian anggota masyarakat yang lebih sering membangga-banggakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam benak mereka, bahasa asing lebih gaya, lebih bergengsi, atau lebih laku dijual.

Kecenderungan penggunaan bahasa asing secara tidak proporsional atau berlebihan, sejatinya memang harus diwaspadai karena dalam konteks makro bisa mengancam wibawa bahasa Indonesia. Ambil contoh, nama-nama kompleks perumahan atau pertokoan mewah. Masih banyak kompleks perumahan atau pertokoan mewah yang menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sementara nama perumahan tipe-tipe kecil menggunakan bahasa Indonesia.

Perlakuan seperti ini cenderung diskriminatif dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kelas II. "Mengapa harus menggunakan bahasa asing? Tokh kompleks perumahan Pondok Indah di Jakarta yang jelas-jelas berasal dari bahasa Indonesia, tetap dianggap sebagai kompleks elite, kompleks yang bergengsi. Jadi tidak harus dengan bahasa asing," kata Drs. Mustakim, M.Hum., Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa saat menjadi pembentang makalah pada Seminar Pengutamaan Penggunaan Bahasa Indonesia di Pusat Bahasa, Jakarta, Desember 2007 lalu.

Bahasa Indonesia tentu bukanlah bahasa kelas II, namun bahasa terhormat yang memiliki peran strategis. Namun, pernyataan ini hendaknya jangan ditafsirkan bahwa kita harus "memusuhi" bahasa asing. Apalagi kini, menguasai bahasa asing sudah menjadi keharusan untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun, perlu dicatat, penggunaan bahasa asing haruslah proporsional, terutama dalam konteks hubungan internasional.

Peran sekolah

Sikap menyepelekan bahasa Indonesia juga terjadi pada sebagian pelajar yang tidak mau mendalami bahasa nasional ini karena mereka menganggap bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari. Tak heran bila ada pelajar SMP atau SMA mendapat nilai 10 untuk pelajaran bahasa Inggrisnya di rapor, sementara nilai bahasa Indonesianya 7.

Disinyalir, sekolah-sekolah tertentu pun cenderung tidak mengutamakan bahasa Indonesia. Kini banyak sekolah nasional berstandar internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Padahal sebaiknya (atau seharusnya), yang "internasional" itu hanya kurikulumnya, sedangkan bahasa pengantarnya tetap bahasa Indonesia. Ini tentu berbeda dengan sekolah internasional yang pasti menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Kondisi-kondisi tersebut mengundang keprihatinan pakar linguistik Prof. Dr. Amrin Saragih yang juga Guru Besar Universitas Negeri Medan. Tokoh yang juga Kepala Balai Bahasa Medan ini menganggap sebagian orang Indonesia sedang mengalami krisis bahasa yang juga berarti mengalami krisis identitas. Mereka mengalami "demam" bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, yang dianggap memiliki nilai jual tinggi. Semua istilah, merek dagang, spanduk, nama perusahaan, nama hotel, dan nama tempat pelayanan umum menggunakan bahasa Inggris, atau bercampur bahasa Inggris, sehingga tidak proporsional.

Dalam konteks senada, penyair mbeling Remy Sylado yang juga seorang munsyi (ahli bahasa), mengecam keras bertebarannya kata-kata dan istilah asing di berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia, seolah-olah kita tidak punya bahasa Indonesia. Media massa cetak dan elektronik pun dikritiknya karena sering menggunakan kata atau istilah bahasa asing secara berlebihan, padahal kata atau istilah yang memiliki arti sama atau sepadan sudah ada dalam bahasa Indonesia.

Sikap respek

Sebenarnya, bahasa Indonesia punya tempat yang khusus di hati masyarakat internasional. Banyak warga negara lain, misalnya Jepang atau Australia yang mempelajari bahasa Indonesia. Kini tercatat ada 73 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, baik di tingkat SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi.

Di Australia, bahasa Indonesia diajarkan dari tingkat SD sampai SMA. Beberapa perguruan tinggi di sana juga membuka program studi bahasa Indonesia. Sementara di Jepang ada tujuh belas perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Dari semua paparan tersebut, kini diharapkan muncul sikap untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dan menempatkannya pada posisi terhormat. Petugas hotel misalnya, tak perlu ragu untuk menyapa tamu asing dengan salam "selamat pagi" pada kesempatan pertama, baru kemudian "good morning" (bila dirasa perlu). Buat apa kita menggunakan kata concern padahal kita punya kata peduli? Mengapa kita memakai kata input padahal kita punya kata masukan? Mengapa harus organizing committee, bukan panitia pelaksana? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Semua pihak dituntut untuk peduli terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik itu pelajar, pengajar, pejabat, maupun pers. Apalagi pers memiliki peran yang sangat besar karena produknya setiap hari dibaca atau dinikmati masyarakat luas. Kini saatnya kita menunjukkan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bagian dari jati diri bangsa.***

* Imam Jahrudin Priyanto, Redaktur Bahasa Pikiran Rakyat

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 9 Februari 2008

No comments: