-- Agus Hernawan*
BEBERAPA waktu lalu, setiap kali berjalan di depan kantor Dinas Pendidikan Kota Padang, saya paling senang memelototi baliho, yang menurut saya menarik. Menarik karena—ternyata tidak hanya terdapat di Kota Padang, tetapi juga di kota-kota lain— berpotensi menjerumuskan, menyesatkan, dan menjadi kebohongan.
Baliho itu memuat gambar sepasang peserta didik, disertai keterangan tentang sekolah menengah kejuruan (SMK) di bawahnya. Kedua peserta didik itu berdiri di pangkal jenjang, tengadah menatap ke ujung jenjang, ke sebuah pintu yang terbuka lebar. Di balik pintu itu terhampar pemandangan sebuah kota dengan gedung-gedung bertingkat dan mobil-mobil berkilat.
Kepada mereka, baliho itu menyuguhkan ”kesan” bahwa bersekolah di SMK adalah pilihan paling tepat untuk menuju masa depan yang terang-benderang. Tentu tak ada yang salah dari persuasi atau pesan ini. Persoalannya, sejauh mana ”pesan” ini dapat diterima secara faktual dan kontekstual? Atau jangan-jangan ia hanya ilusi.
Sebab, beranjak dari fakta, baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1998, SMK tergolong sebagai investasi sumber daya manusia yang mahal, sekaligus gagal. Sekolah-sekolah kejuruan menyumbang jumlah penganggur yang tak kalah besar dari sekolah menengah umum.
Belajar dari INS Kayutanam
Ruang Pendidik Indonesisch Nederland School (INS) Kayutanam berdiri 31 Oktober 1926. Sekolah ini kadang dipelesetkan menjadi ”Intelek, Nasional, dan Semangat”. Ada pula yang menyebut secara berkelakar INS kependekan dari ”Ingat Nasib Sendiri”, sebelum akhirnya dikenal sebagai akronim dari Institut Nasional Syafei.
Sekolah ini berawal dari rumah penduduk yang disewa, dengan jumlah murid 79 orang. Ruang Pendidik INS Kayutanam kemudian tumbuh menjadi salah satu sekolah Bumiputera terkemuka dengan fasilitas terlengkap untuk ukuran masa sebelum perang.
Hanya dalam waktu 13 tahun, pada tahun 1939, Ruang Pendidik INS Kayutanam telah menempati areal seluas 18 hektar, dengan fasilitas ruang kelas, bengkel kerja, dua asrama, dan tiga perumahan guru. Ada pula ruang makan dengan dapur kolektif, satu taman bacaan, poliklinik, gedung pertunjukan berikut lapangan sepak bola, atletik, tenis, ruang senam, dan kolam renang. Belum lagi pertokoan, koperasi, dan restoran. Adapun jumlah murid mencapai 500 orang yang berasal dari seluruh Indonesia.
Apa yang membuat Ruang Pendidik INS Kayutanam tumbuh menjadi sekolah Bumiputera terkemuka dengan fasilitas terlengkap pada masanya?
Apakah karena INS Kayutanam tergolong sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial Belanda? Jawabnya, jelas tidak. Malah sebaliknya, INS Kayutanam menolak segala bentuk subsidi. Ia dapat dikategorikan sebagai sekolah Bumiputera pertama dan salah satu sekolah modern tertua di dunia yang menerapkan—apa yang dalam lima tahun terakhir baru ramai dibincangkan di Indonesia—community-based education.
Dalam salah satu tulisannya, ”Kedudukan Perguruan di Tengah Masyarakat, Sekolah Dasar Sendi Nusa”, Engku Sjafei, pendiri Ruang Pendidik INS Kayutanam, menyatakan, ”…Antara masyarakat dan perguruan selayaknya mesti ada hubungan yang erat dan kerja sama yang sebaik-baiknya guna kebahagiaan nusa, bangsa, dan kemanusiaan”.
Untuk itu, Engku Sjafei bukan hanya menolak segala bantuan pemerintah kolonial, tetapi juga tawaran dana dari kas Kepala Nagari Se-Sumatera Barat atau subsidi dari seorang pejabat pemerintah kolonial.
Sebaliknya, beliau dan ayahandanya, Marah Sutan, memilih bermitra dengan organisasi buruh kereta api (VBPSS) yang berpusat di Padang. Juga dukungan dari perantau Minangkabau yang tergabung dalam ”Medan Perdamaian” di Jakarta. Selebihnya adalah ikhtiar sendiri, mulai dari honorarium guru, buku-buku Engku Sjafei, sampai pada penggalangan dana melalui aktivitas siswa, seperti pertunjukan sandiwara, penjualan hasil-hasil kerajinan mereka, maupun melalui pertandingan sepak bola (Navis, 1996).
Apa yang hendak dituju Engku Sjafei melalui sikap ”keras” dan tegasnya itu? Jawabannya tidak lain ialah kemandirian.
Engku Sjafei tidak mengajarkan kemandirian melalui teori atau ceramah, tetapi lewat contoh nyata. Kemandirian ini juga yang menjadi alasan mengapa INS Kayutanam di masa Engku Sjafei memilih menjadi sekolah nondiploma. ”Diplomamu,” ujar Engku Sjafei kepada murid-muridnya, ”adalah kemampuanmu berdiri sendiri dalam masyarakat, tanpa menggantungkan diri dan hidupmu pada lowongan-lowongan yang terdapat di kantor-kantor pemerintah kolonial.”
Agaknya, selain faktor sifat nasionalis dan sistem pendidikan yang memosisikan murid sebagai subyek dengan metode ajar-mengajar yang mengasah bakat, sikap aktif-kreatif, etos kerja, dan kurikulum yang memadukan antara pengetahuan umum dan keterampilan; penempaan sikap kemandirian di kalangan murid menjadi alasan pesatnya perkembangan Ruang Pendidik INS Kayutanam, khususnya pada masa Engku Sjafei. Para murid berdatangan dari seluruh Indonesia dengan kesadaran penuh untuk mencari dan menuntut pengetahuan dan keterampilan, bukan mencari selembar diploma atau ijazah.
Kepada murid-muridnya di setiap kesempatan selalu Engku Sjafei mengingatkan, ”Menjadi tuan kecil lebih berharga daripada menjadi budak besar.”
Kembali ke persoalan SMK, tampaknya SMK terus mencetak calon-calon ”kuli” bagi sektor ekonomi formal perkotaan. Murid dan orangtua murid diberi mimpi bekerja di kota, di gedung-gedung bertingkat, bisa memiliki rumah mewah dan mobil berkilat. Mereka menjadi korban dari ilusi yang memabukkan.
* Agus Hernawan, Penyair, Bergiat dalam Roda for Education and Culture
Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Februari 2008
No comments:
Post a Comment