-- Heru Kurniawan*
MENURUT Ricoeur dalam bukunya Interpretation Theory: Discourse and Surplus Meaning, Tradisi Posivistik-Logis telah menciptakan pembedaan antara makna eksplist dan makna implisit yang diperlakukan sebagai perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif yang dalam tradisi strukturalisme disebut juga dengan makna denotasi dan konotasi. Persoalannya adalah di manakah makna karya sastra meletakan paradigma filosofisnya?
Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari bahasa kognitif. Sedangkan makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Mencermati paradigma makna ini, maka karya sastra jelas condong pada tradisi implist karena substansi dari sastra adalah subjektivikasi-ekspresi yang diarahkan pada estetika dengan pemberdayaan bahasa yang emotif. Namun, tradisi positivistik-logis yang mengasumsikan bahwa tujuan satu-satunya bahasa adalah kode yang merepresentasikan dan mengkomunikasikan informasi aktual menyebabkan tradisi positivistik jelas lebih berpihak pada makna eksplisit-denotatatif daripada makna yang diusung karya sastra implisit-konotatif.
Di sinilah kemudian tradisi positivistik cenderung memandang miring karya sastra, karena maknanya yang implisit-konotatif dan tidak objektif, tidak menciptakan satu sistem yang pasti. Oleh sebab itu, objektivisasi karya sastra lahir sebagai gerakan kaum positivistik yang menyuarakan faham strukturalisme-otonom, yang memandang makna karya sastra sebagai dunia yang independen. Oleh sebab itu, makna konotasi-implisit dalam bahasa emotif karya sastra dimaknai dalam paradigma internal teks. Faktor eksternal teks dinihilkan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian makna karya sastra agar tetap, karena usaha analisis kajian ini adalah untuk mengungkap makna strutur dalam (deep structure).
Padahal kenyataannya, pengertian makna konotasi-implisit pada bahasa emotif dalam karya sastra tidaklah sesederhana hanya bergerak pada wilayah semantik (internal teks) saja, karena persoalan sastra bukan hanya mengacu pada dunia yang dikonstruksi oleh struktur--seperti diwacanakan oleh kaum strukturalisme atau persoalan intern bahasa yang defamiliar--seperti yang diwacanakan kaum formalisme Rusia--. Dalam hal ini saya menganggap bahwa sastra adalah "realitas imajiner" yang dikonstruksi sebagai refleksi "realitas masyarakat". Jadi, makna konotasi karya sastra tidak hanya terkotak pada tradisi internal-semantik, tetapi juga keluar dari dirinya, yaitu selalu menjalin hubungan yang dialektis dengan "realitas masyarakat" sebagai bahan dasarnya.
Dalam hal ini saya memahami makna konotasi dalam tradisi filsafat sebagai makna yang universal dan selalu berubah. Oleh sebab itu, substansi makna konotasi hakikatnya adalah eksistensialis. Perubahan makna konotasi ini bukan terjadi dalam dinamika internal karya sastra. Akan tetapi sebaliknya, perubahan makna ini terjadi karena dinamika eksternal karya sastra, yaitu pembaca sebagai mahluk sosial, yang dipahami sebagai individu yang telah dikodifikasi oleh sejarah sosial masyarakatnya. Oleh sebab itu, perubahan makna dalam karya sastra dibentuk juga oleh dinamika historis yang diakronik. Hal inilah yang menjadikan karya sastra selalu merepresentasikan semangat zamannya. Dalam hal ini Deridda mengatakan bahwa konsep (makna) terus berubah, bergerak, dan berkembang berdasar pada penyejarahaannya. Sehingga makna sebagai inti dari struktur karya sastra bergerak dalam poros ruang dan waktu.
Jadi, eksistensialisme makna dalam karya sastra tidak hanya menyangkut keberadaan makna bahasa yang multiinterpretasi, tetapi lebih dari itu, makna eksistensialisme karya sastra mengacu pada perubahan makna yang selalu dimunculkan oleh pembaca dalam konteks ruang dan waktu. Dengan menempatkan posisi makna karya sastra seperti ini, maka menurut saya, kita telah menempatkan teks sastra pada "ruang kebudayaan" yang humanis karena eksistensialisme makna karya sastra dipandang dari realitas sosial budaya yang menjadikannya. Sebaliknya, jika makna karya sastra yang implisit-konotatif ditempatkan pada dinamika internal teks, maka kita berarti telah mengalienasi karya sastra dari ruang kelahirannya, yaitu dinamika sosial masyarakat.
Polemik Sastra Kelamin
Dalam studi kasus yang masih hangat tentang polemik sastra antara kubu Hudan Hidayat, Binhad Nurrohmat dkk. dengan Taufik Ismail dkk. yang menyangkut tentang fenomena sastra yang pada akhir-akhir ini diramaikan oleh vulgarisme dalam berbicara tentang seks beserta pernik-perniknya, bagi saya adalah dinamika yang wajar. Oleh sebab ruang makna sastra yang terbuka memang menuntut para praktisi dan kritikus sastra untuk mengisinya dari sisi manapun, termasuk ideologi dan kepentingannya.
Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa untuk "mengembalikan sastra ke kekuatan teks" yang menganggap bahwa kemandegan capaian estetika sastra Indonesia salah satunya disebabkan meningkatnya kegiatan "politik sastra nonteks" atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai "strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra" tapi lebih sebagai "strategi pemasyarakatan diri atau kelompok" tanpa mempertimbangkan kekuatan karya, menurut saya adalah hal yang cenderung degradatif dan tidak mungkin, karena; pertama, jika "kekuatan teks" dimaknai sebagai "otonomi teks", maka ini sama seperti kita berpikir positivistik yang antihumanis dan cenderung nomothetik. Sastra dilihat hanya pada satu sisi, yaitu "teks" saja dengan mengabaikan dinamika eksternal yang melahirkan karya sastra.
Kedua, bahwa kekuatan sastra itu terletak pada harmonisasi antara kekuatan "teks" dan "nonteks", dan menurut saya "politik sastra nonteks" saat ini masih tetap berangkat dari "teks sastra" sebagai fenomena, misalnya fenomena sastra kelamin. Jadi "kekuatan teks" sastra haruslah dilihat tidak hanya "teks" sebagai karya, tetapi juga sebagai fenomena.
Sehingga apa pun "kepentingannya" selama apresiasi masih berangkat dari sastra, baik sebagai teks atau fenomena maka itu adalah hal yang wajar, karena sastra adalah fenomena yang dikodifikasi lewat bahasa yang terbuka untuk beragam interpretasinya, karena pertama, bahasa pada dasarnya bersifat terbatas sehingga tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman manusia; kedua, pengalaman atau mungkin kepentingan dalam setiap penafsir pasti tidak sama. Hal ini wajar juga bila dilihat bahwa hakikatnya tidak ada yang bebas nilai dalam setiap argumen dan perilaku manusia.
Persoalaannya kemudian; bagaimana reaksi yang tepat atas polemik sastra kelamin ini? Kita tanggapi saja secara positif karena ini adalah dinamika yang memang diciptakan dunia sastra. Dengan semangat multikulturalisme semua pro-kontra adalah natural. Selanjutnya, proses naturalisasi akan terjadi dalam seleksi sosial dunia sastra. Siapa yang akan dimenangkan adalah persoalan apresiasi "siapa yang benar-benar dianggap mewakili semangat zamannya" dan ini pun akan selalu bergerak dalam rangkaian diakronis sastra.
Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah semangat menghargai pluralisme bersastra, karena semangat ini pada hakikatnya tertanam dalam paradigma filosofi karya sastra yang merepresentasikan makna yang implisit-emotif-konotasi sebagai gerakan antipositivistik yang ideologik dan humanis.
* Heru Kurniawan, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment