Thursday, February 14, 2008

100 Tahun STA: Menengok 'Barat', Mengenang Sutan Takdir

BOGOR (Lampost): Ratusan orang dari berbagai latar belakang memadati halaman sebuah vila di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Selasa (12-2). Ada sejumlah tokoh, seperti Des Awli, Rosihan Anwar, Aristides Katoppo, hingga Yeni Wahid. Ada juga Duta Besar Belanda Nicholas van Dam, perwakilan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia, Singapura, dan Amerika Serikat.

Mereka berkumpul untuk memperingati 100 tahun lahirnya tokoh polemik kebudayaan yang juga pentolan sastrawan angkatan Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana (biasa disebut STA), yang jatuh pada Senin (11-2) lalu, tetapi baru diperingati Selasa (12-2).

Tamalia Alisjahbana, salah satu putri STA dari perkawinan ketiganya dengan Margaret Axer, warga Jerman, menyebutkan peringatan 100 tahun STA digelar untuk mengenal lebih jauh sosok STA dan mengenang kembali kehidupan STA serta kegiatan dan karyanya di berbagai bidang. "Selama ini masyarakat lebih mengenal ayah saya sebagai sastrawan yang menulis Layar Terkembang dan memimpin Pujangga Baru. Padahal, sumbangan utama STA adalah di bidang bahasa dan kebudayaan."

STA juga memberi sumbangan penting di bidang pendidikan, filsafat, dan sosiologi, yang memengaruhi kebudayaan dan kehidupan berbangsa," tutur Tamalia yang juga Ketua Yayasan STA.

Tamalia Tidak Mengada-Ada

Banyak ide STA mengilhami dan menjadi daya hidup bagi bangsa.

Salah satu yang paling fenomenal ialah idenya soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. Menurut penulis novel Tak Putus Dirundung Malang itu, jika ingin maju, bangsa Indonesia harus becermin dan berkiblat pada budaya Barat, hanya ke Barat.

Ia mengungkapkan pemikiran itu saat usianya baru 27 tahun (1935). Ide itu bukan hanya mengguncang pemikir seniornya kala itu. Sejumlah pemikir dan budayawan seangkatannya, seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane, mengkritik STA seraya mengingatkannya bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia.

STA tidak tinggal diam. Dalam Kongres Bahasa Indonesia di Solo, pada 1983, tokoh yang meninggal pada usia 86 tahun di Jakarta itu mengkritik keras beberapa pemikir yang dianggapnya cenderung antiegoisme, antiintelektualisme, dan antimaterialisme. Ide berkiblat ke Barat, kata STA, tidak lepas dari kondisi riil bangsa saat itu yang masih terkungkung oleh feodalisme yang menutup ruang bagi intelektualisme.

Pengamat sastra Maman S. Mahayana menyatakan pemikiran STA memicu lahirnya pemikiran konsep kebudayaan Indonesia. "STA juga membudidayakan tradisi berpolemik di dunia sastra yang kini jarang dilakukan para sastrawan," kata Maman.

Peran STA dalam perkembangan di bidang bahasa dan budaya juga diakui sangat berpengaruh bagi bahasa dan budaya di Belanda. Dubes Belanda Nicholas van Dam mengatakan hingga kini bahasa Indonesia banyak dipergunakan di Belanda. "Pemikiran STA juga sangat memengaruhi sudut pandang Belanda tentang kemerdekaan Indonesia. Kalau dahulu Belanda tidak mengakui bahwa Indonesia merdeka pada 1945, tetapi pada 1949, seiring perjalanan akhirnya Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 1945."

Selasa (12-2) lalu di vila itu, doa bersama dikumandangkan. Juga ada tabur bunga oleh seluruh anggota keluarga dan pembacaan puisi karya STA oleh Dian Sastrowardoyo. Diluncurkan juga situs internet STA yakni www.alisjahbana.org. S-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008

No comments: