JAKARTA, KOMPAS - Pemikiran budayawan (alm) Sutan Takdir Alisjahbana, atau dikenal dengan STA, yang Senin (11/2) kemarin diperingati 100 tahun kelahirannya, masih relevan hingga sekarang. Selain menginginkan kemajuan Indonesia dengan ”Menoleh ke Barat”, STA juga konsisten, gigih, dan patut menjadi teladan dalam kecintaannya pada Indonesia.
Demikian benang merah perbincangan 100 tahun STA dengan sastrawan peraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2007, Gus tf Sakai; budayawan yang juga pengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, Ivan Adilla; serta penyair terkemuka Sapardi Djoko Damono, Senin.
Menurut Gus tf Sakai, bila mencermati tulisan STA yang memicu Polemik Kebudayaan (1935-1936), sesungguhnya yang menjadi dasar pemikiran STA tak lain adalah kebudayaan Indonesia bukan merupakan sambungan dari kebudayaan Jawa, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Kebudayaan, menurut STA, adalah konfigurasi yang terdiri dari berbagai sistem nilai—estetik, kekuasaan, religi, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Ivan Adilla mengatakan, STA dengan sikap ekstremnya, ”Menoleh ke Barat”, harus dimaknai secara luas dalam konteks bagaimana mengadopsi, mengambil sesuatu, baik ilmu pengetahuan maupun teknologi yang baik, untuk kepentingan Indonesia.
Ivan menjelaskan, bagi STA, kebudayaan adalah sebuah totalitas yang membentuk corak dan dinamika masyarakat dan manusia dalam jati diri masing-masing.
Menurut Gus tf, di fora seminar, STA selalu menekankan bagaimana merebut ilmu, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, dan renaisans.
Gus tf menilai sangat tak tepat mengidentikkan STA dengan pemikiran yang telanjur menjadi capnya: ”mem-Barat”. Cap itu dia peroleh dari lawan polemiknya yang telah menggiring dan menyederhanakan pemikiran STA sedemikian rupa sehingga yang tinggal terkesan Barat versus Timur. Padahal, bisa dilihat, di perguruan tinggi yang didirikannya, Universitas Nasional, STA mendirikan berbagai pusat pengkajian, bukan hanya Pusat Studi Eropa, tetapi juga Pusat Studi China, Jepang, Korea, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Sapardi Djoko Damono, pandangan STA dilandasi suatu keyakinan, Indonesia tidak perlu takut berorientasi ke Barat, meniru, mengambil, mengadopsi ilmu pengetahuan atau perkembangan sosial-budaya yang positif. ”Barat yang dimaksud STA tak selalu identik dengan Eropa, tetapi juga India, Arab, dan sebagainya,” kata Sapardi. (NAL)
Sumber: Kompas, Selasa, 12 Februari 2008
No comments:
Post a Comment