-- Djulianto Susantio*
KASUS pemalsuan dan pencurian arca kuno dari Museum Radya Pustaka Solo pertengahan November 2007 telah membuka mata kita bahwa benda-benda purbakala mempunyai banyak nilai. Selain nilai komersial atau investasi yang tinggi, artefak-artefak arkeologi juga memiliki makna filosofi dan ilmu pengetahuan yang besar.
Pencurian benda-benda kuno bersejarah bukanlah terjadi kali ini saja. Sebelumnya, banyak museum pernah kehilangan koleksinya, baik karena ulah orang dalam maupun oleh orang luar. Museum-museum yang pernah kecolongan, antara lain, Museum Nasional Jakarta, Museum Trowulan Mojokerto, Museum Bali, dan Museum Negeri Sulawesi Tengah.
Bahkan, Museum Nasional paling kurang telah empat kali kebobolan. Pencurian oleh orang luar pernah dilakukan terhadap koleksi emas, koleksi numismatik, dan koleksi keramik asing. Sedangkan pencurian oleh orang dalam sendiri terhadap sejumlah koleksi lukisan.
Sebenarnya pencurian benda-benda arkeologi sudah terjadi sejak masa pra-kemerdekaan, sebagaimana identifikasi secara administrasi pada 1960-an. Ketika itu diketahui sejumlah arca dan berbagai ornamen candi hilang dari candi-candi di Pulau Jawa, seperti, Plaosan, Sewu, Bhima, Siwa, Sambisari, Banyunibo, Morangan, dan Gambar. Kejahatan yang paling "sadis" adalah pencongkelan terhadap sekitar 200 relief dari kompleks percandian Gunung Penanggungan (Jawa Timur) pada 1980-an.
Pencurian pun bukan hanya berlangsung di daratan. Perairan atau laut sering kali menjadi sasaran empuk para penjarah harta karun yang berasal dari muatan kapal kuno yang karam, seperti di Tuban, Riau, Selat Sunda, Teluk Jakarta, dan Laut Banda. Berjuta-juta dolar berhasil dikeruk oleh para sindikat internasional ini dari wilayah Nusantara.
Terjadi pencurian tentu ada penadahnya. Ini yang menyebabkan pencurian sukar dihilangkan. Sejumlah benda curian bahkan pernah dicoba diselundupkan ke luar negeri, namun beberapa di antaranya berhasil digagalkan aparat Bea dan Cukai. Tidak dimungkiri, kalau benda-benda kuno yang lolos dari jangkauan aparat sangat banyak. Terbukti, sejumlah benda kuno ilegal tahu-tahu sudah berada di galeri, museum, balai lelang mancanegara, dan kolektor.
Cagar Budaya
Benda-benda kuno di seluruh Indonesia termasuk dalam kategori benda cagar budaya. Menurut Undang-Undang Benda Cagar Budaya Nasional 1992 (sebagai perbaikan dari Undang-Undang Kepurbakalaan 1931), semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara (Pasal 4 ayat 1). Namun, bukan berarti perorangan atau individu tidak boleh memiliki benda kuno. Pasal 6 ayat 1 mengatakan, benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Salah satu syaratnya adalah benda cagar budaya tersebut dimiliki atau dikuasai secara turun- temurun atau merupakan warisan (Pasal 6 ayat 2a) serta jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara (Pasal 6 ayat 2b).
Selain itu, menurut Pasal 15 ayat 2b, tanpa izin dari pemerintah, setiap orang dilarang memperdagangkan atau memperjualbelikan benda cagar budaya. Undang-undang tersebut juga memuat tentang ketentuan pidana bagi para pelanggar, yakni pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta.
Sesungguhnya, terdapat berbagai jenis kejahatan terhadap peninggalan masa lampau. Yang tergolong "ringan" adalah pencurian, penyelundupan, dan penyingkiran. Sementara yang tergolong "berat" adalah penggalian liar, pengrusakan, dan penggusuran. Dikatakan "ringan" karena benda-bendanya masih ada, hanya berpindah tangan (kepemilikan). Sebaliknya yang berkategori berat, benda-bendanya sudah dalam keadaan rusak atau bahkan sudah hilang/musnah sama sekali.
Disayangkan, pihak berwenang hanya melihat pencemaran benda cagar budaya yang termasuk "ringan". Padahal, pencemaran "berat" sudah terjadi sejak lama. Pasal 15 ayat 1 mengatakan, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.
Kenyataannya, banyak warisan kuno justru dihilangkan dengan dalih "demi pembangunan". Candi Bendo, misalnya, ditenggelamkan oleh pembangunan Waduk Wonogiri. Padahal, candi itu merupakan bangunan yang unik karena terbuat dari batu kapur (umumnya candi berbahan batu andesit atau batu bata merah). Di Jakarta, yang menjadi korban pencemaran antara lain Hotel Des Indes (menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin) dan Gedung "Societeit de Harmonie" (menjadi lapangan parkir gedung Setneg). Belum lagi Gedung Seni Sono (Solo), Benteng Kuto Besak (Palembang), dan beberapa bangunan bersejarah di Semarang, Surabaya, Medan, dan Makasar.
Ironisnya, sebelum terjadi pemusnahan sudah banyak protes masyarakat terhadap kelanggengan bangunan-bangunan itu. Tapi, pandangan masyarakat tidak mendapat tanggapan karena rupanya di mata para penentu kebijakan, faktor ekonomi lebih dominan ketimbang faktor sejarah/arkeologi.
Sudah jelas, pelaku pelanggaran demikian harus mendapat "sentilan" serius dari pihak berwenang. Justru pelanggaran seperti itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar pencurian karena tidak menyisakan apapun kecuali dokumentasi gambarnya. Pencurian dan penggusuran keduanya sama-sama pencemaran, tetapi mengapa pelaku penggusuran warisan kuno tidak terjamah oleh hukum?
* Djulianto Susantio, arkeolog, tinggal di Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 21 Februari 2008
No comments:
Post a Comment