-- Yurnaldi
ADA dua peristiwa sastra yang menarik dicermati awal tahun ini, yaitu pemberian Khatulistiwa Literary Award 2006-2007 di Jakarta dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari. Terungkap, di samping ada kemajuan, juga ada yang jalan di tempat, bahkan ada yang tak berkembang sama sekali.
Penulis muda Farida Susanty berpidato sambil berlinang air mata seusai menerimapenghargaan Khatulistiwa Literary Award kategori penulis muda terbaik, pada malam penghargaan di Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (18/1). Selain Farida, pemenang lainnya adalah sastrawanGus tf Sakai untuk kategori prosa terbaik dan Acep Zamzam Noor untuk kategori puisi terbaik. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Dalam acara penyerahan Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2006-2007, 18 Januari lalu, yang dibicarakan bagaimana karya sastra dari waktu ke waktu mencapai kemajuan, menghasilkan karya berkualitas.
”Sudah tujuh tahun KLA (Khatulistiwa Literary Award) membuka jalan bagi terciptanya landasan kesusastraan yang kokoh. Anugerah tersebut telah membantu para penulis untuk meneruskan karya mereka. Setiap tahun KLA menginspirasi penulis baru dan berbakat untuk menghasilkan karya sastra berkualitas dan mendorong penerbit untuk menemukan penulis baru yang penuh ambisi. Daftar nominasi KLA yang setiap tahun menampilkan nama-nama terkenal maupun belum terkenal membuktikan hal tersebut,” kata Richard Oh, penggagas KLA.
Richard menjelaskan, KLA sudah menjadi ikon yang merepresentasikan keunggulan Indonesia di bidang sastra. Tahun ini ada penghargaan kategori baru, yaitu penulis muda terbaik.
Menurut Koordinator Tim Juri KLA Donny Gahral Adian, dari 180 judul buku yang terpilih, puluhan juri yang bekerja secara independen menetapkan masing-masing lima prosa dan puisi yang masuk final. Untuk prosa, pemenangnya adalah buku Perantau karya Gus tf Sakai (43) dan puisi buku Menjadi Penyair Lagi... karya Acep Zamzam Noor (48). Untuk kategori penulis muda terbaik—dari 10 finalis—adalah Farida Susanty (18), dengan buku Dan Hujan pun Berhenti....
”Tak perlu diragukan, sebuah anugerah sastra tentu didasarkan pada nawaitu untuk menghargai, bukan saja kedalaman galian estetik pengarang dalam karyanya, tapi juga menghargai pilihan hidupnya sebagai pengarang, menghargai jalan kepengarangan yang terjal dan berliku sebelum berbuah karya besar,” katanya.
Yang membanggakan Richard, tidak hanya mampu memberikan uang tunai kepada pemenang buku puisi dan buku prosa masing-masing Rp 100 juta dan Rp 25 juta bagi penulis muda terbaik, tetapi juga karena ada sebagian penulis sekarang yang menjadi perhatian penerbit asing. ”Sehingga diharapkan ke depan sastra Indonesia semakin mendunia,” tandasnya.
Tentang karya sastra Indonesia yang mendunia, itu juga jadi salah satu topik perbincangan di Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus. Sastrawan Sutardji Calzoum Bachri mengakui masih sedikit karya sastra Indonesia yang mendunia (diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing), seperti antara lain karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Rendra, dan Sitor Situmorang.
”Beberapa karya sastra Indonesia sudah dikenal juga di dunia, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Rendra, dan Sitor Situmorang. Akan tetapi, memang tidak semuanya mendunia. Yang penting, bagaimana kita berkontribusi dalam karya sastra dunia,” kata Sutardji.
Sejumlah sastrawan berharap penerbit buku Indonesia berani menerbitkan karya sastra Indonesia dalam bahasa asing. Bukan mustahil suatu waktu akan ada sastrawan Indonesia yang meraih hadiah Nobel Sastra.
Menurut pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, karya sastra bisa menjadi pintu masuk bagi orang asing untuk memahami kebudayaan dan masyarakat Indonesia karena karya sastra sebagai representasi kebudayaan masyarakatnya.
Setidak-tidaknya, jika penerbit swasta kurang berani menerbitkan karya sastra dalam bahasa asing, pemerintah harus turun tangan. Anggap saja ini semacam penghargaan dari pemerintah untuk sastrawan yang karyanya layak mendunia. Sebab, sampai sekarang, sastrawan Indonesia belum diperlakukan sebagaimana negara lain memperlakukan sastrawannya, di mana ada gelar/penghargaan sebagai sastrawan negara dengan segala fasilitas dan kemudahan, seperti di Malaysia dan Korea.
Jika pemerintah bisa memberikan penghargaan kepada atlet yang berprestasi Rp 200 juta per keping medali emas, kenapa untuk sastra Indonesia, sastrawan yang berprestasi di tingkat ASEAN, misalnya, tak pernah mendapat penghargaan?
Ini merefleksikan betapa Pemerintah Indonesia abai terhadap kemajuan sastra dan atau menganggap sastra tidak penting.
Sastra komunitas
Banyak persoalan di seputar sastra yang terungkap pada sesi dialog dan seminar di Kudus. Mulai dari buku sastra yang tak ada pembaruan, tak memperkenalkan sastrawan-sastrawan baru dengan karya-karyanya, soal bagaimana komunitas sastra menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia, sampai sastra komunitas yang terancam punah.
Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Komunitas Sastra Indonesia, menilai, yang mesti mendapat perhatian adalah sastra komunitas, atau sastra lokal, sastra tradisional, sastra lisan di daerah-daerah yang minim perhatian dan kepedulian pemerintah.
”Kondisinya sekarang di ambang kepunahan. Sastra lisan, sastra tradisional, atau sastra lokal kurang diperkenalkan di daerahnya sendiri karena minimnya penerbitan, minimnya pertunjukan, dan minimnya pembinaan,” ungkapnya.
Menurut dia, pejabat kita, pemerintah kita, miskin sastra. Padahal, politik kalau dijalankan dengan sastra sangat bermartabat.
Ironisnya, kata Maman S Mahayana, selama ini yang dimaksud sastra Indonesia itu adalah karya sastra yang ada di Jakarta dan kota-kota besar saja. Perjalanan sejarah sastra Indonesia banyak pemanipulasian fakta dan data dan seolah-olah terpusat di Jakarta. ”Tentu saja hal ini sangat menyesatkan,” ujarnya.
Sastrawan dan dosen Universitas Negeri Surabaya, Budi Darma, mengatakan, pandangan umum memang menyiratkan sastra yang tidak diterbitkan di Jakarta bukanlah sastra dalam arti yang sebenarnya.
”Motivasi komunitas untuk melawan hegemoni standar tertentu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia,” ujarnya.
Keberadaan komunitas sastra ternyata membawa ideologi tertentu. Shiho Sawai, pengajar dari Universitas Gadjah Mada/Tokyo University of Foreign Studies, mengatakan, komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas Indonesia.
Ketua Umum KSI Ahmadun Yosi Herfanda membenarkan bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan media yang tak terhindarkan dari pengembangan ideologi, baik disengaja maupun tidak oleh penciptanya.
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Februari 2008
No comments:
Post a Comment