-- Parni Hadi*
KONGRES pertama Komunitas Sastra Indonesia (KSI), yang diadakan di Kudus 19-22 Januari 2008, tentu sangat penting artinya bagi perjalanan sastra Indonesia. Tema kongres --Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia -- saya pikir sangat tepat.
Dari observasi dan bacaan saya atas liputan beberapa koran menjelang kongres, saya mencatat bahwa sastra Indonesia masih diidentikkan dengan sastra yang diterbitkan atau ditampilkan di kota-kota besar terutama Jakarta, kurangnya publikasi tentang sastra Indonesia, perlunya pendidikan sastra di sekolah-sekolah, dan kurangnya anggaran untuk pengembangan kebudayaan dengan sastra sebagai rohnya. Dan, yang tak kalah penting, nasib sastrawan perlu mendapat perhatian.
Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya.
Komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya.
Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.
Bagaimana dengan sastra lokal, sastra komunitas, yang didukung dan dilestarikan oleh orang-orang desa yang sederhana, yang mungkin tidak tahu dan tidak mau menyebut dirinya sastrawan, melainkan sebagai hanya pelestari ritual, tradisi warisan leluhur? Untuk yang terakhir ini, terutama saya berbicara tentang sastra lisan.
Menurut saya, tidak kalah pentingnya KSI juga memperhatikan perkembangan sastra lisan. Jika sekarang kita berbicara tentang musikalisasi puisi, seniman-seniman tradisional di desa-desa Jawa sudah lama melakukannya dalam bentuk mocopat, seni kentrung, yang melantunkan syair dengan iringan kendang.
Bentuk-bentuk musikalisasi sastra juga ada di desa-desa di seluruh Nusantara. Bahkan, petani sering melantunkan syair, parikan dalam bentuk uro-uro tatkala bekerja di sawah/ladang seperti waktu membajak sawah dan memanen padi, jagung dan kedelai.
Yang aktif melestarikan sastra lisan di desa-desa sekarang, justru bukan sekolah, melainkan pesantren tradisional dan majelis-majelis pengajian atau kelompok-kelompok yang mengadakan pertemuan/sarasehan pada hari-hari tertentu seperti Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon.
Sastra di desa-desa pada waktu saya kecil dulu mendapat tempat yang tinggi. Salah satu buktinya, orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis dianggap mengerti sastra dan pantas memakai nama tua (setelah menikah) 'sastro' seperti Nitisastro, dan Sastrodiningrat. Orang yang buta huruf dianggap tidak mengerti sastra dan kalau pun ingin memakai nama sastra, diplesetkan menjadi 'setro'.
Sengaja saya berbicara tentang sastra lisan dalam kedudukan saya sebagai Direktur Utama RRI, yang bisnis utamanya memang audio, oral atau lisan, sekalipun kini RRI sudah mengembangkan program siarannya secara three in one (audio, video dan teks). Seluruh 58 stasiun RRI yang tersebar dari Banda Aceh sampai Merauke telah menggalakkan gelar seni budaya sejak dua tahun terakhir.
Beberapa bentuk seni tradisional kami tampilkan dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya. Di antara acara tersebut, yang erat dengan KSI adalah acara berbalas pantun daerah antara stasiun RRI. Juga ada acara berbalas pantun antara RRI dengan RTM (Malaysia) dan RTB (Brunei Darussalam). Dan, sekarang KSI sudah mempunyai jadwal tampil di RRI. Saya undang anggota KSI di manapun Anda berada untuk tampil di stasiun RRI terdekat Anda.
Tentu, undangan ini juga berlaku untuk sastrawan, seniman dan budayawan, yang tidak tergabung dalam KSI, karena RRI sekarang adalah radio milik publik. Sesuai dengan perintah undang-undang dan peraturan yang membidani kelahiran Lembaga Penyiaran Publik (LPP), salah satu tugas RRI adalah sebagai pelestari budaya bangsa.
Lima pilar
Saya perlu mengulang tesis saya tentang pelestarian budaya, termasuk seni sastra, yang relevan dengan tema kongres KSI. Pelestarian budaya tidak identik dengan pengawetan, tetapi menjaga dan mengembangkan nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman perilaku, cara berpikir dan cara hidup manusia yang telah disepakati oleh sebuah komunitas di suatu wilayah dan atau negara. Untuk itu, perlu ada regenerasi (seniman, budayawan), kreasi dan kompetisi.
Agar pelestarian budaya dengan pengertian tersebut berhasil, maka lima pemangku (pilar) kepentingan budaya perlu terlibat atau dilibatkan dalam sebuah upaya yang terpadu. Pertama, negara/pemerintah yang memfasilitasi. Kedua, seniman dan budayawan yang berdedikasi dalam berkreasi. Ketiga, publik yang mengapresiasi. Keempat, dunia usaha yang memberi donasi dan membangun industri (seni budaya). Dan, kelima, media massa, termasuk RRI, yang melakukan publikasi.
Dari ke lima pemangku itu, saya ingin lebih menyoroti peranan negara/pemerintah dan dunia usaha sebagai fasilitator dan penyandang dana.
Keluhan kekurangan biaya untuk pengembangan kebudayaan, mestinya bisa diatasi dengan memanfaatkan anggaran untuk pendidikan yang sekarang dipercayakan kepada Depdiknas, yang jumlahnya, sesuai perintah konstitusi, harus mencapai minimal 20 persen dari APBN.
Jika kita sepakat bahwa tugas utama pendidikan itu tidak hanya membuat orang pintar, tetapi harus berwatak (berkarakter), dan watak itu cerminan dari kebudayaan kita, maka pengembangan kebudayaan, termasuk seni sastra, harus mendapat porsi yang besar dari anggaran yang kini dikelola oleh Depdiknas itu.
Singkat kata, perlu revisi atau relokasi anggaran Depdiknas dengan memberi porsi besar untuk pendidikan budi pekerti melalui pendekatan seni budaya. Pendidikan, menurut saya, adalah upaya pembudayaan. Hal serupa juga perlu dilakukan dengan anggaran Departemen Agama karena departemen ini juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Dunia usaha memang pantas diimbau untuk mendukung upaya pelestarian seni-budaya, termasuk sastra. Dana untuk itu bisa diambil dari anggaran Corporate Social Responsibility (CSR). Tapi, saya ingin ingatkan bahwa masih ada kecenderungan dana CSR itu lebih diarahkan untuk promosi daripada donasi murni.
Tentu, saya gembira kongres KSI bisa terselenggara berkat sponsor PT Djarum, pabrik rokok, yang terkenal aktif sebagai pendukung utama berbagai kegiatan, termasuk olah raga dan seni-budaya.
* Parni Hadi, Dirut RRI, pengamat sastra
Sumber: Republika, Minggu, 17 Februari 2008
No comments:
Post a Comment