Sunday, February 17, 2008

Esai: Edward Said, Sastra, dan Politik

-- Dahta Gautama*

Perjalanan intelektual Edward Said, seorang kritisi sastra terkemuka dan pembela lantang hak asasi manusia, telah membawa dirinya berkeliling dunia dan melintasi beraneka disiplin. Memberikan sumbangan penting bagi terciptanya perdebatan kontemporer tentang orientalisme, analisis wacana, politik pembangkangan dan post-kolonialisme.

Dengan mengkaji kekuasaan-kekuasan yang mapan di seluruh dunia, Said telah menyingkap sejumlah isu penting mengenai imperialisme, keterbelakangan dan kebudayaan. Sebagai orang yang menganggap seluruh dunia sebagai tanah airnya, ia menaruh harapan pada budaya-budaya yang tersisih dan peran intelektual sebagai sarana untuk membebaskan pemikiran kritis manusia dan menekankan kembali pentingnya pelbagai bentuk budaya melalui penafsiran ulang atas sejarah.

Pemikiran ulang Said yang kritis tentang sejarah mengandung arti sangat penting, yang kebetulan ia ungkapkan seiring dengan maraknya beraneka tanggapan yang berpengaruh luas mengenai periode restrukturisasi global, di mana kekuatan-kekuatan imperialis yang culas terus melancarkan pengaruhnya terhadap politik dan kebudayaan dunia.

Dilahirkan di Palestina, kemudian menjadi pengungsi di Mesir sesudah kekalahan Palestina pada tahun 1947 dan kemudian menjadi imigran di Amerika Serikat. Said telah melewatkan sebagian besar hidupnya sebagai seorang yang terusir dari tanah airnya sendiri. Sebab itulah ia memiliki rasa simpati yang mendalam terhadap kebudayaan yang tersisih. Hidup di tengah meluapnya semangat kebencian rasis di AS, di mana orang-orang Amerika konservatif sayap kanan sempat membakar kantornya, Said telah belajar menghadapi oposisi dan menuliskan suasana ketidakadilan yang tengah berlangsung.

Dalam memoarnya yang terbaru, Out of Place, Edward Said menelusuri lokasinya yang ambivalen dan kontradiktoris, disertai perasaan yang kian menguat sebagai orang asing--seorang Palestina--yang Kristen, dengan nama Inggris di depan nama belakang Arab dan tinggal di Amerika.

Dalam tahun-tahun ketika ia menjadi mahasiswa di AS, Said berangsur-angsur mulai merasa terasing dari budaya Amerika yang pro-Israel. Dengan dikalahkannya bangsa Arab oleh orang-orang Israel pada perang tahun 1967, sebagian wilayah Palestina pun lenyap, dan ini mendorong Said untuk berpikir dan menulis secara ekstensif tentang masalah Palestina.

Pada tahun 1977 ia bergabung dengan Dewan Nasional Palestina yang merupakan parleman di pengasingan. Sejak saat itu ia mencoba dalam pengertian tertentu untuk mengombinasikan minatnya terhadap sastra, filsafat dan kebudayaan dengan minat terhadap politik kontemporer. Karya Said adalah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara privat dan yang publik. Kritik sastranya senantiasa sejalan dengan pengalaman politik pribadinya serta pendiriannya yang radikal dan oposisional, yang berusaha menyuarakan kebenaran terhadap kekuasaan.

Perjalanan hidup Said adalah kisah tentang dunia yang pada dasarnya telah lenyap dan terlupakan. Kisah itu dinarasikan dengan latar belakang Perang Dunia II dan politik Timur Tengah, hingga tercapainya Perjanjian Oslo pada tahun 1993 yang menjadi saksi kesepakatan tentang Palestina. Namun, yang lebih penting dari peristiwa-peristiwa bersejarah itu, ia merupakan kisah tentang suatu bentuk yang tersingkir, yang bertutur tentang keberangkatan, kedatangan, perpisahan, pengasingan, nostalgia, kerinduan akan kampung halaman dan perjalanan itu sendiri.

Kesan keseluruhannya, tulis Said, senantiasa ketersingkiran. Ini menjelaskan hibriditas Said atau "ruang antara" yang ia tempati sebagai orang usiran, yang hidup pada batas-batas identitas antar-budaya. Said memandang posisinya ini sebagai posisi yang menguntungkan, di mana ia bisa menjadi seorang intelektual yang merupakan "orang usiran atau marginal".

Said merasakan kedekatan yang mendalam dengan Joseph Conrad, yang kegelandangannya sebanding dengan pengalamannya sendiri, berada dalam "ruang ketiga", yakni hampir selalu berada diluar kemapanan. Seperti Conrad, ia memanfaatkan tulisannya sebagai sarana untuk mencegah disintegrasi personal. Kesadaran sebagai orang usiran menjadi ilham dibalik eksplorasinya yang terus-menurus terhadap sastra dan politik. Hasil akhirnya adalah seorang usiran yang senantiasa bertarung dengan dunia "nyata", kepekaan migran yang berjuang untuk menemukan akomodasi dan perubahan. Proyek Said menjadi proyek pembebasan dan sejarah dan kebenaran resmi, dengan cara membangun kesadaran tentang sejarah pinggiran yang berisi kebenaran nyata yang kerap tertindas.

Intelektual dan Politik Lokasi

Pada 1968, sesudah terbentuknya Organisasi Pembebasan Palestina, Said memutuskan dengan tegas untuk tidak memisahkan antara yang personal dengan yang politik. Sudah tiba saatnya untuk menceburkan kebudayaan ke dalam lumpur politik. Hasil dari keputusan ini adalah menulis kupasan yang bersifat membangkang dan subversif tentang refresentasi Barat dan Timur.

Tahun 1970-an merupakan masa merembesnya teori tinggi Prancis ke dalam dunia Anglo-Saxon. Dalam konteks inilah kajian budaya post-kolonial terlembagakan. Proyek ini yang pertama kali dicetuskan oleh Frantz Fanon dan Aime Cesaire, lantas diperkuat oleh Edward Said lewat bukunya yang berpengaruh luas, Orientalism (1978), di mana ia, seperti kalangan Marxis Barat yang lain, menekankan pentingnya kebudayaan dan filsafat didalam paradigma Gramscian dan Foucaultdian mengenai strategi kekuasaan.

Luasnya tugas pembaruan di tengah konteks ekonomi transnasional dan keruntuhan proyek-proyek sosialis, dan terutama karena diproklamasikannya mazhab pemikiran borjuis Barat yang didominasi oleh Francis Fukuyama dan sindroma "Akhir Sejarah", jelas merupakan masalah yang harus dihadapi Said.

Karya Said mengekplorasi secara cermat isu-isu penting tentang representasi budaya dengan jalan membongkar perubahan epistemologis yang berlangsung dibalik lingkup kekuasaan kolonialisme, orientalisme, nasionalisme dan xenofobia.

Karya-karya besar Said bisa dibahas dalam konteks ini, dengan menggarisbawahi posisinya sebagai intelektual yang mempersoalkan sejarah, kebudayaan dan sastra sebagai sistem-sistem pemikiran yang merepresentasikan citra-citra penciptaannya sendiri. Demi alasan-alasan yang bertujuan melestraikan struktural pengetahuan dan kekuasaan yang hegemonik. Peran intelektual secara relevansi isu kebudayaan dan identitas ini mendasari komitmennya terhadap idiologi rekonstruksi sejarah, melalui keterlibatannya dalam sastra yang kritis dan politis.

* Dahta Gautama, Penyair dan jurnalis, Direktur Lembaga Kajian Filsafat Lingkar Profetik (LKFLP) Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2008

No comments: