-- Heri Santoso
DUNIA kesenian belum tergarap secara rapi dan profesional. Kesenian masih dianggap sekadar klangenan, sehingga managemen pengelolaan kesenian masih ala kadarnya.
Padahal, jika dikelola secara serius, kesenian juga mampu memberi kehidupan yang laik bagi senimannya. "Seni itu sesungguhnya menghidupi," kata Mulyo Hadi Purnomo, ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) kepada Jurnal Nasional di kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Jl Tri Lomba Juang, Semarang, Jumat (4/1) pagi lalu. Mulyo yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip ini terpilih menjadi ketua Dekase periode 2012-2016 pada 30 Agustus 2012 dan dilantik menjadi ketua Dekase oleh Plt Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pada 11 Desember silam.
Apa yang dikemukakan suami dari Ririn Fatimah itu, berangkat dari lelakunya selama bergelut di dunia seni budaya di Kota Semarang sejak beberapa dasawarsa silam. Sejak menjadi mahasiswa ia sudah mengakrabi dunia seni di Kota Semarang, tempat ia ngangsu kawruh di Kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dimana ia lulus pada tahun 1992.
Seni seolah sudah menjadi darah daging bagi lelaki kelahiran Jepara, 15 Agustus 1966 ini. Sejak menjadi mahasiswa ia sudah akrab bergaul dengan para seniman dan sastrawan kala itu. Setelah jadi dosen pun, aktivitas berkesenian tidak luntur, justru makin membuncah. Aktif di Dekase mulai tahun 2006, menjadi manager of event Kampung Seni Lerep, Kab. Semarang (2008), pengurus Paguyuban Pecinta Batik Bokor Kencono (2008-2010), dan pengurus Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Jawa Tengah (2008-sekarang). Karirnya makin moncer, tatkala pada 2010 menjadi salah satu komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah.
"Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah tapi kondisinya masih seperti ini. Ini berarti ada kurang beres," ujar Mulyo prihatin. Semarang, menurutnya, masih identik dengan kota perdagangan dan jasa. Atmosfer berkeseniannya masih belum terbentuk dan diakui publik nasional. Dimensi budaya, ujar lelaki murah senyum ini, baru dimasukkan dalam beberapa tahun belakangan ini. Padahal, sejak dahulu, Semarang telah menjadi salah satu kantong budaya penting di era pergerakan dulu.
Mulyo yang juga wakil ketua KPID Jawa Tengah ini mencontohkan, Semarang mempunyai kawasan Pecinan, Kota Lama, kelenteng Sam Poo Kong, dan Ngesti Pandowo. "Ini semua bukti jika Semarang ini kuat secara budaya," ujar lulusan tahun 2009, Magister Ilmu Susastra Undip ini.
Persoalan kemudian, lanjut dia, bagaimana managemen itu dikelola dengan lebih baik atau tidak. Digarap serius atau asal-asallan. "Di sini, semua pemangku kebijakan perlu duduk bersama. Ada seniman, pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, serta penikmat seninya. Bersinergi bersama, mengurai persoalan dan mencari solusi bersama." ujar ayah dari dua anak: Kaula Kanda Pertama (8,5 tahun) dan Kayla Adinda Arane (7) ini.
Terkait minimnya anggaran pemerintah untuk kesenian, Mulyo mengakui, memang masih timpang bila dibandingkan dengan dana untuk olahraga atau bidang lainnya. “Saya kira ini problem di semua daerah. Namun, jangan dijadikan kendala untuk memajukan kesenian,‘ tuturnya.
Menurut penggemar tim setan merah Manchester United ini, sudah saatnya kesenian tidak hanya ekspresi diri tetapi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Ekonomi kreatif bisa tumbuh dari kesenian. Para seniman mesti berpikir untuk terus berkompetisi dalam karya-karyanya yang terbaik. Membuat kelompok-kelompok kesenian yang kemudian bisa menghasilkan uang. "Selama ini kesenian tidak dipenke (diperhatikan-red) betul-betul. Kreativitas tidak sekadar sebagai klangenan," ujarnya.
Membangun Kesenian itu Dari Hulu hingga Hilir
Tidak bisa tidak, menurut Mulyo, membangun kesenian yang hidup, harus juga membangunnya mulai dari persoalan "hulu" hingga "hilir"nya. Artinya, saling bersinergi dan visi bersama antarseniman dan pemangku kebijakan dalam satu tujuan besar. Jadi bagaimana menyambungkan hulu dan hilir. "Saat ini, bisa dikatakan tidak ada rangkaian besarnya, mau apa dan goals-nya apa,"paparnya.
Upaya membangun hilir itu, menurut Mulyo, bisa dimulai dari pemahanam kesenian yang berperan dalam membentuk karakter. Selain itu, juga melalui fasilitas penunjang berkesenian, misalnya dengan tersedianya infrastruktur panggung pertunjukan yang representatif dan berkelas nasional. Ia menyebut, gedung yang mendekati representatif hanya ada satu yakni di Auditorium RRI Semarang. “Di hilirnya, bagaimana kemudian kesenian itu benar-benar bisa menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga para seniman harus siap ketika sewaktu-waktu produk-produk kesenian itu diminati,‘ imbuhnya.
Ia mencontohkan, di Semarang memiliki ikon Kota Lama yang sering digunakan para sineas untuk membuat film. Ini potensi besar, sayangnya masih miskin pencitraan dan promosi. “Bila pencitraan sudah terbentuk aspek ekonomis dan budaya akan mengikuti. Menjadi destinasi wisata sekaligus menciptakan peluang ekonomi kreatif. Seniman bisa berkreasi melalui even kesenian dan pembuatan souvenir bagi pengunjung. Ini kan peluang.‘
Ke depan, Mulyo sudah menggagas sebuah festival yang diharapkan menjadi ikon Kota Semarang di masa mendatang. Festival itu akan dinamai “Festival Lampion‘. Mengapa lampion, dia beralasan, karena Semarang memiliki kawasan Pecinan yang menjadi salah satu unggulan desinasi wisata dan kesenian di Kota Semarang. Pecinan identik dengan lampion. “Festival ini pada pelaksanaanya nanti akan melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik di tingkat kota hingga rt di tingkat kelurahan. Satu malam, Semarang akan penuh nyala lampion,‘ impian Mulyo.
Festival Lampion menjadi cita-cita Mulyo di satu tahun ke depan. Pada tahun ini, ia bersama para seniman Semarang sedang menyiapkan gawe bertajuk pasar seni rupa di Agustus 2013 ini. Ia mengakui ide kegiatan ini mengadopsi dari pasar seni di Ancol Jakarta dan Surabaya. “Targetnya bisa memberdayakan seniman Semarang dan melibatkan beberapa seniman dari luar daerah,‘ harap Mulyo yang meyakini bahwa dengan memajukan kesenian ekonomi akan tumbuh.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 6 Januari 2013
DUNIA kesenian belum tergarap secara rapi dan profesional. Kesenian masih dianggap sekadar klangenan, sehingga managemen pengelolaan kesenian masih ala kadarnya.
Padahal, jika dikelola secara serius, kesenian juga mampu memberi kehidupan yang laik bagi senimannya. "Seni itu sesungguhnya menghidupi," kata Mulyo Hadi Purnomo, ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) kepada Jurnal Nasional di kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Jl Tri Lomba Juang, Semarang, Jumat (4/1) pagi lalu. Mulyo yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip ini terpilih menjadi ketua Dekase periode 2012-2016 pada 30 Agustus 2012 dan dilantik menjadi ketua Dekase oleh Plt Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pada 11 Desember silam.
Apa yang dikemukakan suami dari Ririn Fatimah itu, berangkat dari lelakunya selama bergelut di dunia seni budaya di Kota Semarang sejak beberapa dasawarsa silam. Sejak menjadi mahasiswa ia sudah mengakrabi dunia seni di Kota Semarang, tempat ia ngangsu kawruh di Kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dimana ia lulus pada tahun 1992.
Seni seolah sudah menjadi darah daging bagi lelaki kelahiran Jepara, 15 Agustus 1966 ini. Sejak menjadi mahasiswa ia sudah akrab bergaul dengan para seniman dan sastrawan kala itu. Setelah jadi dosen pun, aktivitas berkesenian tidak luntur, justru makin membuncah. Aktif di Dekase mulai tahun 2006, menjadi manager of event Kampung Seni Lerep, Kab. Semarang (2008), pengurus Paguyuban Pecinta Batik Bokor Kencono (2008-2010), dan pengurus Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Jawa Tengah (2008-sekarang). Karirnya makin moncer, tatkala pada 2010 menjadi salah satu komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah.
"Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah tapi kondisinya masih seperti ini. Ini berarti ada kurang beres," ujar Mulyo prihatin. Semarang, menurutnya, masih identik dengan kota perdagangan dan jasa. Atmosfer berkeseniannya masih belum terbentuk dan diakui publik nasional. Dimensi budaya, ujar lelaki murah senyum ini, baru dimasukkan dalam beberapa tahun belakangan ini. Padahal, sejak dahulu, Semarang telah menjadi salah satu kantong budaya penting di era pergerakan dulu.
Mulyo yang juga wakil ketua KPID Jawa Tengah ini mencontohkan, Semarang mempunyai kawasan Pecinan, Kota Lama, kelenteng Sam Poo Kong, dan Ngesti Pandowo. "Ini semua bukti jika Semarang ini kuat secara budaya," ujar lulusan tahun 2009, Magister Ilmu Susastra Undip ini.
Persoalan kemudian, lanjut dia, bagaimana managemen itu dikelola dengan lebih baik atau tidak. Digarap serius atau asal-asallan. "Di sini, semua pemangku kebijakan perlu duduk bersama. Ada seniman, pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, serta penikmat seninya. Bersinergi bersama, mengurai persoalan dan mencari solusi bersama." ujar ayah dari dua anak: Kaula Kanda Pertama (8,5 tahun) dan Kayla Adinda Arane (7) ini.
Terkait minimnya anggaran pemerintah untuk kesenian, Mulyo mengakui, memang masih timpang bila dibandingkan dengan dana untuk olahraga atau bidang lainnya. “Saya kira ini problem di semua daerah. Namun, jangan dijadikan kendala untuk memajukan kesenian,‘ tuturnya.
Menurut penggemar tim setan merah Manchester United ini, sudah saatnya kesenian tidak hanya ekspresi diri tetapi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Ekonomi kreatif bisa tumbuh dari kesenian. Para seniman mesti berpikir untuk terus berkompetisi dalam karya-karyanya yang terbaik. Membuat kelompok-kelompok kesenian yang kemudian bisa menghasilkan uang. "Selama ini kesenian tidak dipenke (diperhatikan-red) betul-betul. Kreativitas tidak sekadar sebagai klangenan," ujarnya.
Membangun Kesenian itu Dari Hulu hingga Hilir
Tidak bisa tidak, menurut Mulyo, membangun kesenian yang hidup, harus juga membangunnya mulai dari persoalan "hulu" hingga "hilir"nya. Artinya, saling bersinergi dan visi bersama antarseniman dan pemangku kebijakan dalam satu tujuan besar. Jadi bagaimana menyambungkan hulu dan hilir. "Saat ini, bisa dikatakan tidak ada rangkaian besarnya, mau apa dan goals-nya apa,"paparnya.
Upaya membangun hilir itu, menurut Mulyo, bisa dimulai dari pemahanam kesenian yang berperan dalam membentuk karakter. Selain itu, juga melalui fasilitas penunjang berkesenian, misalnya dengan tersedianya infrastruktur panggung pertunjukan yang representatif dan berkelas nasional. Ia menyebut, gedung yang mendekati representatif hanya ada satu yakni di Auditorium RRI Semarang. “Di hilirnya, bagaimana kemudian kesenian itu benar-benar bisa menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga para seniman harus siap ketika sewaktu-waktu produk-produk kesenian itu diminati,‘ imbuhnya.
Ia mencontohkan, di Semarang memiliki ikon Kota Lama yang sering digunakan para sineas untuk membuat film. Ini potensi besar, sayangnya masih miskin pencitraan dan promosi. “Bila pencitraan sudah terbentuk aspek ekonomis dan budaya akan mengikuti. Menjadi destinasi wisata sekaligus menciptakan peluang ekonomi kreatif. Seniman bisa berkreasi melalui even kesenian dan pembuatan souvenir bagi pengunjung. Ini kan peluang.‘
Ke depan, Mulyo sudah menggagas sebuah festival yang diharapkan menjadi ikon Kota Semarang di masa mendatang. Festival itu akan dinamai “Festival Lampion‘. Mengapa lampion, dia beralasan, karena Semarang memiliki kawasan Pecinan yang menjadi salah satu unggulan desinasi wisata dan kesenian di Kota Semarang. Pecinan identik dengan lampion. “Festival ini pada pelaksanaanya nanti akan melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik di tingkat kota hingga rt di tingkat kelurahan. Satu malam, Semarang akan penuh nyala lampion,‘ impian Mulyo.
Festival Lampion menjadi cita-cita Mulyo di satu tahun ke depan. Pada tahun ini, ia bersama para seniman Semarang sedang menyiapkan gawe bertajuk pasar seni rupa di Agustus 2013 ini. Ia mengakui ide kegiatan ini mengadopsi dari pasar seni di Ancol Jakarta dan Surabaya. “Targetnya bisa memberdayakan seniman Semarang dan melibatkan beberapa seniman dari luar daerah,‘ harap Mulyo yang meyakini bahwa dengan memajukan kesenian ekonomi akan tumbuh.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 6 Januari 2013
No comments:
Post a Comment