Tuesday, January 15, 2013

Kesesatan RSBI

-- Darmaningtyas


RINTISAN sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal menuju SBI (sekolah bertaraf internasional) ibarat bunga rontok sebelum berkembang. Bukan hanya layu, melainkan sudah rontok sekaligus sebelum berkembang dengan keluarnya Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No 5/PUU-X/2012 Perilah Pengujian UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, bahwa Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Pembubaran RSBI/SBI itu sama sekali tidak akan mengurangi kualitas pendidikan nasional karena sekolah-sekolah yang dilabeli RSBI/SBI itu sudah bermutu sejak semula. Justru karena sudah bermutu itu, mereka dilabeli RSBI/SBI. Kekhawatiran akan memengaruhi kualitas itu bila yang dilabeli RSBI/SBI itu ialah sekolah-sekolah tidak bermutu, setelah dilabeli kemudian bermutu. Namun, ini tidak.

Implikasi putusan MK tersebut ialah RSBI harus bubar karena tidak memiliki landasan hukum lagi. Bila ada pemimpin daerah yang masih tetap akan mempertahankan RSBI/SBI dengan alasan apa pun, pemimpin tersebut melanggar konstitusi. Secara otomatis ia dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan (setiap ada Pancasila dan UUD 1945). Yang dapat dibenarkan hanyalah semangat mempertahankan hal yang baik di RSBI/SBI, seperti proses belajarnya yang lebih aktif dan guru-gurunya yang sudah lebih memenuhi kualifikasi yang diperlukan. Namun, mempertahankan nama RSBI/SBI jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali sebab hal itu berarti pembangkangan terhadap putusan MK alias melanggar konstitusi.

Meskipun dalam sidang MK pada 8 Januari 2013 lalu ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi Achmad Sodiki, tidak berarti bahwa putusan MK itu kurang kuat. Putusan MK tetap mengikat secara konstitusi. Suara berbeda hanyalah memperlihatkan adanya dinamika pemikiran di kalangan hakim konstitusi dan itu sah-sah saja dalam alam demokrasi. Penulis percaya bahwa munculnya dissenting opinion tersebut disebabkan hakim konstitusi Achmad Sodiki lebih mendasarkan pada logika linier saja daripada mendasarkan realitas di lapangan. Bila hakim konstitusi Achmad Sodiki memiliki referensi lapangan yang cukup, pastilah suaranya akan tunggal.

RSBI/SBI yang menyesatkan

Keberadaan RSBI/SBI sejak awal telah menimbulkan masalah karena dalam praktiknya menyesatkan. Praktik RSBI/SBI yang menyesatkan itu tecermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pertama, dari batasan pengertian RSBI/SBI, dalam permendiknas tersebut dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju lainnya. Tujuannya meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. Itu sungguh batasan yang konyol mengingat negara-negara OECD itu banyak dan masing-masing memiliki sistem pendidikannya sendiri, lalu kita akan mengikuti negara mana? Tujuan pendidikan sekadar untuk meningkatkan daya saing juga merupakan bentuk reduksionisme terhadap makna pendidikan itu sendiri sebagai proses pemerdekaan manusia dan proses budaya. Apalagi ketika hanya untuk memperoleh medali emas, jelas ini amat instrumentalis.

Kedua, kurikulum RSBI/SBI disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar negara anggota OECD atau negara maju lainnya. SBI juga menerapkan satuan kredit semester (SKS) untuk SMP, SMA, dan SMK (Pasal 4) serta mempergunakan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lain sebagai pengantar untuk mata pelajaran, kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah, dan muatan lokal (Pasal 5).

Aturan tentang kurikulum dan standar proses yang demikian jelas amat menyesatkan karena secara sadar kita menghamba pada sistem pendidikan bangsa lain yang belum tentu cocok. Terbukti krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara anggota OECD (Eropa dan Amerika Serikat) sampai sekarang belum reda juga. Itu artinya mereka juga punya masalah dalam negerinya sendiri. Tidak tepat bila kita mengekor mereka.

Ketiga, Pasal 7 Permendiknas No 78/2009 tersebut juga mengamanatkan bahwa SBI diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik apabila tidak ada pendidik warga negara Indonesia yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk mengampu mata pelajaran/bidang studi tertentu (ayat 1). Pendidik warga negara asing tersebut paling banyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik (ayat 2). Itu sungguh-sungguh pasal yang kurang ajar karena ayat (1) tersebut sama dengan menghina dan meremehkan bangsa kita sendiri. Masak dari 4.000 guru besar dan 23.000 doktor di negeri ini tidak ada yang dapat mengampu materi di tingkat SD-SMTA sehingga harus impor guru?

Tentu jauh lebih santun bila meminta bantuan ke perguruan-perguruan tinggi yang memiliki banyak doktor tersebut daripada mengundang bangsa lain untuk mendidik bangsa kita sendiri. Ayat (2) tersebut sama saja mengundang penjajah asing untuk datang ke Indonesia dengan peran sebagai guru di sekolah-sekolah RSBI/SBI.

Bila pasal tersebut terlaksana, berarti keberadaan RSBI/SBI menggusur 30% guru-guru dalam negeri di sekolah-sekolah tersebut dan digantikan guru asing. Sulit dipahami oleh akal sehat bahwa banyak lulusan LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang belum mendapatkan pekerjaan, tapi yang sudah menjadi guru (di RSBI/SBI) justru di-PHK demi memberi tempat bagi tenaga kerja asing. Ini konyol dan menyesatkan! Keempat, Pasal 9 (ayat 3) memberikan kebebasan kepada SBI memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RKS (rencana kerja sekolah) dan RKAS (rencana kerja dan anggaran sekolah). Oleh karena RSBI/SBI itu meliputi tingkat SD-SMTA, permendiknas itu jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 mengingat pendidikan dasar menurut UUD 1945 itu gratis.

Kelima, masalah pengelolaan SBI yang harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar pengelolaan sekolah di negara anggota OECD dan negara maju lainnya; serta menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; jelas menyesatkan. Pilihan negara anggota OECD mana yang akan menjadi acuan itu sendiri sudah merupakan masalah tersendiri. Keharusan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir itu sama saja memperlakukan sekolah seperti perusahaan manufaktur. Padahal, mengelola sekolah beda sekali dengan mengelola pabrik.

Berdasarkan kajian terhadap Permendiknas No 78/2009 itulah penulis memiliki keyakinan bahwa implementasi dari konsep sekolah bertaraf internasional seperti dimaksud dalam Sisdiknas 20/2003 Pasal 53 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, 29, 31, 32, dan 36. Keyakinan tersebut yang menghilangkan keraguan kami ketika memutuskan maju ke MK atau tidak. Akhirnya kami memilih maju terus dan kemudian dikabulkan MK. Kami patut mengapresiasi putusan MK tersebut yang mencerminkan keluasan berpikir dan kewicaksanaan bertindak para hakim konstitusi. Agar putusan MK tentang RSBI tersebut dipatuhi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kontrol dari publik harus terus dilakukan. Jangan pengalaman sebelumnya terjadi, yaitu UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dibatalkan oleh MK, tapi kemudian muncul UU PT (Pendidikan Tinggi). Dengan kata lain, harus ditolak pula ketika RSBI/SBI dibubarkan, tapi kemudian muncul SKM (sekolah kategori mandiri) atau sejenisnya yang hanya merupakan ganti baju.

Semua regulasi yang mengatur tentang RSBI/SBI, termasuk Permendiknas No 78/2009 dan turunannya, harus dicabut. Alihkan alokasi dana untuk ke RSBI/SBI ke sekolah-sekolah swasta pinggiran atau yang ada di daerah-daerah tertinggal demi pemerataan mutu pendidikan. Kembalikan sistem pendidikan nasional ke identitas nasional.

Para penentu kebijakan pendidikan perlu menyimak kembali amanat para founding father kita yang disampaikan melalui 'Subpanitia Pendidikan dan Pengajaran' BPUPKI, yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan para anggotanya terdiri dari Prof Dr Husein Djajadiningrat, Prof Dr Asikin, Prof Ir Rooseno, Ki Bagus Hadji Hadikusumo, dan Kiai Hadji Masykur, yang kelak menjadi landasan rumusan Pasal 31 UUD 1945 asli. Mereka mengamanatkan bahwa "Dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah 'keselamatan' dan 'kebahagiaan' masyarakat". Menciptakan sistem pendidikan yang mengekor ke negara-negara OECD dengan meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa sama saja meninggalkan amanat para pendiri bangsa sehingga berdosa besar terhadap bangsa dan negara.


Darmaningtyas,  Perguruan Tamansiswa Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 15 Januari 2013

No comments: